Regulasi Terkendala Implementasi Yang Masih Lemah

Johannes Setijono, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia
Saya melihat bahwa Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sudah baik namun masih sering terkendala pada implementasinya. Menurut saya masalahnya pertama pada petugas-petugas regulatory, termasuk didalamnya terdapat masalah pada aspek teknologi yang membutuhkan biaya besar.

Saya ambil contoh UU pemberian insentif kepada perusahaan yang mengadakan kegiatan R&D yang memenuhi persyaratan, itu sudah ada, namun petunjuk pelaksanaannya masih terkesan lambat. Tentunya ini perlu dipercepat sehingga harapan kita bahwa pembangunan kompetensi teknologi di industri farmasi dapat segera dilaksanakan.

Contoh lainnya, asuransi kesehatan nasional (SJSN), itu baik bagi industri farmasi namun sebenarnya itu berada diluar area kita. Kita hanya bisa mengusulkannya dan itu hanya dibuat oleh industri farmasi sendiri. Namun semestinya yang terpenting bahwa 250 industri farmasi ini sebaiknya tidak semuanya memproduksi obat yang harganya mahal. 

Artinya harus menyediakan obat untuk semua segmen, dan sebenarnya ini sudah terwujud. Kalau kita lihat harga obat di Indonesia ini range-nya luas sekali, mulai dari yang sangat mahal sampai generik yang agak mahal hingga ada generik yang benar-benar sangat murah. Jadi yang terpenting adalah ketersediaan obat dari semua strata.

Dalam hal ini seorang dokter sebaiknya menyesuaikan antara obat yang tersedia dengan daya beli dari pasiennya. Jadi dengan begitu, bila industri farmasi sudah bisa menyediakan jenis obat secara lengkap kepada seluruh lapisan ini, kita dapat mendorong kerjasama dengan IDI dan pihak lainnya menghimbau anggotanya untuk menyesuaikan pemakaian obat dengan kemampuan pasien, tidak bisa lagi asal memberi obat yang mahal kepada pasien.

Di lain pihak perlu dibangun kesadaran kepada masyarakat, oleh karena pasien banyak yang kurang pas menempatkan diri dalam berobat. Misalnya seseorang yang tidak terlalu mampu, maunya berobat ke dokter spesialis, padahal dokter spesialis di Indonesia itu biasanya obatnya mahal-mahal. Seandainya pasien itu berobat ke dokter umum biaya obatnya akan lebih murah karena mereka biasanya melayani segmen B, sedang segmen C bisa terlayani di puskesmas, praktek dokter 24 jam yang biasanya obatnya lebih murah.

Penyesuaian tersebut tentu saja nantinya mendorong kesadaran semua pihak bahwa penting untuk mempercepat adanya sistem kesehatan secara merata. Sehingga lebih banyak masyarakat memperoleh kemudahan mengakses obat bagi kesehatannya. Sebagai contoh pengalaman pada program Askes; Askeskin, kita dapat melihat lebih banyak orang bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan.


Perkembangan Obat Biosimilar di Dunia (1)

Kesulitan ini tidak terlepas dari adanya tarik menarik kepentingan penguasaan bisnis bertujuan memperpanjang umur bisnis, ketimbang kepasrahan dalam memenuhi dimensi sosial bagi kemanusiaan. Misalnya untuk mendapatkan ijin membuat drug copy yang telah habis masa patennya, para entrepreuneur farmasi banyak terhalang oleh data ekslusifitas dari pemilik patent.

Permasalahan ternyata tidak hanya muncul pada soal patent, persepsi dan metoda uji pun menjadi kendala tergantung cara penelitian dan penafsiran. Baru-baru ini perusahaan farmasi raksasa Novartis telah dikalahkan di pengadilan oleh Aktivis Kesehatan Publik di India dalam kasus obat kanker gleevec. Pengadilan India menolak perpanjangan patent perusahaan atas obat tersebut.

Kasus di India menjadi presenden bagi perusahaan farmasi dunia diantara penguatan bisnis atas perpanjangan hak patent dengan kesadaran perusahaan bagi kepentingan publik yang mendambakan biaya obat secara murah dan mudah. Kasus-kasus ini akan terus berlanjut terutama manakala kita mulai memasuki dunia obat yang berbasis bioteknologi dan biosimilar.

Pengertian Biosimilar mendefinisikan suatu produk biopharmaceutical dari rangkaian protein sebagai suatu bahan aktif yang diproduksi oleh sebentuk sel yang dimodifikasi secara genetik, dengan sel dari produk berbeda, dibanding dengan produk awal yang telah beredar, dengan hasil produksi menjadi serupa. Melalui cara biosimilar ini telah terbukti kesetimbangan terapeutik, atau merupakan output produk obat bioteknologi, yang mengacu pada suatu produk obat biologi inovator untuk diwariskan otorisasi pemasarannya kepada masyarakat.

Di dalam pemahaman tersebut biosimilar akan berarti apapun unsur perolehan dari jaringan biologi atau bahan dasar sumber sel asal, ditampilkan memiliki kemampuan mencegah penyakit pada manusia atau dapat diartikan pula yang digunakan manusia dengan maksud untuk membuat suatu hasil diagnosa medis dengan memugar, mengoreksi atau memodifikasi fungsi fisiologis, yang memiliki physicochemical, kekayaan biologi dan substansi obat yang sama, melalui format yang berkenaan dengan farmasi yang sama atau kesamaan acuan produk obat bioteknologi dalam kaitan dengan pembuktian atas kemanjuran dan keselamatan.

Kekhususan biosimilars, produk obat biologi sangat berbeda dengan obat yang terdiri dari molekul kimia sintetis yang memiliki struktur kompleks dan heterogen, seperti halnya kepekaan dan perbedaan dalam proses pabrikasi.

Proses pabrikasi pada setiap produk obat biologi menampakkan keutamaan bagi kelanjutan proses produk obat yang diproduksi, mengingat proses ini didasarkan pada organisme atau sel terkait dengan variabilitas biologi sumber dan tingkat struktur kompleksitas serta micro-heterogenitas makromolekul yang diperoleh dari perbedaan proses pabrikasi dan dapat menyebabkan perbedaan dalam proses uji klinis produk secara keseluruhan.

Kondisi ini memungkinkan terjadinya implikasi yang sangat besar bagi keselamatan pasien sebagaimana telah diamati dalam kasus immunogenitas mutakhir sesuai dengan perubahan produksi.

Antara Biosimilar dan Biogenerik
Mempelajari kasus di Amerika, dalam permasalahan ini FDA (Food and Drug Administration) telah menampik versi yang dikemukakan oleh Nastech'S terkait obat spray Miacalcin untuk perawatan osteoporosis. Nastech’S mengemukakan bahwa interaksi atas bahan pengawet yang digunakan dalam proses perumusan, menjadi bahan perdebatan apakah calcitonin harus diperlakukan sebagai bio-generik atau biosimilar.

Pihak berwenang di Amerika menyatakan perlunya perhatian atas kemungkinan potensi immunogenitas yang diakibatkan interaksi antara calcitonin dari ikan salem dengan chlorobutanol, yang merupakan unsur bahan pengawet dalam perumusan Nastech'S banyak digunakan pula dalam obat spray dan telah banyak dipasaran. Uraian Nastech’S pada kasus calcitonin diperlakukan sebagai bio-generik.

Penyebutan bio-generik dalam pengajuan obat baru lebih perlu dicermati ketimbang penyebutan biosimilar, mengingat produsen obat generik harus melakukan uji laboratorium untuk membuktikan bahwa copy obat tersebut secara kimiawi sama dengan obat inovator dan uji klinis atas manusia menunjukan bahwa bio-generik memiliki khasiat yang sama dalam aliran darah sebagaimana obat inovator, tanpa harus melakukan uji klinis tambahan. Sedangkan dalam kasus calcitonin di Amerika diklasifikasikan sebagai suatu perangsang, sehingga Nastech tidak memperlakukannya sebagai biosimilar.

FDA menyetujui beberapa versi molekul biogenerik, seperti hormon pertumbuhan manusia buatan Sandoz'S yang dikenal Omnitrope (somatotropin), dianggap bukan sebagai biogeneric namun "sufficiently similar" pada produk yang telah beredar, sebagai ganti istilah biosimilar biasanya digunakan istilah "follow-on protein" sebagaimana digunakan di Eropa.

Fakta mengemukakan bahwa suatu molekul adalah biogenerik maka tidak secara otomatis merupakan biosimilar, misalnya - hormon insulin diperlakukan oleh FDA bukan sebagai biosimilar melainkan sebagai biogenerik. Hal ini dikarenakan struktur yang menjadi faktor sebelumnya merupakan perangsang yang diperlakukan sebagai biosimilar. 

Makin tinggi berat molekul protein akan semakin kompleks strukturnya, sehingga nampaknya seperti biosimilar. Semenjak kasus calcitonin yang memiliki berat molekul yang lebih tendah dari insulin bukan merupakan glycosylated, sehingga Nastech berkeyakinan atas konsepnya mengklasifikasikan bukan merupakan biosimilar namun sebagai bio-generik.

Perkembangan Obat Biosimilar di Dunia (2)

Perbandingan Ukuran Berat Molekul Obat Kimia dan Obat Biologi
Lain halnya dengan epoetin, calcitonin-salmon agak berbeda kasusnya dengan bentukan antibody manusia karena bukan merupakan calcitonin asli, namun tak ada penjelasan ilmiah yang menyarankan perubahan tersebut manakala calcitonin dirumuskan bersama-sama dengan chlorobutanol.


Bothell sebuah perusahaan yang berupaya meneliti tanpa penggunaan bahan perangsang, menjelaskan bahwa teknologi seperti itu masih dimanfaatkan dalam pengembangan perolehan obat spray yang diijinkan FDA, kendati secara bisnis masih cukup beresiko.

Biologi dan Biosimilar
Biotechnology telah menghantar kita untuk menemukan cara penyembuhan berbagai penyakit yang paling serius saat ini. Ketergantungan manusia didunia atas produk biologi mencapai 150 jenis obat dan vaksin diperkirakan akan terus berkembang kendati menghadapi kompleksitas perbedaan acuan serta pemahaman antara obat biologi dan obat biosimilar.


Obat biologi diproduksi dengan menggunakan “aliving system” atau organisme yang jauh berbeda dari bahan obat tradisional. Ukuran pembeda yang paling mencolok adalah molekul obat biologi jauh lebih besar dan mempunyai struktur yang jauh lebih rumit , lebih heterogen dibanding molekul obat lainnya yang relative lebih kecil.


Cukup sulit untuk mengenali karakter obat biologi dalam porsi obat kimiawi biasa, mengingat konteks penelitian obat kimiawi mengacu pada komponen yang relatif sederhana dengan struktur molecular langsung, sedangkan obat biologi secara khas mengacu pada komponen yang lebih kompleks yaitu pada pembuatan mata rantai protein yang terdiri dari ratusan asam amino dalam tiga stuktur dimensi yang rumit.


Oleh karenanya obat biologi hadir dengan molekul besar pada umumnya digunakan melalui cara penyuntikan, sedangkan obat kimiawi biasa berdasar pada struktur kimiawi yang relatif kecil dapat berupa pil, sehingga reaksi tubuh kepada kehadiran unsur asing dalam kaitan imunitas harus diuji dengan tepat dan dimonitor untuk memastikan bahwa pasien dapat menerimanya dengan aman .


Biosimilar di Eropa
Industri bioteknologi di Eropa tergabung dalam Europabio (Asosiasi Eropa untuk Bioindustri), dimana para anggotanya berpengalaman dan keahlian luas, terutama dalam menanggulangi isu produk bio-generik. Saat ini berbagai permasalahan obat biologi di Eropa menuju kearah ketidakpastian regulasi dan lingkup jaminan keselamatan pasien.


Saat ini belum ada prosedur baku yang mengatur secara spesifik untuk mendaftarkan "produksi obat biosimilar" di Uni Eropa, Parlemen Eropa mencari masukan dalam mengisi kevakuman legislatif mengenai perkembangan regulasi produk biosimilar.


Perkembangannya saat ini baru menyatakan ketentuan bahwa salinan produksi obat biologi harus melalui tahapan uji pra klinis dan uji klinis yang komprehensif. Lebih lanjut isu produk biosimilar disyaratkan menambah suatu acuan spesifik ke proses manufaktur yang relevan sesuai kebutuhan untuk melakukan uji coba lanjutan.


Peran Europabio
Produksi obat biologi sangat kompleks, tak terpisahkan serta sangat berbeda dibanding bahan kimia bermolekul kecil. Berbagai perubahan dalam suatu produksi obat biologi, sebagai akibat dari perbedaan dalam proses pabrikasi, memungkinkan terjadi implikasi pada mutu, kemanjuran dan keselamatan. Oleh karena itu, biosimilars harus diperlakukan dengan kondisi yang jelas untuk menjamin keselamatan pasien.


Europabio sangat memahami upaya pengenalan biosimilars harus tunduk kepada suatu ketentuan khusus dan berbeda dengan aturan pada obat kimia umumnya. Mereka berkeyakinan atas aturan tambahan yang dikemukakan Dewan Komisi Eropa tidak melindungi minat pasien yang cukup kuat dalam memasuki area biosimilars, karena dapat membahayakan masa depan pengembangan bioteknologi di Eropa. 

Perbedaan antara biosimilars dan obat kimia umum harus dibuat secara lugas, dalam rangka menyepakati dasar umum untuk suatu persetujuan yang saksama dalam memeriksa prosedur biosimilars, agar nantinya dapat menjamin keselamatan produk bagi pasien.


Sebagai konsekuensi, Europabio meminta Parlemen Eropa untuk meninjau ulang dan menggaris bawahi berbagai aturan lugas untuk produk biosimilar yang diketahui berbeda dengan produk kimia umum serta perlu diberi definisi yang lebih tegas bagi kebutuhan produk seperti itu.


Keselamatan pasien atas produk biosimilars merupakan kunci, oleh karenanya diperlukan usaha maksimum yang harus dibuat untuk memastikan produk dimaksud dapat mencapai keselamatan pasien secara maksimal dengan mematuhi prasayarat mutu, ukuran kemanjuran dan keselamatan. Melalui prinsip inilah EMEA memberikan panduan diberlakukannya prasyarat keharusan uji pra-klinis dan uji klinis atas semua produk biosimilar.


previous  |  next  |

Perkembangan Obat Biosimilar di Dunia (3)

Proses Manufaktur Obat Biosimilar
Proses manufaktur untuk suatu bahan kimia obat berkisar antara 40-50 uji kritis, sedangkan suatu produk obat biologi bisa mencapai uji kritis hingga 250 lebih. 

Produk Obat biologi digunakan untuk penyembuhan skala luas pada gejala penyakit serius, mencakup berbagai sklerosa, kelainan genetika, kekurangan darah merah, kekurangan hormon pertumbuhan dan kanker. Pembuatannya memerlukan suatu prosedur yang sangat kompleks di mulai dengan memodifikasi suatu sel atau micro-organism, dirancang melalui kode urutan turunan protein yang diinginkan.

Karakteristik sel atau micro-organism yang telah terbentuk dipelihara dan digunakan sebagai sumber utama untuk proses produksi. Protein target berkembang dalam suatu bioreactor atau fermentor melalui berbagai langkah/proses pemanenan dengan kepastian tingkat kemurnian yang tinggi, sebelum protein distabilkan dan dirumuskan untuk penggunaan bahan obat.

Rangkaian langkah ini, sangat penting untuk memastikan bahwa produk yang diperoleh hanya menghasilkan stelsel aktip untuk indikasi bahan obat yang diharapkan. Oleh karenanya proses pabrikasi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan obat biologi.

Definisi atas proses meliputi identitas atau jenis dari bahan sumber dan proses individu dalam langkah melakukan fermentasi sel, pemurnian protein, proses pendataan dan formulasi obat steril, bahkan sedikit perubahan dalam proses teknis, misalnya pengaturan variasi dalam temperatur, kondisi kultur sel, cara penyimpanan maupun cara pengangkutan dapat mengakibatkan perbedaan yang signifikan dalam pelaksanaan uji klinis yang menyangkut kualitas, keselamatan dan kemanjuran obat biologi bagi pasien.

Kemungkinan kehilangan sebagian atau seluruhnya dari aktivitas biologi berpengaruh pada potensi produk yang diuji. Netralitas aktivitas biologi sangat potensial, untuk diutamakan guna menjawab isu keselamatan bagi umat manusia.

Dalam proses pabrikasi setiap produk obat biologi menjadi sangat spesifik, sekalipun pada pengembangan produk spesifik tetap melalui acuan standard, test dan pengujian kadar logam serta pengujian lain disesuaikan dengan - bentuk sel untuk memastikan bahwa spesifikasi produk dan proses uji terpelihara secara berkelanjutan, mengingat informasi atas proses produksi dilakukan oleh banyak manufaktur.

Sehingga akan senantiasa terjadi perbedaan dalam proses produksi bagi produsen dalam menghasilkan obat biologi yang sama. Pengetahuan dan pengalaman historis atas standard uji dan uji kadar logam sangat penting untuk memastikan proses biologi yang dilakukan konsisten dan melalui standar mutu yang tinggi.

Kasus Obat Biosimilar
Obat Biosimilar merupakan (follow on version) dari obat biologi . Pengembangan obat biologi dilakukan dengan bebas setelah hak paten yang melindungi produk asli telah berakhir. Obat Biosimilar diciptakan dengan maksud agar memperoleh mekanisme tindakan yang sama dengan obat biologi inovator, namun dengan teknik baru dan dirancang untuk penanggulangan penyakit yang sama sebagaimana produk inovator.

Pertentangan terjadi melingkupi definisi, perijinan dan pemasaran atas obat biosimilar karena adanya pemahaman yang berbeda antara obat biosimilar dan obat bio-generik. Obat generik berbasis pada bahan kimia diidentikan dengan produksi inovator sesuai ketegasan definisi, padahal untuk obat biosimilar tidak bisa diikat oleh suatu aturan definisi mengikat, mengingat keragaman langkah dan proses. 

Artinya setiap manufaktur dalam menghasilkan produk obat biosimilar bisa menggunakan cara-cara yang berbeda mengingat sifatnya yang kompleks, proses-proses alamiah, teknis analisa serta uji klinis yang pasti akan menunjukan perbedaan pula dari hasil yang diperoleh pada produk biologi inovator.

Dari awal proses obat biologi dapat berbeda mulai dari sarana, prasarana dan tantangan kendati dalam langkah peniruan dari proses manufaktur yang sama. Sebagai konsekuensi para ilmuwan berkeyakinan bahwa dalam merancang uji pra klinis dan uji klinis yang diperlukan untuk membuktikan suatu produk obat biosimilar oleh manufaktur lain, dilakukan melalui catatan kepemilikan klinis yang sama sebagaimana yang dimiliki produk inovator.

Aspek Regulasi
Sejak adanya statement bahwa produk biosimilar tidak bisa disetarakan dengan produk obat kimia umum, maka berbagai regulasi terkait tak akan sesuai dengan kondisi definisi produksi obat kimia umum. Regulasi yang transparan harus segera dibuat dengan rinci mendasari ketentuan hukum untuk karakter biosimilar.

Oleh produk karenanya diperlukan suatu prosedur regulasi yang tegas dan transparan, untuk menjamin keselamatan pasien dan melindungi masa depan inovasi bioteknologi industri kesehatan. Di kawasan Eropa, Europabio (Asosiasi Eropa untuk Bioindustri), telah mengingatkan bahwa produk biosimilar selain kondisinya sangat kompleks secara mendalam maka uji validasi lanjutan dan uji biologi selama proses pabrikasi terus diperlukan, berbeda dengan obat berbasis bahan kimia biasa, oleh karenanya Uni Eropa telah melakukan pendekatan melalui jalur legislatif dan regulator untuk memberi persetujuan pada obat biosimilar, setelah hak patent dan data eksklusivitas atas produksi inovator berakhir.

Obat biosimilar dinyatakan lulus dapat diluncurkan ke pasar Eropa setelah sesuai dan lulus uji keselamatan, kemanjuran dan mutu yang didasarkan pada aturan yang berlaku di kawasan Uni Eropa yang pasti dengan kelengkapan dokumen sebagaimana yang ditetapkan oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product)

EMEA telah mengadopsi secara kasus per kasus dalam hal otorisasi mengenai perubahan yang terjadi pada proses manufaktur obat biologi dengan otorisasi aplikasi pemasaran baru untuk produk biosimilar dalam mempertahankan hak untuk memutuskan tingkat uji pra klinis dan data klinis yang termasuk dalam permohonan dimaksud secara kasus per kasus.

Persetujuan atas permohonan obat biosimilar harus diatur dan dilengkapi oleh data ilmiah serta reaksi atas keselamatan pasien dan kebutuhan medis, dengan catatan proses persetujuan ini harus setimbang perlakuannya dengan proses pada produksi inovator.

Bulan Juni 2007 lalu kembali pihak berwenang di UniEropa menyetujui diluncurkannya obat biosimilar sebagai pengembangan dari obat biologi buatan Amerika yang telah dinyatakan habis masa patennya, dengan merekomendasikan pemasaran tiga jenis obat baru sejenis untuk penyembuhan anemia, kanker atau penyakit ginjal.

Ketiga obat biosimilar yang direkomendasikan oleh EMEA tersebut untuk dipasarkan di Eropa adalah:

- Binocrit (Epoetin alfa), dari Sandoz Gmbh; 
- Epoetin alfa Hexal (Epoetin alfa), dari Hexal Biotech Forschungs Gmbh; dan 
- Abseamed (Epoetin alfa), dari Medice Arzneimittel Pütter GMBH& Co.

Sedangkan di Amerika, kongres masih terus berkutat melanjutkan perjuang untuk mencari jalan keluar penetapan dari FDA untuk menyetujui penggunaan follow-on protein obat biologis.

Pokok-pokok Rangkuman
Teknologi moderen dan proses ilmiah lanjutan telah membuka kesempatan baru dalam upaya penanggulangan penyakit manusia. Lebih dari 350 jenis obat bioteknologi dan vaksin sekarang ini, sedang dilakukan uji pra klinis dan uji klinis terbaru dengan maksud untuk menawarkan pilihan pada pasien sebagai bentuk perawatan baru yang mempunyai harapan baru dalam obat bioteknologi untuk penanggulangan penyakit dalam proses penyembuhan yang telah dilakukan sebelumnya melalui berbagai jenis obat kimia.

Bioteknologi menghadirkan suatu kesempatan yang pantas dipertimbangkan, sekaligus merupakan tantangan dan risiko serta kompleksitas yang terkait dengan proses pengembangan dan pembuatannya. Obat biologi diproduksi oleh proses bio-synthetic, yang cukup kompleks dan tidak mudah direproduksi. Mempunyai potensi penyebab immunogenik pada tubuh, berarti pula bahwa jenis obat dimaksud berpengaruh pada protein tubuh, serta akan menjadi tidak efektif atau malah berkemampuan menjadi lebih kuat.

Untuk pemahaman lebih mendalam sangat penting bahwa semua percobaan dan berbagai uji produk harus dilaksanakan dengan standard yang sama diberlakukan pada semua jenis obat biosimilar tanpa pengecualian.

Berpedoman pada alasan efisiensi diluncurkannya obat biosimilar dapat menjadi alternatif pilihan yang lebih murah dari produk inovator dan kenyataannya produk biosimilar dapat menunjang ketersediaan obat bagi pasien dan medical professional kendati harus melalui dorongan bioteknologi.

Kebutuhan obat dengan tingkat keamanan yang memadai menjadi suatu keharusan dan tentunya harus dilakukan melalui berbagai uji yang sahih yang dapat menghilangkan keraguan bagi pasien. (erw)

previous  |

Kurangnya Prioritas & Komitmen Pembangunan Kualitas Manusia Indonesia

Prof. Hasbullah Tabrani, Dekan FKM UI

Belakangan ini, wacana calon presiden mulai hangat. Banyak tokoh dikedepankan untuk bersaing pada Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Beberapa tokoh dan pemimpin malah mulai sibuk strategi kampanye. Waktu untuk memberi perhatian pada tugas-tugas negara yang masih belum selesai, sedikit demi sedikit mulai terbagi karena moment-nya dianggap lebih penting untuk mencari dukungan politik.

Kendati demikian sebagai warga negara yang baik tentunya wajib bagi kita untuk mengingatkan para pemimpin negeri ini untuk tetap konsisten dan fokus mencari pemecahan bagi masalah-masalah nasional. Termasuk permasalahan yang urgensinya sangat tinggi, yakni pembangunan kualitas manusia
Indonesia yang berdaya saing, sesuai dengan tuntutan global.

Sejak Orde Baru, perhatian dan prioritas pembangunan manusia yang merupakan modal tahan lama di Indonesia bisa dikatakan sangat kurang dibandingkan dengan prioritas pambangunan prasarana fisik dan industri yang merupakan modal tidak tahan lama. 

Kesan tersebut dapat dilihat dari tren belanja pemerintah untuk kesehatan, yang dilihat dari belanja sektor kesehatan, sepanjang 20 tahun ini tidak mengalami perubahan berarti, jika dihitung dalam nilai Dolar Amerika. Memang jika dihitung belanja pemerintah per orang per tahun dalam nilai Rupiah, tampak ada peningkatan. 

Namun demikian, peningkatan belanja dalam rupiah tidak bisa diartikan sebagai peningkatan riil, lantaran inflasi dan rendahnya nilai tukar rupiah dari waktu ke waktu. Melihat kenyataan bahwa belanja kesehatan oleh pemerintah dalam nilai Dolar Amerika tidak mengalami perubahan, padahal banyak sekali perkembangan yang mempengaruhi hal-hal yang terkait dengan komponen biaya kesehatan, seperti biaya pengadaan obat yang hampir 100 persen harus diimpor dengan valuta asing. Hal ini jelas membuktikan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan bagi sektor kesehatan dalam kurun waktu 4 periode pembangunan lima tahun.

Data yang tercatat pada Perbandingan Belanja Kesehatan per Orang per Tahun di beberapa negara berkembang di Asia, tahun 1998 – 2002 oleh UNDP memperlihatkan dengan ukuran nilai dolar internasional bahwa Indonesia hanya mampu mengungguli Afganistan, negara yang jelas-jelas sampai saat ini masih dalam keadaan perang dan tidak stabil. Pengukuran dengan nilai dolar Internasional tersebut sudah memperhitungkan perbedaan biaya hidup pada masing-masing negara, sehingga besaran belanja perkapita tersebut dapat dibandingkan. 

Data lima tahun tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum memprioritaskan kesehatan sebagaimana mestinya, yang berdampak amat buruk bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia. Belanja kesehatan kita lebih kecil dari Vietnam dan jauh lebih rendah dari belanja kesehatan Cina. 
Jangan heran jika dalam waktu dekat kita akan tertinggal jauh dalam segala hal dibandingkan demngan Vietnam dan Cina, yang beberapa dekade lalu lebih miskin dari kita.

Tanpa pemahaman yang mendalam akan pentingnya investasi kesehatan serta tekad kuat untuk membangun Indonesia dengan investasi yang memadai bagi pendidikan dan kesehatan, Indonesia akan mempertahankan predikat sebagai bangsa kuli baik diluar negeri atau sebagai tuan rumah tapi kuli.
Terdapat gambaran yang lebih memprihatinkan, manakala kita melihat catatan UNDP tahun 2005, mengenai perbandingan Belanja Relatif negara-negara yang diukur sebagai persentase PDB di neberapa negara di Asia, pada tahun 1998 – 2002. 

Pada gambaran tersebut Indonesia berada pada peringkat paling rendah. Apabila diukur dengan persentase PDB yang dibelanjakan untuk kesehatan, negara ini ternyata paling pelit mengeluarkan belanja kesehatan yang seharusnya menjadi investasi pembangunan kualitas manusia. Pengeluaran persentase terhadap PDB mengukur seberapa penting negara kita memberi nilai pada kesehatan, terlepas dari tingkat kemiskinan yang terjadi.
Negara Kamboja dan Afganistan yang jelas-jelas lebih miskin dari negeri ini telah mengeluarkan belanja kesehatan secara konsisten lebih banyak dalam lima tahun tersebut. Memang kita semua tahu, pada umumnya negara berkembang mengeluarkan dana baik dari sumber pemerintah maupun dari sumber masyarakat, yang jumlahnya tidak banyak. Ini karena kebanyakan mereka memandang pendanaan bidang kesehatan dengan keliru, mereka memasukkan sebagai beban pengeluaran jangka pendek. Padahal pengeluaran tersebut merupakan investasi modal manusia jangka panjang yang sangat strategis dan memiliki nilai politis yang tinggi.

Data dari UNDP mencatat bahwa sepanjang tahun 1998 – 2002, Indonesia hanya lebih baik dari India, namun dibawah Filipina. Tapi bagaimana dengan negeri India dalam dua tahun belakangan ini yang ternyata mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. India telah menyadari nilai investasi pembangunan kualitas manusia dan karenanya telah meningkatkan anggaran belanja pendidikan dan kesehatan negaranya sebagai perwujudan prioritas dan komitmen membangun bangsa yang memiliki keunggulan.

Ketertinggalan Indonesia mengindikasikan ketidakpahaman kita pada investasi pembangunan kualitas manusia. Negara yang memiliki penduduk terbesar keempat di dunia. Lima tahun yang lalu survei telah membuktikan tingkat daya saing kita pada posisi terendah yakni urutan 49 dari 49 negara. Peringkat yang memalukan ini ditangkis dengan masalah besarnya jumlah penduduk sebagai alasannya. 

Sementara India dan Cina jumlah memiliki penduduk yang lebih besar dan luas daratan yang lebih besar, seharusnya punya masalah yang sama bahkan jauh lebih berat. Tetapi ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat jauh lebih baik. Ini memperjelas bahwa penduduk di negara ini merupakan beban, bukan modal dan selama kurun waktu 5 tahun kita tak mampu merubahnya. (erw)

2008: Indeks Pembangunan Manusia Indonesia

Bangsa Kuli?

Sebagian besar dari kita marah manakala ada yang mengatakan kita bangsa kuli. Seolah ungkapan yang menghina dan meremehkan kualitas bangsa ini. Namun disisi lain ada baiknya kita bangga (sebagai modal dasar bersaing), kita sebaiknya mengenali potensi dan kelemahan yang melekat pada diri kita, dari situlah kita tahu mana yang perlu didahulukan untuk mewujudkan ‘mimpi-mimpi’ kemenangan dalam persaingan global.

Namun pada kenyataanya yang terjadi demikian, dalam peringkat Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), negara ini masuk pada urutan yang sedikit memalukan yakni 108. Dan kita terus berada pada kisaran angka 108 – 112, kelas menengah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara tetangga kita Malaysia yang merdeka 12 tahun lebih muda dari Indonesia berada berada pada peringkat 61, yang merupakan kelompok negara tinggi pada IPM.

Mengapa demikian? Karena Malaysia telah secara konsisten melakukan investasi pada manusia (kesehatan dan pendidikan) sejak negara itu merdeka. Sementara kita melakukan investasi ekstraktif, menguras sumber daya alam, termasuk salah satunya mensubsidi BBM. Padahal kita jelas-jelas paham bahwa kemajuan suatu bangsa hanya ditentukan oleh kualitas manusianya, bukan melimpahnya sumber daya alam.

Jika kita cermati IPM 2006, skor indeks pendidikan Indonesia adalah 0,83, dibandingkan dengan Malaysia 0,84 dan Thailand 0,86 tidak berbeda jauh. Tetapi skor kesehatan (usia harapan hidup) manusia Indonesia hanya 0,70, sedangkan Malaysia 0,81, Thailand 0,75 dan Vietnam 0,76. Skor pendapatan (GDP) kita hanya 0,60, sedang skor Malaysia 0,77 dan Thailand 0,73.

Ini berarti bahwa Indeks pendidikan yang diukur dengan angka partisipasi sekolah merupakan skor jangka pendek yang relatif cukup mudah untuk ditingkatkan. Dengan suatu program kita dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah hingga 100%, namun angka partisipasi sekolah tidak memberi jaminan kualitas manusianya. Apalagi dengan kualitas pendidikan kita saat ini, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Perguruan Tinggi yang dapat dikatakan rendah.

Kualitas manusia jangka menengah dapat dilihat dari masa hidup yang produktif, yang sangat dipengaruhi oleh angka kematian ibu dan angka kematian balita, termasuk bayi yang memang Indonesia menjadi juara terakhir di ASEAN.

Rakyat bisa hidup dan bersekolah namun manakala gizinya rendah dan tidak sehat tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan produktif apalagi menghadapi tantangan persaingan.

Kualitas jangka panjang diukur dari dampak produksi ekonomi yang diukur dengan PDB, dimana skor Indonesia masih lebih baik dari Vietnam (0,55) yang memang kenyataannya jauh lebih miskin. Tetapi masih jauh tertinggal dari skor PDB Malaysia dan Thailand.

Indeks PDB Indonesia yang tinggi dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya alam, tanpa diiringi peningkatan kemakmuran rakyatnya, namun pemanfaatan sumber daya alam tersebut masih lebih banyak dinikmati oleh bangsa asing yang mengelolanya.

Kita hanya mendapat sebagian kecil dari pembagian hasil atau yang menjadi kuli kasarnya, yang tak mampu membeli atau menikmati produk hasil kerjanya. Rendahnya IPM Indonesia menjadi cermin betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Kita tak bisa lagi menutup mata dan membiarkan komposisi APBN kita dari tahun ke tahun lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai negeri, subsidi BBM, bayar hutang konsumtif dan projek-projek (yang biasanya jadi sumber penghasilan tambahan pejabat) serta perjalanan dinas pegawai yang tak jelas tujuannya. Sisa anggaran yang sampai kepada tujuan kesejehteraan rakyat banyak tak mampu meng-cover seluruh kebutuhan yang saat ini sungguh-sungguh semakin mendesak.

Indeks PDB sangat dipengaruhi oleh produktivitas seluruh masyarakat, bukan hanya pegawai
negerinya. Jika saja dana publik digunakan secara efektif dan sampai pada tujuan kemasyarakatan termasuk untuk membangun kualitas manusia Indonesia yang benar-benar memiliki daya saing, tentu predikat kita sebagai kuli bisa dibantah.

Namun saat ini kita tak bisa memungkiri, sebagai manusia kita baru mampu memanfaatkan sumber alam ekstraktif, menggali, mengambil dan menjualnya dalam keadaan ‘mentah’, bukan hasil olahan yang memiliki nilai tambah. Bukankah kemampuan kuli cukup sampai disitu.

Alokasi Subsidi BBM bagi Biaya Kesehatan Nasional

Sejak tahun 2000, besar subsidi energi Indonesia telah menembus Rp 500 triliun, nilai saat ini. Jumlah sebesar itu tentunya sangat cukup untuk mendanai program pemerintah dalam bidang kesehatan dan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Jika ini dapat dilakukan tentu akan mendorong kualitas manusia Indonesia dan indeks PDB ke peringkat yang jauh diatas peringkat saat ini. Rakyat tak lagi kesulitan dengan biaya pendidikan dan perawatan kesehatan yang tinggi seperti saat ini.

Argumen yang selalu dikemukakan bahwa tanpa subsidi BBM akan memberatkan ekonomi rakyat dan menambah penduduk miskin. Lebih dari 120 juta penduduk pedesaan, barangkali tidak punya beban tersebut, mereka hidup dari hasil tani atau ternaknya dan relatif jarang bepergian dengan menggunakan kendaraan bermotor. Memang benar beban rakyat harus dikurangi, namun pengurangan beban melalui subsidi BBM, tidak tepat sasaran.

Di India yang lebih miskin dari Indonesia, harga bensin dan solar yang mahal dikompensasikan dengan biaya pendidikan yang rendah dengan kualitas yang tinggi. Itu merupakan bukti komitmen pemerintah India untuk menjadikan rakyatnya sebagai SDM yang memiliki daya saing pada masanya nanti. Dana publik bagi pendidikan dapat dinikmati rakyat kecil, tidak bisa diakumulasikan atau ditransfer kepada orang lain.

Di Malaysia, harga BBM labih mahal, tapi seluruh rakyatnya tak perlu pusing memikirkan biaya berobat, berapa pun besarnya. Di Thailand, bensin lebih mahal, namun pemerintah membayar iuran asuransi kesehatan sebesar 500 ribu rupiah pertahun. Jika dibandingkan dengan Iuran Aseskin yang dibayar pemerintah Indonesia hanya 60 ribu rupiah pertahun, tetapi pemilik mobil yang tentunya orang berpenghasilan tinggi bisa menikmati subsidi lebih dari 1 juta rupiah per bulan.

Ironis memang pemerintah dengan subsidi BBM nya, manakala rakyat kecil yang sudah hampir mati harus membayar mahal biaya kesehatan meskipun di Rumah Sakit Publik. Seolah pemerintah sedang ‘berjualan’ pelayanan kesehatan, bukan menyediakan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya.

Dilain sisi pemuda yang pandai, namun kurang mampu terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikanya lantaran perguruan tinggi di ‘BHMN’ kan dan ditafsirkan sebagai cari dana sendiri. Bukannya menyediakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945.

Melihat perbandingan subsidi BBM negara kita dan subsidi bagi pendidikan dan kesehatan beberapa negara tetangga telah berhasil meningkatkan kualitas sumber manusianya yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sementara di Indonesia, investasi SDM oleh pemerintah sangat rendah. Tak heran bila jadinya kita telah menciptakan kuli-kuli, yang barang kali memang sebagai komoditi penting untuk memelihara kekuasaan dan biaya usaha rendah, dengan demikian memperbesar laba. Laba untuk siapa?

Urgensi CSR Meningkatkan Reputasi Perusahaan

Suatu Tang­gung Jawab Sosial
Peru­sa­ha­an atau Corporate Social Responsibility (CSR) mulai mengemuka di pertengahan 1990 dan semakin menjadi wacana di tahun 2000. CSR yang melibatkan du­nia usaha terus ber­kembang dan memiliki peranan cukup besar bagi konsumen dan masyarakat.


Berdasarkan survei yang dilakukan untuk menjelaskan mak­na CSR oleh Corrado dan Hines (2001) di Inggris me­nun­jukkan hasil, tanggung jawab sosial terhadap konsumen me­­rupakan elemen terpenting dalam CSR (20%) di­susul kemudian dengan tanggung jawab sosial terhadap ma­syarakat lokal (17%).


Hanya masalahnya, banyak orang yang merasa skeptis apakah sebuah perusahaan memiliki jiwa filantropi yang serius terhadap implementasi CSR? Adalah wajar dan sah jika terdapat kalangan yang menyikapi konsep CSR, Corporate Citizenship, corporate philanthropy, corporate community involvement, social reporting dan sejenisnya dengan penuh skeptisisme.

Pendekatan Kepada Regulator, Perlu Kajian Ilmiah

ANTHONY CH. SUNARJO
Ketua Umum GP Farmasi Indonesia (2007 - 2011)
 
Apa yang telah disampaikan oleh Presiden SBY merupakan jawaban atas keluhan kita, seperti kebijakan menekan harga, tetapi juga menjawab keluhan masyarakat seperti tingginya harga obat. Disini pemerintah menilai kita telah melakukan penetapan harga yang berlebihan sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan akses obat yang murah.


Disamping itu pula pemerintah selama ini menyoroti biaya promosi obat yang terlalu besar khususnya pada obat ethical, terkait dengan kerjasama peresepan obat dengan dokter. 

Tetapi kita tidak bisa memungkirinya bahwa beberapa pelaku usaha telah melakukan praktek binis yang tidak etis, yang harus segera kita perbaiki bersama.

Kalau ada pertanyaan mengenai persepsi dunia usaha dengan persepsi pemerintah, tentu saja tidak akan sama. Walaupun pemerintah mengatakan dengan lugas bahwa perusahaan harus tetap hidup karena akan menguntungkan dari sisi
pajak, tapi dalam kacamata pemerintah, the most important one adalah rakyat.

Artinya kalau kita pakai kacamata rakyat lalu duduk di pemerintahan tentu saja apa yang diributkan rakyat soal harga obat itu selama ini tidak salah. Sebab pada saat kita berlaku sebagai rakyat atau duduk di legislatif sebagaimana saat ini, terlepas saya memahami soal farmasi, saya bisa melihat, bahwa industri luar biasa mengambil keuntungan. Saya juga merasakan berat manakala pergi berobat dan biayanya tidak ditanggung oleh perusahaan atau asuransi.

Kenyataannya biaya obat tidak cukup dengan 20 ribu saja. Kalau saya hitung-hitung biaya dokter saat ini sekitar 150 ribu rupiah, belum termasuk biaya obat yang sedikitnya 200 ribu rupiah termasuk brand generik lokal. Lantas bagaimana untuk ukuran rakyat di bawah?

Pemerintah bertindak mengendalikan harga, karena mau tidak mau harus dilakukan, karena dengan begitu kita industri akan menekan biaya-biaya yang tidak perlu yang membuat harga melambung tinggi.

Sebagai Ketua GP Farmasi, saya melihat bahwa di republik ini memberi akses obat kepada masyarakat bawah harus dilakukan dengan cara yang bijak dan dilakukan dengan melibatkan peran serta seluruh elemen dari Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Kementrian BUMN, Ristek, Departemen Kesehatan, dan pihak-pihak lainnya, karena ukuran keberhasilannya bahwa bidang usaha farmasi harus hidup dan rakyat juga bisa memperoleh biaya kesehatan yang benar-benar terjangkau.

Kalau dengan cara pemerintah saat ini dengan melakukan pengendalian harga, melakukan impor obat saya pikir itu tidak cukup bijak, malah justru kedepan memberi dampak yang lebih buruk bagi industri dan masyarakat di Indonesia.

Tentu kita di GP Farmasi juga tak bisa tinggal diam. Sudah waktunya kita melakukan pengkajian yang mendalam untuk mengetahui sejauh mana kita melakukan kegiatan usaha dan bagaimana dalamnya permasalahan-permasalahan yang terjadi. Kajian ilmiah yang komprehensif akan sangat berguna bagi kita untuk bisa melihat dengan benar keberadaan kita saat ini baik dalam memberi kontribusi kepada masyarakat maupun sebagai bidang usaha yang harus survive menghadapi tantangan di masa mendatang.

Kedepan trennya pemerintah akan lebih berpihak kepada rakyat, kita bisa lihat dari setiap kebijakan yang ada merupakan kebijakan populis. Kebijakan pemerintahan senantiasa pro rakyat, karena pemerintah selama ini tidak pro rakyat.

Tentu saja pengkajian tersebut sebagai modal kita untuk secara lebih proaktif melakukan pendekatan-pendekatan kepada semua pihak yang terlibat dalam aspek ekonomi dan kemanusiaan di lingkungan regulator. Untuk itu kita perlu energi yang besar.

Jadi industri harus mau berubah, karena pemerintah sudah berubah dan kita bisa melihat tren-nya kedepan pemerintah tidak akan melunak kepada kepentingan bisnis semata, karena saat ini kebutuhan rakyat sudah tidak bisa ditunda lagi.

Kalaupun dari hasil kajian itu nantinya harus dilakukan perubahan-perubahan di lingkungan usaha farmasi, kita serahkan saja kepada pemerintah melakukan itu, kita tak bisa lakukan apa-apa. Kita percayakan kepada pemerintah untuk melakukannya dengan ukuran keseimbangan kedua aspek bisnis dan kemasyarakatan.

Menyeimbangkan kedua aspek itu tentu saja berat untuk mencari titik temunya. Kita tak bisa lagi melakukan hal-hal yang seperti biasa kita lakukan seperti debat yang tanpa landasan data ilmiah yang jelas dan mendalam. Ini adalah perubahan besar harus diantisipasi dengan cara yang berbeda dan tidak bisa tanggung-tanggung melaksanakannya.

Top Ad 728x90