Pemberdayaan Farmasi Nasional Perlu Kerjasama Semua Pihak

Subowo DT, Chief Operational Officer Mensa Group 
Benar bahwa obat memiliki tiga dimensi, yakni dimensi ekonomi, teknologi dan sosial. Namun pada kenyataannya, Menteri Kesehatan yang merupakan bagian dari perangkat pemerintah yang secara otomatis kebijakannya mengutamakan aspek sosial saja, sehingga segitiganya bukan segitiga sama sisi yang seimbang.

Saya katakan demikian karena selalu dikatakan oleh Menkes tentang keseimbangan yang pro rakyat, obat murah, dsb. Kita setuju karena masih banyak rakyat yang menderita. Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah bahwa obat tidak dibuat secara gratis dan harus dilihat dari aspek ekonominya.

Para produsen obat sebagian besar meminjam uang dari bank untuk membuat obat dan mendapat treatment sama seperti orang lain dikenakan bunga bank yang tidak murah. Tidak ada previlege, misalnya dikarenakan kita pabrik obat dikenakan bunga bank setengahnya saja atau dibebaskan dari pajak.

Dari aspek teknologi, obat merupakan sesuatu yang kompleks: Teknologi canggih, requirements yang ketat, dan biaya yang makin lama makin tinggi karena tekanan-tekanan kepada kita untuk membuat obat yang benar-benar berkualitas. Produk teknologi dengan pasar terbatas, yang cuma 22 trilyun dan murah, tidak akan ditemukan kecuali pada industri obat. 

Bandingkan misalnya dengan rokok yang pajaknya saja kurang lebih 30 trilyun dan market size-nya sangat besar, tetapi dijual dengan harga yang lebih mahal dari obat. Bandingkan lagi dengan harga OGB yang dijual Rp. 100-400.

Jika pemerintah mengerti, mengetahui dan mendukung industri obat rasanya tidak sesuai dengan konsep tersebut. Sebenarnya dari aspek sosial industri farmasi kita sudah bagus. Setiap ada bencana atau gempa bumi, garda terdepan industri yang maju adalah pabrik obat yang memberikan bantuan.

Karena itu, jika konsepnya ingin berjalan dengan baik harus diserahkan pada mekanisme pasar dan pemberdayaan asuransi. Sebab selama ini harga obat seringkali dikritisi dari mulai isu mahal sampai pemotongan harga yang bisa sampai 70persen. Hal ini bukanlah cara yang bijaksana.

Apabila asuransi diberdayakan maka hasilnya pasti akan bagus. Sebab selama ini uang tercecer di mana-mana. Pemerintah melalui Askes paling-paling hanya sekitar 15persen dari penduduk Indonesia. Ditambah Askeskin sekitar 55-60 juta orang. Saat ini dirasakan program tersebut kurang berjalan, entah apakah Depkesnya yang tidak menurunkan uang atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Askes yang kita tidak tahu.

Jika kita diberikan kesempatan dan pemerintah memfasilitasi untuk membuat tandingan Askes, misalnya dari pihak swasta yang lebih profesional, tentu akan besar sekali manfaatnya. Saya tidak tahu ada berapa pabrik atau perusahaan di seluruh Indonesia. 

Jika dihitung-hitung, jumlah perusahaan di seluruh Indonesia yang memiliki lebih dari 10 karyawan bisa mencapai 1 juta. Berarti jika 1 juta perusahaan terdapat 10 karyawan sama dengan 10 juta karyawan. Data ini harus divalidasi lagi karena bisa lebih bisa kurang. Ini adalah sekedar perumpamaan saja.


Ada semacam konvensi pemerintah yang biasa dipakai bahwa karyawan yang sakit herus dibayar 2 kali gaji. Berarti kalau 10 juta x 2 kali gaji adalah 20 juta. Jika UMR anggaplah rata-rata 1 juta, maka 20 juta x 1 juta = 20 trilun. Ini bisa dijadikan kapitasi untuk memulai program Askes yang basic saja. Biarkan swasta yang mengelolanya sedangkan pemerintah membuat aturan mainnya. Dari pada uang tercecer di mana-mana dan karyawan yang sakit hanya mendapat 2 bulan gaji, lebih baik disimpan di Askes ini demi kesejahteraan karyawan yang lebih baik.

Yang juga saya garisbawahi adalah rencana kebijakan untuk memotong harga obat generik. Masalahnya obat generik yang mana, apakah branded generic atau OGB. Hal ini masih belum jelas dan dikhawatirkan akan terjadi misleading di media massa. Kalau OGB sebenarnya sudah murah. Jika terus menerus dipangkas harganya bisa jadi tidak akan yang berani membuatnya. Akhirnya terjadi kekosongan barang dan keluarlah statement pemerintah untuk mengimpor barang tersebut.

Tentu saja pabrik obat dalam negeri akan kehilangan produksinya. Bayangkan berapa karyawan yang nanti terkena PHK dan berapa keluarga yang kena efek jika hal itu terjadi.

Saya pernah membaca suatu analisa di sebuah surat kabar, kadang-kadang kalau kita tender offer, seolah-olah OGB kita sedikit lebih mahal dari apa yang ditender. Yang harus diingat adalah bahwa OGB sudah termasuk distribution cost di dalamnya, import duty dan bunga. Kalau Amoxicillin misalnya dijual Rp.300-400, itu sudah melalui biaya-biaya masuk, distribution cost, inventory cost, interests, dan lain-lain yang harus ditanggung. Jadi jika dikatakan mahal sebenarnya tidak karena bahan bakunya juga berasal dari impor.

Bahkan saya berani mengatakan tidak lebih mahal dari apa yang ada di pasar dan bahkan lebih murah. Mungkin tidak 100% OGB sama itu lebih murah. Tapi paling tidak lebih dari 50% atau 60% lebih murah sebab hal itu normal saja terjadi subsidi silang, mahal di sini-murah di sini agar perusahaan tidak merugi.

Coba lihat sekarang, ada kurang lebih 40 item obat yang hilang di pasaran karena tidak ada pabrik yang membuatnya disebabkan produksi mereka lebih tinggi dari platform harga yang dikeluarkan pemerintah. Di sinilah perlunya hal tersebut didiskusikan mengenai harga obat apa yang akan diturunkan.
 
Jika ingin menurunkan branded generic sudah pasti sangat mudah, asuransikan saja. Agar OGB bisa lebih murah lagi tentu saja yang utama adalah penghapusan KKN. Kalau rumah sederhana dibebaskan dari PPn dan barang-barang tertentu dibebaskan biaya masuk, kenapa obat tidak? Padahal jika obat dibebaskan pun penerimaan pajak yang hilang tidak banyak dan memiliki multiplier effect yang besar karena obat terkait dengan kesehatan masyarakat Indonesia. (erw)

Obat Generik dan Penggunaan Obat Rasional (2)

Menurut WHO (2001) Penggunaan Obat Rasional harus memenuhi beberapa hal yakni pasien menerima obat yang semestinya sesuai kebutuhan pengobatan; dosis sesuai dengan persyaratan kebutuhan setiap individu, sesuai dengan periode yang tepat; biaya terendah bagi mereka dan masyarakatnya.

Dalam rangka pelaksanaan promosi penggunaan obat rasional, WHO menyerukan 12 intervensi, yakni;
  1. Pendirian suatu badan multi disiplin nasional untuk mengkoordinasi kebijakan penggunaan obat. 
  2. Penggunaan panduan klinik. 
  3. Pengembangan dan penggunaan Daftar Obat Esensial Nasional. 
  4. Pendirian komite terapeutik dan obat di tiap daerah dan rumah sakit. 
  5. Kesimpulan masalah berdasarkan pelatihan farmakoterapi pada kurikulum lulusan dasar. 
  6. Melanjutkan pendidikan pelayanan medis yang dipersyaratkan . 
  7. Supervisi, audit dan respon balik. 
  8. Menggunakan informasi mandiri pada obat-obatan. 
  9. Mengedukasi masyarakat mengenai obat-obatan. 
  10. Menghindari insentif keuangan yang buruk. 
  11. Menggunakan peraturan yang sah dan semestinya. 
  12. Anggaran pemerintah yang mencukupi untuk menjamin ketersediaan obat-obatan dan  pegawainya. 
Hal yang sering terjadi dari penggunaan obat yang tidak rasional, yakni menggunakan terlalu banyak obat pada setiap pasien (poly-pharmacy), penggunaan anti-microbial secara tidak semestinya, pemakaian dosis yang menimbulkan efek ketergantungan obat, penggunaan obat untuk penyakit-penyakit yang bukan karena infeksi bakteri (non bacterial infections), kelebihan penggunaan suntikan manakala formulasi/sediaan dalam bentuk oral akan lebih tidak semestinya, kegagalan peresepan karena ketidaksesuaian dengan panduan klinik obat, melakukan pengobatan sendiri dengan tidak semestinya, hanya menggnakan obat-obatan yang diresepkan saja, ketidaktatan pada aturan dosis. 

Pemakaian obat yang berlebihan, pemakaian yang kurang serta penyalahgunaan obat dapat berdampak buruk pada lingkungan, jika hal tersebut tidak segera dicegah akan semakin meluas hingga menimbulkan resiko yang mengkhawatirkan pada keselamatan manusia.


Obat Generik dan Penggunaan Obat Rasional (1)

Syamsul Arifin, Anggota Penasehat GP Farmasi Indonesia

Pemakaian obat generik di negara-negara maju menunjukkan tren yang semakin meningkat. Ini artinya kesadaran mereka untuk menggunakan obat ini sudah tinggi. Selain harganya lebih murah, khasiat obat generik juga sama dengan obat patent atau branded. Kondisi tersebut didukung dengan sistem asuransi kesehatan yang juga berkembang pesat di Eropa dan Amerika Serikat. 

Di negara-negara maju, konsumsinya semakin lama menunjukkan peningkatan yang signifikan. Oleh karena kesadaran mereka untuk menggunakan obat ini sudah cukup tinggi. Selain itu juga karena sudah membudayanya asuransi kesehatan di negara maju. 

"Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat arahnya sudah generic minded. Kesadaran mereka sudah tinggi. Di sisi lain, kesehatan mereka ditangani asuransi. Dan asuransi lebih suka memakai obat generik karena harganya lebih murah namun khasiat atau kualitasnya sama dengan obat branded. Di negara maju, tahapan produksi obat generik sudah pada super generic. Misal produksi herytrepoitin orang-orang yang harus cuci darah. 

Tahapan paling tinggi adalah bio generic yang memanfaatkan teknologi biomolekuler. Contohnya adalah produksi antibodi untuk penyakit tertentu. Bagaimana situasi dan kondisi penggunaan Obat Generik di Indonesia?

Di tanah air, konsumsi obat generik di nilai masih rendah jika kita bandingkan dengan obat branded atau patent. Trennya masih sebagai komiditi. Bagi para pelaku usaha farmasi produk generik belum dinilai sebagai produk yang profitable, oleh karena volume harus tinggi tapi margin rendah. 

Mengamati permasalahan rendahnya pemakaian obat generik yang terjadi di tanah air bisa kita lihat terdapat tiga sebab utama yang mempengaruhinya. Pertama, walaupun harga obat generik ini murah, namun tidak menjamin penjualan dan ketersediaan obat generik. Dilihat dari kacamata konsumen, seorang pasien dalam posisi yang tidak memiliki pilihan, karena tidak mengerti perihal penyakit dan obat yang dipilih. 

Pada akhirnya permintaan obat generik tergantung oleh penulis resep, yakni dokter. Bukan pasien. Terlebih lagi penulisan resep sangat dipengaruhi oleh promosi perusahaan farmasi yang seringkali menggunakan cara yang cenderung menyimpang dari etika. Promosi tersebut memodifikasi perilaku penulisan resep obat generik para dokter. Disisi lain saya berpendapat pemerintah seharusnya lebih aktif dan lebih gencar dalam mempromosi obat generik. Kedua, tidak ada insentif dalam berbisnis obat generik untuk industri farmasi dan apotek. 

Hal ini memberi dampak dengan label OGB seperti saat ini tidak ada yang menjamin kualitas obat generik walaupun persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah sangat ketat. Dalam hal distribusi dan pelayanan kesehatan obat generik dinilai tidak memberikan keuntungan yang wajar bahkan pada beberapa obat dinilai merugi. 

Di sisi lain produsen obat generik dituntut harga rendah sehingga mereka mencari sumber bahan baku yang murah yang bisa terjadi pengabaian uji bio ekuivalen terhadap originatornya. Di lingkungan usaha apotek harus menyediakan semua jenis obat yang diminta dokter namun tidak mempunyai hak substitusi. 

Akibatnya, menyediakan obat generik di apotek dinilai oleh pengelola apotek tidak efisien apalagi margin terbatas. Ketiga, dokter selaku penulis resep, bahkan masyarakat (pasien) kurang mempercayai kualitas obat generik. Oleh karena tidak ada yang menjamin kualitas dari obat generik. 

Hal ini juga berkaitan dengan kenyataan yang terjadi pada praktek pelayanan kesehatan, yakni dengan banyaknya obat branded yang beredar dengan zat berkhasiat sama saat ini membingungkan para dokter penulis resep. Sementara itu penandatanganan kesepakatan promosi obat antara IDI dan GP Farmasi belum cukup untuk mengarahkan penggunaan obat yang rasional. Kedua hal tersebut membuat posisi pasien semakin tidak berdaya.

Konsep Obat Generik Equivalent
Obat Generik didefinisikan sebagai obat yang mempunyai kesamaan komposisi kualitatif dan kuantitatif pada zat berkhasiat, serta persamaan dalam bentuk sediaan farmasi. Definisi tersebut memerlukan penambahan berkaitan dengan uji bioequivalensi (uji kesetaraan) dengan produk obat yang dirujuk (originator) sebagai standar pengujian dan telah didemonstrasikan melalui suatu studi uji bio availabilitas yang tepat. 

Kriteria dari bio equivalent memiliki konsentrasi maksimal terbatas hingga 90% (dalam darah) dengan AUCt, AUCI yang berkisar antara 80% - 125%. Artinya produk bio equivalent memiliki kriteria yang harus tepat. Oleh karena bila memiliki kriteria sangat baik dapat membahayakan keselamatan pasien, dan bila kurang baik tidak menimbulkan efek terapetik yang diharapkan.

Obat Generic Equivalent (OGE) merupakan program bersama yang telah disepakati oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Produsen Generik (BUMN & Swasta) yang disetujui oleh Badan POM (Pemerintah). 

OGE telah dipersyaratkan setara atau Bio Equivalent dengan originalnya, oleh karena itulah di pasar dibangun persepsi positif sebagai obat yang berkualitas dengan harga yang jauh lebih murah. Adapun mengenai penetapan harganya dilakukan melalui kesepakatan bersama sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan. Bukan oleh pemerintah.

Untuk mengawali produksi OGE ini akan ditetapkan secara bersama apasaja obat yang banyak dibutuhkan masyarakat dan disetarakan dengan produk obat Therapeutic Equivalent yang termasuk dalam rating pada Orange Book, selanjutnya akan diproduksi dan dipasarkan sebagai Obat Generic Equivalent.

Untuk pelaksanaan pengadaannya, para produsen yang mengikuti program tersebut lebih diutamakan bagi perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan uji BA/BE, khususnya terhadap obat yang masuk dalam daftar yang telah ditetapkan. Obat ini merupakan tanggung jawab produsen dalam menjamin kualitasnya oleh karena itu penamaan obatnya tidak hanya menggunakan nama generiknya akan tetapi identitas produsen juga harus jelas.

Penggunaan Obat Rasional
Pemakaian Rasional Obat yang tidak semestinya merupakan masalah yang terjadi di banyak negara di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 50% dari keseluruhan obat telah diresepkan, diedarkan dan dijual secara tidak semestinya. Setengah dari keseluruhan pasien tidak memperoleh obatnya secara tidak benar. 

Pentingnya Kepastian Regulasi pada Industri Farmasi


Ferry A. Soetikno, PT. Dexa Medica 
Pemerintah meminta Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) memberikan masukan yang lebih konkrit dengan konteks peran industri dan pelaku usaha farmasi, saya melihat bahwa Industri merupakan satu peran tersendiri, sedangkan Distributor, Apotek dan Toko Obat menjadi kelompok dengan perannya sebagai pelaku usaha farmasi. 

Oleh karena Pemerintah telah membuka pintu untuk diberi masukan, tentunya diperlukan kesiapan GPFI untuk melakukan pendekatan secara proaktif, mengidentifikasi permasalahan yang ada dan menyusun suatu konsep yang matang baik dipandang dari aspek ekonomi dan sosial, karena kedua aspek tersebut yang menjadi fokusnya.

Simak juga: 
- 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
- Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014

Dimensi Politik pada Obat

Anthony Ch Sunarjo, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia (2007 - 2011)

Komoditi obat yang strategis menempatkan peran pengusaha sebagai stakeholder dan sejajar dengan para pelaku yang terlibat dalam proses pelayanan kesehatan lainnya, baik institusi rumah sakit, profesi dokter, apoteker dan lainnya. 

Oleh karena itu 35 tahun lalu Pemerintah RI telah berpikir jauh ke depan dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 222/Kab/BVII/69, 3 Oktober 1969 yang kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DirJen POM No.HK.00.06.2.02479, 19 September 1996.

Melalui kedua ketentuan di atas, pemerintah telah menetapkan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) sebagai satu-satunya asosiasi perusahaan bidang farmasi, artinya menempatkan obat sebagai komoditi strategis yang memerlukan perhatian ekstra dan menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang wajib terjaga ketersediaan dan keterjangkauannya. Oleh karena secara langsung terkait dengan ketahananan bangsa, tentunya obat bukanlah komoditi biasa. Dengan demikian para pebisnis farmasi harus mempunyai integritas dalam menghargai produknya terkait safety, efficacy dan quality.

Sebagai regulator, kreator sekaligus motivator, peran Pemerintah dalam hal ini Kementeriam Kesehatan (Kemenkes) seharusnya fokus pada tugas pelayanan kesehatan, artinya mengkoordinasi seluruh unsur yang terlibat dalam proses pelayanan kesehatan sehingga berjalan dengan baik. Ukuran keberhasilannya adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat serta menurunnya angka mortalitas.

Jadi semakin kreatif program pelayanan kesehatan dan semakin baik motivasi Kemenkes melakukan pembinaan seluruh stakeholder bidang pelayanan kesehatan, maka semakin mudah rakyat memperoleh akses pelayanan kesehatan. Dampaknya semakin positif bagi ketahanan bangsa. Namun sebaliknya bila pelayanan kesehatan lemah maka peran pemerintah sebagai regulator diindikasikan lemah pula, dengan kata lain mencerminkan pula lemahnya ketahanan bangsa kita.

Bila kita tinjau lebih mendalam pelaksanaan pelayanan kesehatan melalui rangkaian proses yang cukup panjang. Mulai dari registrasi, perawatan di rumah sakit, biaya laboratorium, kegiatan operasi, jasa dokter, jasa apoteker sampai pemakaian obat. Sederet proses itu masing-masing harus dibayar oleh pasien (out of pocket) dengan biaya yang tidak murah. Kita bisa melihat bahwa pemakaian obat merupakan rangkaian terakhir dan bagian kecil dalam sistem pelayanan kesehatan. Bila kita bandingkan masing-masing biaya proses tersebut, saya pikir sungguh tidak beralasan bila pada akhirnya harga obat dituduh sebagai satu-satunya penyumbang mahalnya biaya kesehatan.

Terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu (2004) memulai fenomena baru. Dari awal terbentuknya kabinet sampai saat ini upaya Depkes hanya pada seputar harga obat. Hingga tahun 2007 slogan “obat mahal, tidak terjangkau” seolah menjadi senjata untuk membuka akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Pada 3 Agustus 2006 yang lalu, Menkes resmi menurunkan harga 85 item Obat Generik Berlogo (OGB) 5% - 30%. Keputusan penurunan harga tersebut diatur dalam SK Menkes No. 487/Menkes/SK/VII/2006 sebagai pengganti SK Menkes No. 336/Menkes/SK/V/2006 tentang Harga Obat Generik yang mengatur harga 386 item obat generik yang ada saat itu.

Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa yang dilakukan oleh Kemenkes saat ini jauh dari tugas utamanya. Kenyataan yang terjadi saat ini akses masyarakat pada pelayanan kesehatan justru terhambat. Karena penurunan harga obat generik berdampak pada kesulitan industri farmasi dalam memproduksinya, akhirnya ketersediaan produk itu menjadi semakin sulit. Kenyataan in menunjukan kegagalan pemerintah dalam melakukan penataan sistem pelayanan kesehatan masyarakat.

Dari sederet aksi pemerintah selama ini menunjukan kecenderungan menyudutkan harga obat sebagai biang keladi masalah kesehatan. Saya berpikir bahwa pemerintah telah memicu munculnya dimensi politik pada obat, dengan menggunakan penurunan harga obat OGB menjadi political commodity

Memang cukup mudah untuk mencari popularitas dengan mengumbar isu mahalnya harga obat, manakala dikaitkan dengan kemampuan ekonomi rakyat kecil. Program yang tidak pernah usang dan seolah mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat.

Di sini jelas bahwa masyarakat sedang diarahkan berpikir pragmatis sehingga sulit memahami secara mendalam posisi obat di dalam rangkaian proses pelayanan kesehatan yang panjang dan mahal itu. 

Melihat kenyataan yang terjadi, saya yakin sebagian besar perusahaan farmasi akan mengalami kesulitan.Tekanan politik di bidang farmasi akan semakin tinggi terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Kembali saya menyampaikan kepada seluruh perusahaan farmasi nasional memikirkan upaya yang strategis untuk mengantisipasi situasi yang semakin rumit.

Saya pikir perlu segera dilakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dengan tujuan yang lebih makro dalam menuntaskan masalah pelayanan kesehatan. Oleh karena masalah pelayanan kesehatan tidak hanya bertumpu terhadap selesainya masalah harga obat. Untuk itu diperlukan langkah yang lebih konkrit dengan melakukan pendekatan secara politis melalui wakil rakyat dan lembaga pemerintah lainnya untuk membahasnya secara bersama. 

Dengan harapan pemerintah memperoleh informasi yang lebih seimbang sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih positif, baik bagi bidang usaha farmasi maupun masyarakat luas. (erw)

Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (1)

Ahaditomo, Meiji Indonesia
Sepanjang 3 dekade perjalanan bisnis bidang farmasi kita sejak diterbitkannya SK Menteri tentang pengesahan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) hingga saat ini, kita masih belum punya suatu konstruksi yang melandasi penangaan seluruh bidang, baik Bidang Industri, Distribusi, Apotek dan Toko Obat. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa sejak awal kita telah melakukan suatu proses yang keliru dan beresiko kegagalan dalam pengelolaan obat di Indonesia. 

Menyikapi pidato Presiden pada Munas XIII GP Farmasi 2007, sebaiknya kita tidak terperangkap oleh pikiran Presiden yang belum tentu tepat. Karena bidang usaha farmasi yang high regulation, high technology ini sangat rumit, dan saya yakin hanya pelaku didalamnya yang memahami permasalahan dengan benar. Kita sebaiknya tidak berasumsi bahwa Presiden memahami kerumitan dari permasalahan yang ada. Kalau pun Presiden saat ini menanyakannya, kita tidak mungkin memberi jawaban sedemikian rupa, dan berharap permasalahan dapat langsung diselesaikan?

Melakukan tanya jawab seperti itu bisa saja dilakukan, namun yang seperti ini, hanya menjadi suatu premis, tapi belum tentu suatu hipotesis. Jadi artinya permasalahan yang terjadi di bidang obat tidak dapat selesai begitu saja dengan tanya jawab.
 
Menurut saya pertanyaan yang harus terjawab adalah mengapa terjadi banyak sekali permasalahan yang tidak kunjung selesai di bidang usaha Farmasi Indonesia? Bagaimana sebenarnya penangannanya? Tentunya kita juga perlu mengetahui bagaimana penanganan bidang farmasi di negara-negara lain? Apa mungkin kita bisa lakukan seperti di Philipina, Malaysia, Singapore yang memiliki konsep penanganan obatnya baik.Tentu untuk menjawab bagaimana pengelolaan obat berskala nasional diperlukan suatu model yang efektif. 

Artinya ketika Presiden menanyakan bagaimana mengatur soal obat nasional, sudah seharusnya Industri Farmasi Nasional punya pemikiran tentang konsep obat di Indonesia. Kemudian disampaikan dalam melalui suatu konggres yang dapat ditindaklanjuti. Bukan dengan menjawab pertanyaan Presiden, sementara kita sendiri belum punya konsep yang jelas, yang aplikatif. Jadi sebenarnya kita belum siap untuk menjawab permasalahan yang ada.

Saya setuju dengan Pak Anthony, bahwa harus dilakukan pengkajian yang ilmiah dan mendalam dan pendekatan secara politis untuk meng-golkan kepentingan semua pihak. Saya melihat bahwa pemerintah juga belum siap dengan konsep penanganan obat nasional. Dengan demikian diperlukan masukan-masukan dari para stakeholder termasuk dari pelaku bisnis, secara proaktif.

Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (4)

Oleh karena selama ini tidak ada penjamin yang bertanggung jawab atas resiko penggunaan obat. GP Farmasi, secara internal harus mengambil peran dalam memperbaiki jaringan retail farmasi guna melindungi masyarakat dari resiko penggunaan obat.


Disamping itu karena tempat pelayanan obat tidak menjamin terjadinya siklus produksi yang baik, distribusi yang baik. Karena selama ini pelayanan obat dinilai dilakukan juga oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka ditengarai melakukan pelangaran-pelanggran dengan menerima dan menjual produk ilegal.

Ini adalah 3 hal pokok besar yang harus dilakukan berkenaan dengan memenuhi kebutuhan obat masyarakat. GP Farmasi harus mengatur dari dalam bersama asosiasi profesi farmasi (IAI). Tapi harus dilakukan dengan jelas, tidak bisa setengah-setengah. Pemerintah sangat lemah dalam menyusun dalam konsep pelayanan obat sehingga masyarakat tidak terjamin dari resiko bahaya obat. 

Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (2)

Legislatif dan Regulatory
Saya bisa mengatakan bahwa Indonesia tidak tegas dalam menata visi industri farmasi nasional. Karena sebenarnya kita tidak memiliki suatu kerangka acuan, tidak ada blueprint yang dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan.

Sebuah acuan dengan latarbelakang bahwa masyarakat ini tidak disusun oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama. Demikian pula pengadaan obat, ada obat yang bisa diproduksi oleh pabrik kecil adapula obat yang bisa diproduksi oleh parbrik besar dengan skala yang lebih luas. Industri kecil ini tidak bisa memfasilitasi pabriknya seperti industri besar, yang teknologinya sangat tinggi.

Artinya terkait dengan kepentingan-kepentingan tersebut terdapat area-area yang bisa menjadi satu, ada juga area-area yang mutlak tidak bisa dijadikan satu. Sehingga harus dilakukan suatu penelusuran mendalam untuk memperoleh kesesuaian dalam merumuskan suatu ketetapan.

Dengan demikian peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah nantinya merupakan peraturan yang telah sesuai dengan kepentingan yang beragam, yakni kebutuhan dari setiap level dalam masyarakat dan kemampuan masing-masing industri lokal yang ada.
Ini yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah, untuk membela kepentingan rakyat kecil yang selama ini disuplai obatnya dari industri-industri lokal. Bisnis farmasi pada dasarnya hanya terletak pada bidang industri, distribusi, pelayanan apotek dan toko obat, yang merupakan suatu lingkaran yang tidak terputus. Maka dalam mengatur pengelolaan obat bagi masyarakat, pemerintah harus mengupayakan kelancarannya agar peredaran dalam lingkaran itu berjalan dengan seimbang dan berkelanjutan.

Melihat kenyataan yang kita alami bahwa dalam bidang usaha farmasi sudah ada peraturan untuk namun tidak didukung oleh adanya suatu standard pelaksanaanya yang jelas. Di bidang industri, distribusi, apotek dan toko obat Undang-undangnya sudah ada. Saya ambil contoh UU GMP/cGMP itu sudah ada, masalahnya sampai hari ini standar pelaksanaannya belum ditetapkan, akhirnya obat yang diprodusi pabrik tidak memiliki standar yang sama.

Dengan demikian saya sampaikan kepada Pemerintah untuk memberanikan diri menetapkan suatu blueprint bagi bidang usaha farmasi yang diikuti oleh pelaku usaha yang masuk kedalam bisnis farmasi. Untuk itu diperlukan keberadaan quality decision maker untuk menetapkan standar-standar dalam bidang farmasi jelas dan tegas.

Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (3)


Pharmaceutical Distribution Practice
Distribusi belum efisien, pertama jumlah pasarnya kecil dibagi oleh banyak sekali pelaku distribusi. Kedua standar distribusi belum didefinisikan dengan baik. Saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan/distributor obat lokal bukan konsep distribusi, tapi lebih kepada konsep trading. Karena konsepsi distribusi berbeda dengan konsepsi trade, tentu ini sangat berpengaruh pada harga obat.

Seharusnya letak geografis Indonesia bukan menjadi hambatan kita untuk mendorong efisiensi. Kita bisa melihat lebih dekat bahwa jumlah populasi di Jawa dan Sumatra hampir mencapai 75 - 80 persen dari populasi di Indonesia sisanya sekitar 20 - 25% tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua.

Sepanjang distribusinya baik, soal efisiensi di Jawa dan Sumatra sebenarnya dapat dilakukan secara efisien. Di luar Jawa dan Sumatra harus disediakan fasilitas layanan ekslusif karena hanya memiliki sekitar 2,5% saja dari kebutuhan obat nasional. Jadi perlu jalur khusus jangan buat jalur baru dari Jawa sampai Papua dan seterusnya.

Memang kalau kita bicara GDP, tentu banyak yang keberatan akan mematikan kelompok distributor kecil yang dinilai kurang memenuhi syarat. Akhirnya bicara biaya obat yang murah, tidak dapat dicapai tujuanya karena ada biaya distribusi yang harus dibayar mahal. Konsep distribusi harus kita standarkan dengan standar baru.

Ambil contoh sistem distribusi perusahaan minuman seperti Aqua dan Cocacola berapa jumlah distributor di pasar loka yang efisien. Misalkan, mereka menerapkan distribusi hanya dalam batas 1.000 km, setiap kali melewati 1.000 dibatasi. Begitu juga dengan distribusi di industri surat kabar, mereka bisa melakukan data dalam bentuk digital ke percetakan di luar pulau untuk melakukan cetak jarak jauh. Karena hal ini dinilai sangat efisiensi biaya dan efektif untuk tranformasi berita aktual.

Contoh tersebut menjadi alternatif kita untuk membuat suatu konsep distribusi yang baik. Termasuk persyaratan tentang distribusi pabrik dan pergudangan. Untuk memasok obat esensial yang merata, pabriknya tidak bisa hanya di Jakarta saja, karena kita menghadapi masalah biaya transportasi yang mahal.

Barangkali juga harus ditetapkan standar distribusi dalam hal kemampuan keuangan perusahaan dengan membagi 3 level group. Misalnya, standar untuk level A adalah perusahaan dengan kemampuan 1 triliun yang mungkin margin sebesar 7,5 persen saja sudah mencukupi untuk kelangsungan bisnis. Begitu juga dengan level di bawahnya B dan C harus dibuat standarnya berapa biaya yang masuk akal.

Dalam hal ini dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi prosesnya dan ikut bertanggung jawab untuk merealisasikannya, misalnya dalam tempo sekian tahun tercapai praktek distribusi yang baik. Standar distribusi yang baik harus dilaksanakan untuk menjamin mutu obat.

Untuk itu seharusnya pemerintah dan GP Farmasi harus mengkalkulasi kebutuhan obat esensial secara nasional untuk 5-10 tahun kedepan, sesuai dengan tingkat pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, meningkatnya jumlah penyakit, dan sebagainya. Baru kemudian ditetapkan skala industrinya untuk memasok kebutuhan obat esensial ini dan ditetapkan melalui kompetisi yang sehat tentang sarana-sarana produksi.

Dengan demikian, Distribution of Chart tetap sesuai berdasarkan populasinya, bukan mensentralisasi distribusi. Oleh karena itu perusahaan/distributor yang besar harus mempunyai standar yang jelas guna menjamin pasokan obat, memiliki gudang sendiri dan segala sesuatu yang berstandar praktik distribusi yang efektif dan efisien.

Retail Farmasi
Masyarakat Indonesia sama sekali tidak menikmati pelayanaan obat yang baik, sehingga masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang bahaya terhadap kesehatannya. Meskipun ini relatif umum terjadi pada negara-negara yang sama dengan Indonesia satu-satunya. Namun ini jelas melanggar hak asasi manusia. 

Oleh karena masyarakat pemakai obat di Indonesia sama sekali tidak terlindungi dari resiko berbahaya penggunaan obat. Salah satu masalahnya oleh karena selama ini banyak terjadi perbedaan penerapan peraturan antara Dirjen Pelayanan Farmasi Kemterian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan di Kebupaten. Padahal dalam penerapan peraturan pelayanan kesehatan juga harus tegas, dan seharusnya tidak ada perbedaan antara pusat dan daerah.

Dalam hal ini pemerintah sebaiknya tetap menggunakan peraturan pelayanan kesehatan yang sudah ada, hanya dalam implementasinya dibutuhkan profesional-profesional dan handal untuk menerapkannya di lapangan (daerah). Untuk itu sebaiknya pemerintah harus membuat suatu konsep (konstruksi) baru dan menyeluruh melibatkan tenaga-tenaga kesehatan di daerah agar sistem ini bisa berlangsung di semua tempat.

Konstruksi pelayanan kesehatan sebaiknya dirancang secara menyeluruh dan dapat diaplikasikan di tingkat daerah. Sehingga manakala ada kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti pelaksanaan program-program pemerintah misalnya Keluarga Berencana, Askeskin, atau keadaan bencana, konstruksi ini langsung dapat digunakan secara efektif. Karena di setiap daerah sudah tersedia tenaga kesehatan yang siap bekerja, yakni tenaga apoteker yang paham penggunaan obat. Mereka menjadi ujung tombak, tinggal melakukan koordinasi di lapangan.

Dengan demikian mata rantai distribusi di level retail lebih terorganisir, mudah diawasi dan terkendali (tidak dibiarkan liar). Pemerintah harus membuat guideline yang mencakup informasi aktual menganai populasi penduduk, pendapatan, jangkauan, institusi, apotek dan lain-lain.

previous  |  nextpage  |

Top Ad 728x90