"Forget Brazil, Come to Indonesia"

Perekonomian Indonesia Kian Menarik  
Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6% dari rata-rata Asia 7,1%, merupakan negara ketiga tercepat setelah China dan India dalam hal pertumbuhan. Konsumsi domestik yang kuat dari tingginya angka penjualan kendaraan bermotor dan konsumsi bahan bangunan yang tinggi menjadi beberapa indikator pertumbuhan itu.

Dana asing pun terus mengalir deras ke Indonesia. Total mencapai Rp115 triliun yang masuk ke berbagai instrumen investasi seperti obligasi negara, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan bursa saham.

Bahkan, beberapa lembaga keuangan asing masih merekomendasikan agar mereka membenamkan investasinya di Indonesia. "Lupakan Brasil, saatnya membidik Indonesia," ujar Kepala Investasi Citigroup Private Bank untuk Asia, Debashish Dutta Gupta.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pun menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 dari 5,5% menjadi 6,1%. Angka ini lebih baik dari capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 yang sebesar 4,5%. ADB juga memperbaiki proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 dari semula 6% menjadi 6,3%.

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di sektor konsumsi dan lemah di bidang industri. Untuk jangka panjang, pertumbuhan Indonesia dipandang tidak cukup berkelanjutan. "Dengan pertumbuhan 6% per tahun, Indonesia hanya menyamai pencapaian Malaysia dalam 20 tahun ke depan, atau 24 tahun untuk menyamai pertumbuhan rata-rata ekonomi dunia," kata Sjamsu Rahardja dari Paramadina Public Policy Institute.

Sjamsu yang merupakan ekonom Bank Dunia ini juga mengatakan nilai investasi yang dibawa oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) belum pasti. "Indonesia belum bisa berbangga karena nilai tersebut belum menjadi kenyataan," kata dia.

Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang cenderung memproteksi ketimbang membuka pintu investasi. "Ketika India membuka diri untuk service center, kami bicara bagaimana memproteksi hal ini," kata Sjamsu.

Pemerintah Indonesia, menurutnya, seharusnya memikirkan langkah yang lebih strategis ketimbang proteksi. "Berikan insentif," katant.

Selain itu, dia menekankan pada belanja infrastruktur Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan China dan India. India telah merealisasikan belanja infrastruktur sebesar US$30 juta, sedangkan China US$100 juta.

"Indonesia sangat kecil, hanya US$10 juta, bagaimana mau menyamai China," kata dia. Guna menyokong laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar tujuh persen pada 2012, pemerintah perlu meningkatkan belanja modal infrastruktur dua kali lipat dari anggaran tahun ini.

Tahun ini, pemerintah Indonesia baru menghabiskan belanja infrastruktur sebesar 3,5% dari PDB. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong investasi bidang ekonomi riil serta pertumbuhan PDB di atas 7%.

Pergerakan Pasar & Industri di Asia
Dampak dari krisis global yang melanda dunia mengalihkan mata investor ke Asia. Dua raksasa ekonomi Asia, China dan India berhasil menikmati pertumbuhan cukup tinggi, sehingga mendongkrak perekonomian di kawasan Asia.

Asian Development Bank (ADB) memprediksi perekonomian China bakal tumbuh 9,6 persen tahun ini. Meski pada 2011, pertumbuhan ekonomi sedikit melambat menjadi 9,1 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di India diprediksi tumbuh sebesar 4,1 persen pada 2010 dan 3,9 persen selama 2011.

Menurut Xingyuang Feng dari Chinese Academy of Social Science, pertumbuhan ekonomi China ditopang oleh kebijakan pasar terbuka yang diterapkan pemerintah. "Dengan ini kompetisi selalu terjaga dan setiap orang akan berlomba menjadi yang terbaik," kata Xingyuang dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Freedom Institute di Jakarta, Rabu 6 Oktober 2010.

Namun, optimisme China tersebut akan segera terkalahkan oleh India. Ada dua alasan kenapa pertumbuhan ekonomi India akan melebihi China. 

Pertama, adalah faktor demografi. Sumber daya manusia (SDM) di China diperkirakan mulai susut akibat kebijakan satu anak. Kedua, implementasi demokrasi di India. Pemerintah terpilih India saat ini memutuskan sebuah kebijakan berdasarkan pemilih mereka.

"Sekarang semua politisi di India bicara soal infrastruktur jalan, karena kalau tidak mereka akan ditinggalkan oleh para pemilih," kata Barun S Mitra dari Liberty Institute India. Barun memperkirakan faktor-faktor tersebut dapat membuat ekonomi India tumbuh hingga 10%.

Menurutnya, kondisi di India itu juga diharapkan dapat membantu masyarakat mengubah kebiasaan yang pada akhirnya membawa perubahan. (erw)

Merintis Industri Bahan Baku Obat di Indonesia

'Belajar dari Komitmen Cina'
Indonesia yang merupakan the 3th Biggest Asia Market memiliki sejumlah industri farmasi yang kompetitif untuk pasar regional. Pangsa pasar regional yang kini nilainya mencapai US$600 milyar tentu menjanjikan keuntungan luar biasa. Dan sebagai pasar besar, Indonesia memiliki potensi yang baik untuk tumbuh jauh lebih tinggi dari nilai pasar saat ini.
.
Vincent Harijanto
Ironisnya, dari 208 industri farmasi lokal di tanah air, semua bahan bakunya 'ngimpor' dari luar negeri. Memangnya, kita ndak mampu membangun sendiri industri bahan baku nasional? Apakah punya pabrik bahan baku sendiri suatu opsi yang buruk untuk dunia farmasi dan kesehatan kita di masa depan? Dus, menyiapkan kemandirian farmasi nasional sebagai penunjang kesehatan bangsa, apa cuma euphoria pengisi rehat kopi saja?

Tamu kita kali ini, Vincent Harijanto Ketua Komite Bahan Baku Obat GP Farmasi Indonesia. Pengalamannya di bidang kerjasama importasi bahan baku obat dari banyak negara termasuk Cina, bisa kita jadikan referensi. Untuk bisa mengatakan yes or no untuk membangun industri bahan baku nasional.

Berikut petikan wawancara dengan Presdir PT Tigaka Distrindo Perkasa ini;

 
Pak Vincent, bisa dijelaskan awal sejarahnya kok negeri kita tidak punya industri bahan baku lokal untuk farmasi?
Menjawab ini tentu tidak bisa bila kita tidak menengok masa lalu. Begini, saya mau pisahkan dulu antara industri bahan baku farmasi dengan industri farmasi obat jadi. Dalam beberapa presentasi yang mengungkap bagaimana pemerintah Indonesia di masa lalu, bagaimana kemudian dengan Cina pada masa yang sama.

Tapi untuk melihat ini lebih jelas, kita perlu kembali pada tahun 70-an, dimana Indonesia mulai membuka diri untuk investasi asing di bidang obat-obatan. Saat itu, kebijakan pemerintah untuk mendorong investasi sektor farmasi dengan memberi tax holiday kepada investor multi national companies (MNCs), sehingga masuklah mereka kira-kira sekitar 30 sampai 40-an MNCs.

Pada awalnya MNCs memproduksi obat jadi, semua bahan bakunya diimpor, entah itu dari mother company-nya, atau dari yang lain, selanjutnya memasarkannya di Indonesia.

Tentu industri-industri yang baru masuk ini berdampak positif bagi Indonesia, karena sebelumnya tidak ada investasi di bidang ini. Kemudian pemerintah juga membuat kebijakan bahwa setelah 5 tahun memproduksi obat jadi di Indonesia, MNCs harus membuat minimum satu produk bahan baku.

Apakah itu dapat terlaksana? 

Benar setelah berjalan 5 tahun mereka membuat bahan baku disini. Walau itu disesuaikan dengan kebutuhan mereka sendiri, mereka menyebut sebagai captive product, misalnya Merck membuat vitamin B1 untuk produk jadinya. Artinya ini seharusnya jadi fase baru bagi dunia farmasi tanah air sebagai pemicu peluang untuk membangun industri bahan baku farmasi nasional kedepan.

Secara sederhana kita berhitung, bila setiap industri membuat satu produk bahan baku, tentu dari 30-40-an industri ini akan menyediakan sedikitnya 30-an jenis bahan baku bagi kita. Kebijakan inilah yang diharapkan menunjang kemajuan industri farmasi nasional dari hulu hingga hilir. Sehingga terjadi transformasi pengetahuan sekaligus penyerapan tenaga kerja.

Sayangnya, harapan ini tidak terwujud. Pada periode berikutnya kebijakan ini terabaikan. Pemerintah sendiri kurang tegas dalam menerapkannya karena begitu industri MNCs sudah tidak berkenan memproduksi bahan baku (walaupun hanya untuk mereka sendiri), pemerintah tidak banyak berbuat kepada MNCs untuk tetap mematuhi kebijakan itu.

Apa yang menjadi alasannya sehingga kebijakan ini terabaikan?

Kebijakan berkaitan dengan pembangunan industri bahan baku sebagai syarat masuknya industri MNCs tidak diterapkan secara konsisten, walaupun mungkin saat ini policy itu belum dicabut.

MNCs tidak berkehendak membangun industri bahan baku di Indonesia, alasannya tidak kompetitif karena pasarnya tidak dapat memenuhi skala industri, itu yang jadi alasan pertama.

Kedua, memang dalam hal volume pasar Indonesia kalah dibanding Cina yang jumlah konsumennya 1,3 milyar. Mereka bisa membuat ratusan ton, kemampuan Indonesia jauh dibawah jumlah itu. Dan ketiga, memang benar kalau kualitas bahan baku Cina semakin baik, sehingga kita merasa tidak perlu meneruskan kebijakan itu.

Tapi ketiga kondisi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengurungkan niat kita punya industri bahan baku sendiri. Ironis, sebagai big market tidak punya 'nyali' memiliki sendiri industri bahan baku obat nasional. Alasan itu tidak sebanding dengan kemandirian yang dapat kita capai di masa depan. Kita lihat hari ini, tren contract manufacturing mulai bergairah di Indonesia, kebutuhan bahan baku untuk industri farmasi nasional akan menjadi pasar yang besar.

Jadi yang pertama saya ingin katakan, pemerintah seharusnya konsisten dan segera memacu kembali rencana membangun industri bahan baku nasional karena akan berpengaruh pada daya saing kita di pasar domestik maupun regional. Negara Cina dan India juga melakukan hal yang sama, mereka merintis dan bersusah payah selama 20-an tahun. Tapi sekarang tumbuh menjadi raksasa industri, termasuk bidang bahan baku farmasinya. Kini mereka mendapat imbalan atas perjuangan itu.

Bagaimana bisa Cina mampu melakukannya sedang Indonesia tidak?
Dalam sejarah perkembangan industri bahan baku, ada satu perbedaan besar antara Cina, India dan negeri kita, Indonesia. Di Indonesia belum ada satu industri pun yang memulai pembuatan bahan baku kimia dasar/inter mediate untuk farmasi, baik bahan parasetamol, antalgin dsb.

Berbeda dengan Cina yang sejak awal konsisten dengan rencana membangun industri ini, walaupun diawali dengan kualitas yang dinilai tidak mumpuni.

Tahun 70-an, home industry di Cina sudah bisa membuat parasetamol. Tahun 80-an produsen bahan baku yang jumlahnya ratusan itu beroperasi dalam bengkel-bengkel/rumahan memproduksi 'puresitong' (sebutan orang Cina untuk parasetamol) dan beberapa bahan baku lainnya.

Memang saat itu hasilnya kurang baik, tetapi dari sanalah mereka belajar, sehingga sekarang ini mereka menjadi produsen bahan baku obat terbesar di Asia bahkan dunia. Kualitasnya pun beragam. Dari ratusan 'bengkel' parasetamol dalam kurun waktu 20 tahun menjadi industri yang terhormat di pasar global.

Apakah benar di Indonesia tak pernah ada seorangpun yang memulai?
Ya ada, dari dulu seperti Kimia Farma itu bikin kininne, castor oil, tapi yang lain tidak mau ikutan. Jadi jauh dibandingkan dengan mereka di Cina walaupun dimulai dari bengkel. Tidak ada dorongan dari pemerintah dan industri farmasi lokal untuk melakukannya secara mandiri seperti di Cina. Kalau Indonesia mau mengarah kesana, niatnya harus kuat dan konsisten, perlu dukungan investasi. Saya kira, waktunya belum terlambat.

Tapi apakah ada yang mau berinvestasi di industri pengolahan bahan baku farmasi?
Ada. Contohnya PT Riasima Abadi Farma itu investasi untuk pembuatan parasetamol di Indonesia, dulu Sandoz buat ampicilin dan amoxicilin tapi sejak 2005 lalu sudah tidak beroperasi lagi. Industri bahan baku kita yang masih ada, PT Daewoong Riasima yang memproduksi amoxicilin.

Disinilah bedanya sejarah Indonesia dengan Cina terkait kemandirian bahan baku obat. Kita membangun industri bahan baku harus menarik investasi, sementara di Cina, mereka merintis sendiri dari awal. Sekarang bisa kita lihat sendiri keberhasilan mereka.

Apakah kemajuan Cina ini mempengaruhi industri bahan baku dari Eropa/AS yang selama ini kita impor?
Tentu, pengaruhnya signifikan. Tahun 70-80-an, nilai impor kita untuk bahan baku obat dari Eropa dan AS mencapai 80%, sementara impor dari India dan Cina berkisar 15-20%.

Banyak alasan dari angka awal ini, pertama adalah kualitas. Cina pada tahun-tahun itu masih sangat diragukan soal kualitas. Masalah lainnya adalah komunikasi, kita jauh lebih mudah berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan Eropa dan AS, dibanding dengan Cina.

Untuk pasar domestik pebisnis Cina hanya berkomunikasi dengan bahasa mandarin, kita mengalami kesulitan mencapai saling pengertian untuk bekerjasama, plus masalah hubungan diplomatik walaupun ini bukan masalah yang signifikan.

Tahun 80-an saja, kebanyakan pebisnis Cina tidak memahami international trading, artinya mereka mengabaikan hal-hal seperti itu. Saat itu kontrak kerjasama sering terkendala dipelaksanannya. Jadi businesss ethic, commercial agreement, international relationship, belum dapat dilaksanakan dengan baik. Misalnya kalau saat itu harga cenderung naik, mereka tidak akan mengirim barang ke kita. Oleh karena itu kita sulit bekerjasama dengan Cina saat itu.

Tapi akhir tahun 90-an sampai 2000, mereka tumbuh dengan baik, secara kualitas produk, etika kerjasama bisnis serta perdagangan internasional. Saat ini komposisi perbandingan importasi bahan baku Indonesia dari Cina dan dari Eropa/AS berbanding terbalik masing-masing 80% dan 20%.

Bagaimana kebijakan pemerintah Cina sehingga berhasil membangun industri ini?
Saya katakan, Pemerintah Cina konsisten dan respons mereka cepat mengatasi perubahan situasi. Kalau tahun 1997 mereka merasa bahwa ekspornya harus dikurangi, maka tax rebate para eksporter tidak dikembalikan, tapi pada saat mereka mau mendorong ekspor, para eksporter akan mendapat tax rebate.  Kita perlu belajar dari konsistensi kebijakan dan kecepatan merespon perubahan situasi seperti yang mereka lakukan.

Apakah iklim di Indonesia saat ini bisa dikatakan kondusif untuk berinvestasi?
Ya ini, tergantung bagaimana kita memperbaiki situasi, tentu kita tidak bosan-bosannya memberi masukan, mengingatkan pemerintah. Menurut saya tentu regulator perlu secepatnya memperbaiki situasi, agar iklim ekonomi kita lebih kondusif.

Tapi apakah Indonesia harus memiliki industri bahan baku ataukah sebaiknya kita selamanya sebagai pengimpor saja. Toh kita sudah tertinggal jauh dari Cina, apalagi harga produknya jauh lebih murah?
Kalau kita ketinggalan memangnya kita nggak bisa mengejar? Ya, jangan mengejar dalam arti yang frontal, maksudnya kita bisa memulai dengan memilih item-item mana yang mampu kita buat, ini langkah awalnya untuk mengejar ketinggalan. Nah, produk yang kita tidak bisa kita produksi sendiri, ya sebaiknya kita menggandeng mereka.

Menurut saya, meskipun kita sadar bahwa sebagian besar pendapat sudah pesimistis; 'Buat apa kita membangun industri? Kita impor sajalah'. Kalau kita mempertahankan ketidakkonsistenan dalam melaksanakan peraturan ini, jangan berharap bisa menjawab tantangan perubahan di kemudian hari.

Sama halnya dengan industri farmasi kita, apa produk kita lebih murah dibanding kalau kita impor dari Cina atau India? Kalau pesimis, kenapa kita mempertahankan 200-an industri farmasi kita yang tidak kompetitif dibanding Cina dan India? Kenapa nggak ngimpor saja semuanya, karena kita merasa sudah tertinggal? Jelas, bukan itu pilihan kita toh...

Jadi bagaimana kita memilih produk yang dapat kita kejar dan bagian mana yang harus menggandeng mitra?
Ya, katakanlah kita bagi dalam tiga grup, misalnya Grup A adalah item yang tidak mungkin kita bisa buat, kita pilih impor. Grup B, beberapa item kemungkinan bisa kita buat tapi dengan persyaratan tertentu, misalnya dukungan pemerintah dan investasi.

Lalu Grup C masih banyak item produk yang kita bisa buat sendiri dan masih bisa compete.

Nah, kita bisa mendorong kedua grup (B dan C) untuk dilaksanakan. Tidak perlu semua dilakukan secara bersamaan, sedikit demi sedikit tapi berkelanjutan. Kalau untuk item tertentu memang harus bekerjasama dengan industri Cina atau India, ya dilakukan saja. Tidak perlu khawatir, karena kita pemilik pasar terbesar di Asia Tengggara. Ini yang harus kita gunakan dengan suatu pemikiran yang kreatif.

Dukungan dari sisi mana yang diperlukan dari Pemerintah?
Harus dicarikan solusi yang mengakomodasi kepentingan bersama. Misalnya, pemerintah sendiri jangan terus mengambil keputusan untuk impor, kalau industri farmasi tidak kompetitif.  Mengakomodasi kepentingan bersama tentu terkait dengan banyak hal, baik sisi perindustrian, perdagangan, permodalan, teknologi, tenaga kerja, daya beli masyarakat, situasi politik, regulasi yang konsisten dan sebagainya.  Jadi harus ditata dengan benar tahap demi tahap untuk pembangunan dalam jangka panjang.

Cina memulai membangun industrinya juga dengan suatu komitmen dan dilaksanakan bersama. Salah satu contoh, kebijakan Cina dalam membangun lingkungan. Kita tahu kok bagaimana buruknya kondisi lingkungan di Cina. Pada waktu Beijing Olympics 2008 misalnya, semua yang berkaitan dengan polusi mereka terapkan peraturan yang sangat ketat. Mereka cek lingkungannya, selanjutnya diambil keputusan, yang bisa diperbaiki segera diperbaiki, yang tidak bisa, dipindahkan atau ditutup.

Tadinya kami berpikir bahwa itu hanya sementara waktu, tapi ternyata penerapan kebijakan pembenahan lingkungan itu dipakai sebagai suatu basis untuk pengembangan lingkungan berkelanjutan.

Jadi, sekarang dengan kualitas produk yang baik, komunikasi baik, etika bisnisnya dijalankan dengan baik dan lingkungan juga baik, mereka mudah melakukan kerjasama dengan banyak pihak, baik dengan negara-negara Eropa maupun AS. Di sini yang patut kita tiru dari komitmen negara Cina.

Yang menarik, berhubungan dengan trading, impor dan penjualan. Saat ini bank di Indonesia sudah mulai membuka kesempatan untuk bertransaksi, membuka LC dengan menggunakan Yuan, dengan RMB (mata uang Cina). Ini salah satu yang perlu kita jajaki juga karena dengan ini, transaksi yang kita lakukan dengan pihak Cina tidak mengalami 2 kali konversi.

Menurut pandangan Anda, apakah pemerintah punya minat untuk mendirikan industri bahan baku di Indonesia?
Begini, menurut saya sikap pemerintah tergantung juga pada masukan yang diperolehnya. Jadi mari kita merintis kembali komunikasi yang baik dan intensif antara regulator dengan pelaku usaha, baru pemerintah bisa memahami yang dialami oleh pelaku usaha. Yang mana sebetulnya dapat memberikan peluang, yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan, yang lancar, yang mendapat hambatan, yang merangsang pelaku usaha untuk improvisasi. Jadi kita mestinya harus memiliki komitmen kuat untuk melakukan kerjasama dengan baik.

Kalau kita mau melakukan brainstorming, kita lakukan bersama dengan regulator. Jangan sampai suatu aturan langsung saja dibuat tanpa mengajak pelaku usaha untuk mendiskusikan sebelumnya, karena ini akan menjadi kendala dalam pelaksanaannya.

Bagaimana harapan Anda dengan Kepemimpinan di Kementerian Kesehatan saat ini?
Nah, dengan pemerintahan baru ini, mudah-mudahan kita bisa lebih baik lagi, tidak melakukan langkah mundur. Misalnya dengan Menteri Kesehatan Bu Endang Rahayu Sedyaningsih kita dapat menyatukan persepsi bersama, sehingga akan lebih mudah menjalin pengertian untuk membangun suatu sistem yang kokoh dan berkelanjutan baik di bidang kesehatan secara umum maupun bidang industri farmasi secara khusus.

Saling pengertian ini harus segera dibangun dan terus dipelihara sehingga pelaksanaan yang sudah kita jalankan tidak berubah ketika pemerintahan berganti.

Konsistensi inilah yang nantinya membawa keberhasilan. Kalau setiap pergantian pemimpin kebijakannya pun menjadi berubah, kita tidak akan sampai ke tujuan. Percuma, buang-buang energi. Hari ini bilang 'jalankan', besok 'hentikan'. Ya, repot dong! (erw)

Top Ad 728x90