Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (1)

Pandangan Umum Willem Biantoro Wanandi
Dewan Penasehat GP Farmasi Indonesia

Peralihan Obat Etikal (Rx) ke golongan Obat Bebas (OTC) merupakan peluang bisnis yang menarik bagi industri farmasi. Selain itu dapat membantu meningkatkan aksesibilitas obat-obat tersebut kepada masyarakat luas, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Tentunya ini dilakukan pada obat yang telah terbukti aman dan efektif khususnya untuk mengatasi penyakit yang ringan.

Disisi lain, switching Rx-OTC dinilai bisa mengurangi biaya kesehatan secara keseluruhan, karena akan memperpendek rantai pasokan obat dengan meminimalisir peran dokter dalam konsultasi dan penulisan resep.

Di bidang farmasi, switching bukan hal yang baru. Sebagian besar negara-negara maju telah melakukannya secara berkala. Banyak obat-obat Rx telah beralih menjadi OTC dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat atas obat, meningkatkan kesehatan masyarakat, menurunkan biaya pengobatan, meningkatkan peran apoteker, meningkatkan pasar obat.

Namun di Indonesia, switching Rx-OTC belum berkembang, oleh karena itu banyak molekul-molekul Rx yang sampai saat ini masih tetap diperlakukan sebagai obat Rx oleh BPOM/Menkes, sementara di luar negeri telah digolongkan sebagai obat OTC.

Padahal dengan mengacu pada laporan monitoring efek samping dan keamanan obat-obat Rx yang dilakukan oleh WHO bekerjasama dengan institusi-institusi yang terkait/terpilih dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk melakukan switch di Indonesia.

Bila obat telah terbukti keamanannya, efek sampingnya terkontrol dan sudah dikenal sejak lama oleh dunia kesehatan, perlu dipertimbangkan perubahan statusnya dari Rx menjadi OTC, misalnya obat-obat alergi, anti jamur, beberapa jenis antibiotika, corticosteroid, bahkan obat AIDS.

Dalam hal ini pihak pemerintah dan industri farmasi di Indonesia bisa melakukan kajian bersama tentang apa dan bagaimana pelaksanaan switching yang telah dilakukan di negara maju, untuk tujuan memberi manfaat ekonomis dan kesehatan bagi masyarakat.

Menurut Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Peraturan (GPFI), isu tentang switching dari Rx ke OTC di Indonesia, sebaiknya kembali dibahas di tingkat kementerian, mengingat saat ini hanya Menkes yang berwenang untuk mengaturnya, dalam hal ini BPOM sebagai lembaga yang mengusulkan dan memberi dukungan data.

GPFI menilai switching ini sangat relevan untuk dilakukan di Indonesia karena jumlah dokter yang terbatas dan masyarakat merasa biaya pelayanan kesehatan cukup mahal. GPFI berinisiatif untuk membahas dan mendorong agar prosedur switching di Indonesia ini dapat berjalan lebih lancar sesuai prosedur. Pada Mei 2011, GPFI telah mengundang Nicholas Hall, seorang konsultan OTC untuk melakukan kajian-kajian tantang apa yang telah dilakukan oleh negara yang lebih maju, pandangan pihak regulator setempat, kendala-kendala dan antisipasi switching.

Menindaklanjuti gagasan ini, redaksi Media Pharma Indonesia menemui Dewan Penasehat GP Farmasi DR Willem Biantoro Wanandi untuk memperoleh pandangan seberapa penting proyek Switching Rx-OTC ini dan apa yang perlu dilakukan untuk mengawalinya? Berikut petikan perbincangan redaksi dengan DR Biantoro yang juga sebagai Chairman Anugerah Corporation di kantornya di Graha Atrium, Jakarta;

Pak Wanandi, alasan apa yang melatarbelakangi inisiatif GPFI mendorong projek 'Switching Rx ke OTC'?

Kami berpendapat bahwa pengembangan pasar obat oleh industri farmasi di Indonesia dirasakan cukup berat, karena berkembang lambat dan terbatas. Ini terlihat dari rendahnya belanja tahunan obat Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN (Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura) .

next  |

Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (2)

Ini tidak lepas dari tidak adanya Health financing system, seperti asuransi kesehatan nasional, aksesibilitas pelayanan kesehatan yang terbatas, kurangnya tenaga dokter, fasilitas kesehatan, dsb. Oleh karena itu perlu segera ditemukan wayout-nya terutama dalam hal membangun health financing system yang tepat, sehingga dapat mengurangi biaya kesehatan dari out of pocket. 

Memang prosedur switching cukup kompleks, karena itu GPFI bekerjasama dengan Nicholas Hall, konsultan yang memiliki reputasi dan data yang lengkap tentang kemajuan pasar OTC di dunia. Ini upaya awal kami untuk bisa meyakinkan BPOM dan Kementerian Kesehatan menerima usulan penambahan daftar obat-obat OTC dan membuka akses obat-obat tersebut untuk tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Tentu BPOM secara prosedur harus menilai obat-obat yang akan diusulkan itu dengan saksama dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. BPOM juga perlu meminta saran kepada para dokter agar sasaran dari switching ini dapat tercapai yakni meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Untuk hal-hal yang akan diinformasikan kepada konsumen beserta dosis, efek samping, cara pemakaian dsb, tentu juga harus dikonfirmasikan dengan laporan-laporan WHO yang memonitor efek samping obat di seluruh dunia agar tidak membahayakan pasien. 

Dengan kata lain calon obat-obat OTC itu benar-benar aman dan efek sampingnya terkontrol. Di negara-negara maju, biasanya Switching Rx-0TC diperjuangkan oleh originator, sebagai penemunya mereka yang paling tahu mengenai obat mereka. Tapi di Indonesia upaya seperti ini tidak banyak terlihat sehingga dalam hal switching ini kita tertinggal jauh. 

Mengapa baru saat ini gagasan itu muncul? 

Sebenarnya gagasan ini pernah dilakukan secara sporadis oleh GPFI di masa lalu, tetapi tidak pernah ada kelanjutan menjadi program yang sukses. Munculnya kembali gagasan ini terutama untuk meng-counter adanya anggapan bahwa harga obat terlalu mahal dan industri mengambil profit margin terlalu besar.

Kami telah lama memperjuangkan adanya health financing system yang sesuai untuk Indonesia dalam rangka meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia dan memperjuangkan pelaksanaaan SJSN secepatnya agar akses untuk pemeliharaan kesehatan di Indonesia  semakin menyentuh masyarakat luas.

Menurut Anda bagaimana kesiapan Pemerintah untuk melakukan Switching ini? 

Kalau saya melihat, pemerintah dalam hal ini BPOM, sebenarnya mereka selalu memonitor perkembangan dunia dalam hal Switching Rx ke OTC dan menurut keterangan yang saya peroleh sudah banyak molekul-molekul yang bisa diterima dan diloloskan, tetapi berhubung ijin untuk switching ini adalah wewenang Kementerian Kesehatan bukan BPOM maka prosesnya lebih kompleks daripada ijin registrasi obat. 

Tetapi saya berharap pada tahap awal agar BPOM bisa menerima masukan itu dan mengkaji dari pengalaman originator dari obat yang diusulkan tersebut dalam aspek keamanan dan ketepatan penggunaan obat, disamping bekerja sama dengan WHO. Saya juga menghimbau agar GPFI bekerjasama dengan IPMG untuk membantu BPOM mempersiapkannya agar usulan proyek ini kepada pemerintah dapat direalisasi dengan tahapan-tahapan yang sistematis. 

Artinya, apakah Switching Rx ke OTC akan cukup mudah atau sulit dilaksanakan? 

Yang namanya tantangan, tentunya tidak mudah, dan tidak setiap molekul Rx yang diusulkan dapat disetujui meskipun di luar negeri molekul tersebut telah 'di-OTC-kan'. Pemerintah akan mempertimbangkan banyak aspek, seperti kebutuhan obat di masyarakat, keamanan dan efektivitas obat itu, termasuk sosial ekonomi pada obat. Dan yang terpenting adalah impact dari switching ini terhadap kesehatan masyarakat yang nantinya akan mempengaruhi biaya pengobatan secara umum. Karena itu dalam projek switching Rx-OTC diperlukan pengetahuan yang baik dari masyarakat tentang obat, pengobatan dan kesehatan. 

Apalagi bila switching ini ingin dilaksanakan sekaligus pada banyak molekul Rx, tentu akan ada banyak faktor lain yang juga perlu diperhatikan termasuk cost benefit.

previous  |  next 

Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (3)

Pandangan Umum Willem Biantoro Wanandi Dewan Penasehat GP Farmasi Indonesia 

Lalu sejauhmana langkah GP Farmasi ?  
GPFI sudah memulai pengkajian untuk mendorong proyek ini, salah satu langkahnya adalah dengan mengundang pakar OTC, Nicholas Hall untuk membahasnya dan membantu merumuskan white paper yang akan diusulkan kepada BPOM, didalamnya memuat data-data pembanding yang cukup lengkap sebagai pertimbangan dan yang akan dijadikan acuan kebijakan untuk switching ini.

Kita juga meminta semua industri farmasi lokal, bahkan saat itu juga ada wakil dari beberapa industri farmasi asing yang hadir, untuk berdiskusi daftar obat-obatan yang menurut mereka perlu/dapat dilakukan switching.
Saya kira Pak Subowo bersama industri lokal dan asing tengah melakukan diskusi akan hal ini dengan bantuan Nicholas Hall, sehingga pada waktunya bisa diajukan kepada pemerintah. Saya jangan lupa industri farmasi yang mengambil peranan dalam menyebarluaskan obat-obat OTC tersebut juga harus melaksanakan uji Ba-Be bila memang diperlukan agar kualitas obat terjamin.

Terkait isu pelaksanaan SJSN yang saat ini masih berproses, tentunya membutuhkan obat resep dalam skala besar, jika industri farmasi berinisiatif untuk mengalihkan obat resepnya ke OTC. Tidakkah kontradiktif? 

Kebijakan SJSN adalah kebijakan pembiayaan kesehatan termasuk pengobatan. Sedangkan obat-obat yang akan dibiayai dalam rangka SJSN adalah terutama obat-obat esensial yang terdiri dari obat-obat Ethical dan OTC. Oleh karena itu Switching Rx-OTC tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan SJSN.

Biasanya di negara-negara lain obat OTC tidak termasuk dalam daftar obat yang dibiayai oleh asuransi kesehatan, tapi dibayar dari saku sendiri. Hingga saat ini belum ada pembicaraan tentang termasuk atau tidaknya obat obat OTC dalam rencana pembiayaan obat dari sumber SJSN. Bilamana pada waktunya nanti OTC harus dibayar dari out of pocket, karena misalnya obat obat tsb hanya akan mengobati penyakit penyakit yang ringan, maka hal ini dapat mengurangi budget SJSN untuk obat obatan.

Kita semua berharap SJSN secepat mungkin mendapatkan budget dari Pemerintah dan dapat dilaksanakan secara ber-tahap. Saya kira bila tahapannya benar, budget yang diperlukan tidak terlalu besar jumlahnya, mengingat manfaat yang diperoleh dari pelaksanan SJSN jauh lebih besar ketimbang dana yang dikeluarkan untuk SJSN. (erw)

previous  |

Top Ad 728x90