SOHO Group Tunggu Waktu Yang Tepat untuk Go Public

SOHO Group mengkaji untuk menjadi perusahaan terbuka dengan melakukan penawaran umum terbuka alias initial public offering (IPO). Perusahaan farmasi ini memperhitungkan nilai lebih jika menggelar IPO. Chief Executive Officer dan Presiden Direktur SOHO Group, Marcus Pitt, mengaku pihaknya telah mengagendakan aksi korporasi itu.

"Kami punya rencana untuk go public dalam beberapa tahun lagi. Dengan go public, kami bisa dapatkan modal untuk mendukung proyekproyek kami dan pertumbuhan bisnis," ujarnya seusai pemancang an tiang perdana pabrik baru SOHO di Cikarang, Bekasi, Rabu (23/1). 

Menyinggung kebutuhan investasi, sejauh ini, perusahaan menggunakan kombinasi sumber dana dari kas internal dan pinjaman beberapa bank. Marcus memperkirakan saat ini, ada sekitar 200 perusahaan farmasi yang terdaftar di Indonesia, namun hanya beberapa yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia.

"Mungkin kami akan jadi yang berikutnya, tapi kami harus memastikan kami sudah benar-benar siap," ujarnya.

 
Biaya 200 Juta Dollar
Saat ini, ekspansi yang sedang dimulai ialah pembangunan pabrik di lahan seluas 20 hektar di kawasan industri Jababeka. SOHO membeli lahan dari PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Proyek ini merupakan agenda relokasi dari pabrik milik perusahaan di Pulo Gadung, Jakarta Timur.

 

"Untuk seluruh pembangunan kawasan Cikarang, termasuk fasilitas baru dan perpindahan dari Pulo Gadung, biayanya sekitar 200 juta dollar AS," ujar Mark Morgan, Executive Vice President for Supply & Operations SOHO Group. Angka itu setara dengan 1,93 triliun rupiah.
 

Untuk tahap pertama, SOHO bakal membangun pabrik seluas 4,3 ha. SOHO akan membangun lebih dulu fasilitas produksi untuk produk steril dan sarana penunjang seperti laboratorium dan utility building. Di tahap perdana itu, investasinya 30 juta dollar AS. Proyek itu ditargetkan dapat melakukan produksi uji coba (trial production) pada kuartal I-2015.

"Relokasi mungkin dalam jangka waktu 10 sampai 30 tahun," ujar dia. Setelah membangun fasilitas produksi untuk produk steril, pihaknya memiliki wacana membangun fasilitas yang menghasilkan cephalosporin (obat injeksi), cytotoxic (obat onkologi atau kanker), dan herbal extraction. Saat ini, perusahaan mengekspor beberapa produk ke 11 negara seperti Malaysia, Nigeria, dan Mongolia.


Produk yang diekspor lebih banyak berupa consumer products, seperti Curcuma Plus Emulsion, Diapet, Laxing, dan Lelap. Sementara itu, penjualan ke pasar domestik masih dominan, sekitar 95 persen. Morgan memperkirakan penjualan consumer products SOHO akan tumbuh sama dengan pertumbuhan pasar, sekitar 10 persen tahun ini.


Tapi, secara keseluruhan, pihaknya memperkirakan sanggup tumbuh 17 persen dalam hal penjualan, didukung kenaikan volume penjualan dan kenaikan harga jual. (erw)

Produsen Kosmetik Naikkan Harga Jual 10%

Tahun ini, biaya produksi kosmetik naik rata-rata 7% akibat kenaikan harga sejumlah komponen produksi, menurut asosiasi industri. Kenaikan biaya tersebut akan dikonversi dengan menaikkan harga jual sebesar 10%.
"Kenaikan upah buruh, harga kemasan, dan tarif energi mendorong kenaikan biaya produksi pada tahun ini," kata Wiyantono, Ketua Bidang Perdagangan Persatuan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (Perkosmi). Dia mencontohkan, harga plastik kemasan untuk kosmetik tahun ini naik berkisar 10%-20%.

Pelemahan Rupiah Tak Pengaruhi Biaya Produksi Farmasi

Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 6,6% secara tahunan di Desember 2012 dinilai belum berdampak pada biaya produksi farmasi, menurut asosiasi industri. Hal itu karena pelemahan masih dalam batas yang ditoleransi.

"Secara umum pelemahan rupiah sebesar 6,6% tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya produksi, khususnya bahan baku," ujar Syamsul Arifin, Dewan Penasehat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia kepada wartawan. Bahan baku menjadi unsur biaya produksi yang terkena dampak langsung fluktuasi kurs rupiah, karena 95% bahan baku farmasi Indonesia masih diimpor.

Menurut Syamsul kontribusi biaya bahan baku sekitar 30%-50% terhadap biaya produksi farmasi secara keseluruhan, dengan kondisi saat ini, harga bahan baku bisa naik 1%-3%.

2013: Industri Farmasi Masih Minim Riset (2)

BASIS MANUFAKTUR DAN PEMASARAN
Pos beban pokok penjualan dan pemasaran yang menempati pos pengeluaran terbesar sembilan perusahaan farmasi menunjukkan Indonesia hanya merupakan basis produksi dan pemasaran produksi.

Pada umumnya, perusahaan farmasi Indonesia memproduksi obat dengan formula ataupun merek yang telah dipatenkan pihak lain, baik yang telah habis masa berlakunya maupun yang masih berlaku. Hal ini tampak dari tidak adanya alokasi khusus riset sementara pengeluaran untuk royalti dan lisensi tertera dalam laporan keuangan.

Pada kenyataannya perusahaan farmasi Indonesia cenderung mengandalkan paten pihak luar karena perusahaan dapat langsung melakukan pemasaran produk tanpa perlu menanggung beban riset yang memerlukan investasi yang besar dan waktu pengujian yang lama dengan tingkat keberhasilan yang belum pasti baik di area pengujian maupun di pasar.

Omset Farmasi Asing Diproyeksi Naik 12%

Menjadi 1,35 Miliar Dollar AS
Omset Penjualan produsen farmasi asing di Indonesia tahun ini ditargetkan naik 12% menjadi US$ 1,35 miliar dibanding 2012. Menurut International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), kenaikan itu ditopang pertumbuhan volume penjualan.

Luthfi Mardiansyah
"Kenaikan itu juga mengikuti proyeksi pertumbuhan industri farmasi nasional tahun ini," ujar Luthfi Mardiansyah, Ketua Umum IPMG. Tahun ini, penjualan produsen farmasi di Indonesia ditargetkan mencapai US$ 5,4 miliar, naik 14,89% dibanding proyeksi tahun lalu US$ 4,7 miliar.

Luthfi menuturkan peningkatan penjualan produsen farmasi, termasuk produsen asing, seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. "Kenaikan anggaran kesehatan oleh pemerintah juga mendukung pertumbuhan penjualan produsen farmasi asing," tambahnya.

Luthfi Mardiansyah: Novartis Pasca Revisi Kode Etik IPMG

Terbatasnya ruang gerak perusahaan farmasi obat paten seringkali memicu aktivitas promosi yang tidak sehat. Dokter sebagai pelaku kesehatan terkait sering jadi sasarannya. Produsen obat paten memang dilarang beriklan. Akibatnya, salah satu usaha mereka memasarkan produk adalah dengan ‘merayu’ dokter dengan memberi sponsor untuk seminar di luar negeri, perlengkapan klinik, alkes, bahkan tak jarang yang memberi peralatan rumah tangga.

Luthfi Mardiansyah
Pendekatan yang tidak sehat ini ternyata menggelitik Luthfi Mardiansyah, Presiden Direktur Novartis yang juga Ketua IPMG (International Pharmaceutical Manufacturers Group). Ia mendukung implementasi kode etik IFPMA dan prinsip-prinsip APEC.

Kode etik itu mengatur hal-hal seperti kegiatan praktisi kesehatan di luar negeri, uang pengganti perjalanan, hiburan, transportasi, akomodasi, dan honor dokter sebagai pembicara. Selain itu diatur pula biaya kegiatan ramah tamah, institutional fee, cinderamata yang bersifat promosional, hadiah terkait budaya, biaya sebagai responden riset internal, serta sumbangan perusahaan.

Dengan semakin ketatnya kode etik yang diterapkan, Luthfi beranggapan bahwa hal itu justru menghindari kompetisi yang tidak sehat. Apakah ini berarti ada perubahan strategi promosi bagi Novartis sendiri? Berikut wawancara eksklusif SWA Online dengan Luthfi, Selasa (22/1).

Apakah revisi kode etik IPMG turut mengubah strategi pemasaran Novartis?
Kami malah sejalan dengan itu. Tidak ada perubahan apa-apa. Jadi mnurut saya kalau pharmaceutical mau dinilai sebagai industri yang bagus, justru kita harus punya aturan yang jelas seperti code of conduct. Selama ini pharmaceutical industry dicap sebagai biang keroknya harga obat mahal, praktek kolusi dengan dokter, dan sebagainya. Saya kira tidak semua seperti itu. Kita harus bersihkan dengan cara itu tadi. Dan code of conduct itu hanya bisa dijalankan kalau ada kerjasama dengan pihak IDI, dokter, rumah sakit, dan sebagainya.

Tidak khawatir obatnya kurang laku karena hubungan dengan dokter yang merenggang?
Saya tidak yakin itu terjadi. Justru dokter akan apreciate dengan Novartis dan multi national company yang lain. Sebetulnya kita memproteksi satu sama lain kok. Kasus yang terjadi di luar negeri, misalnya, oleh justice departement of America karena unetical. Itu perusahaan yang kena didenda ratusan juta dollar, dokternya juga kena, lisensinya dicabut. Itu artinya code of conduct memproteksi semua pihak. 

Kita akan bekerja, melakukan bisnis dengan baik, dan menurut saya code of conduct artinya kita mempromosikan obat sesuai dengan kebutuhan pasien, bukan karena kebutuhan bisnis.

Jangan sampai kita mensponsori dokter untuk mempengaruhi dokter meresepkan obat tertentu. Itu tidak boleh. Jadi kami melakukan sponsorship tanpa ada timbal balik. Itu jelas. Kmudian kita memberikan sponsor itu ke dokter untuk lebih banyak yang kita sebut continous medical education, pendidikan kedokteran berkelanjutan.

Artinya bahwa dokter punya kewajiban juga berdasarkan undang-undang kedokteran untuk meningkatkan kualitas pengobatan untuk kepentingan pasien. Kemudian banyak sekali informasi-informasi sistem pengobatan baru di dunia ini yang dokter harus tahu. Karena pasien sekarang sudah pintar. Ada internet, dia tahu ada obat di sana, di sini.

Kalau dokter tidak terupdate juga akan jadi masalah. Itu tujuannya. Kemudian code of conduct juga menghindari unfair competition. Jadi misalkan dokter diberi honor lebih mahal dari perusahaan A dibandingkan dengan perusahaan B, dokter akan terpengaruh, mau tidak mau. Itu yang kita hindari.

Kalau begitu, seberapa baik kode etik ini untuk industri farmasi?
Sangat bagus. Justru saya ingin menekankan itu. Kalau di Novartis sudah sangat jelas, tidak ada ampun untuk itu. Tapi di agen ini saya harus get along dengan 24 perushaan anggota IPMG ini. Jadi kalau ditanya komitmen, komitmen saya sangat tinggi. Resikonya? Banyak orang bilang, “Ah Novartis itu ketuanya IPMG, ngapain sih?”.

2013: Proyeksi Impor Bahan Baku Farmasi US$ 1,35 Miliar

Impor bahan baku farmasi di 2013 diperkirakan mencapai US$ 1,35 miliar, naik 15,3% dibanding tahun lalu US$ 1,17 miliar, menurut Gabungan Perusahaan Farmasi Idonesia (GPFI). Kenaikan tersebut mengikuti pertumbuhan industri farmasi di Indonesia.

 "Unsur biaya bahan baku, khususnya bahan baku impor berkontribusi 25% terhadap nilai penjualan farmasi di Indonesia," kata Kendrariadi dari Wakil Sekjen GPFI . Tahun ini, penjualan farmasi ditargetkan mencapai US$ 5,4 miliar, naik 14,89% dibanding tahun lalu US$ 4,7 miliar.

Kenaikan impor sebagai dampak pertumbuhan industri juga seiring kenaikan konsumsi produk-produk farmasi oleh masyarakat, seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan. "Kesadaran akan kesehatan terjadi khususnya di masyarakat usia produktif," ujar Kendrariadi. Mayoritas bahan baku impor industri farmasi di Indonesia berasal dari India dan China, karena harganya yang relatif murah. Harganya lebih murah hingga 15% daripada bahan baku dari Eropa.

Dahlan Iskan Sampaikan Temuan Obat Kolesterol dan Diabetes UNPAD

Dahlan Iskan Sampaikan Temuan Obat Kolesterol dan Diabetes UNPAD

Dahlan menyampaikan kejutan dari Universitas Padjadjaran, Bandung, khususnya Fakultas Farmasi. "Di universitas itu baru saja ditemukan dua macam obat yang sangat penting bagi dunia, obat kolesterol dan diabetes."

Tim Unpad yang menemukan obat kolesterol dan diabetes pertama berbasis non-kimia itu dipimpin Keri Lestari Dandan. Mereka sepakat bersama BUMN untuk mewujudkan penemuan itu bagi Indonesia dan dunia.

2013: Gambaran Ekonomi dan Bisnis Indonesia

2013: Gambaran Ekonomi dan Bisnis Indonesia Fauzi Ichsan, Ekonom Senior Standard Chartered Bank
Tahun 2013 diperkirakan kondisi ekonomi global akan membaik karena krisis Eropa terlihat mulai berakhir. Kondisi tersebut pun sedikit banyak akan berpengaruh ke kondisi ekonomi Indonesia. Fauzi Ichsan, ekonom senior Standard Chartered Bank, pun menyebutkan, ekonomi negara ini akan tumbuh hingga 6,5 % pada tahun 2013.

“Kita melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan naik ke 6,5 %, sementara tahun ini 6,3 %,” sebut Fauzi, di Jakarta.

Kimia Farma dan Indofarma Andalkan Pembiayaan Eksternal

Kimia Farma dan Indofarma Andalkan Pembiayaan Eksternal
Dua perusahaan farmasi milik negara, Indofarma dan Kimia Farma mengandalkan pembiayaan eksternal untuk mendanai ekspansi dan modal kerja. Kimia Farma akan menerbitkan obligasi senilai maksimum Rp 400 miliar untuk ekspansi pabrik, sementara Indofarma menerbitkan surat utang jangka menengah (medium term noted/MTN) senilai maksimum Rp 500 miliar untuk modal kerja.

Dirut Kimia Farma, Rusdi Rosman menuturkan pembangunan pabrik tahun ini diperkirakan menelan investasi sebesar Rp 400 miliar-Rp 500 miliar, dan merupakan bagian dari alokasi belanja modal tahun ini. "Dana belanja modal tahun ini senilai total Rp 660 miliar sebagian besar dari pinjaman atau sumber lainnya (obligasi)," ujar dia.

Belanja Alkes dan Obat Diperkirakan Tumbuh 10,4%

Belanja Alkes dan Obat Diperkirakan Tumbuh 10,4%Belanja Alkes dan Obat di Indonesia diperkirakan tumbuh 10,43% rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) periode 2010-2014, menurut lembaga riset Frost & Sullivan. Pertumbuhan belanja alat kesehatan dan obat ditopang kenaikan jumlah penduduk serta pendapatan perkapita masyarakat Indonesia.

Menurut data Frost & Sullivan, belanja alat kesehatan dan obat di Indonesia diproyeksikan naik menjadi US$ 2.452 per kapita di 2014 dari US$ 1.649 per kapita di 2010. Proyeksi kenaikan itu seiring dengan pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia. 

Top Ad 728x90