KUASAI 41% TOTAL FARMASI NASIONAL
Ketua Umum GP Farmasi Johannes Setijono memprediksi tahun ini nilai omset penjualan produk obat OTC akan mencapai angka Rp.18,58 triliun atau menguasai 41% dari total pasar farmasi nasional.
Sebelumnya, hingga akhir 2011, nilai total pasar farmasi nasional diproyeksikan sebesar Rp.48 triliun. Johannes, yang saat ini menjabat sebagai President Commisioner PT Kalbe Farma Tbk menambahkan, pasar farmasi nasional akan menuju level pertumbuhan 20 persen sementara saat ini pertumbuhan pasar mencapai sekitar 13% -14%.
Sebelumnya, hingga akhir 2011, nilai total pasar farmasi nasional diproyeksikan sebesar Rp.48 triliun. Johannes, yang saat ini menjabat sebagai President Commisioner PT Kalbe Farma Tbk menambahkan, pasar farmasi nasional akan menuju level pertumbuhan 20 persen sementara saat ini pertumbuhan pasar mencapai sekitar 13% -14%.
"Tahun ini, nilai pasar OTC bisa mencapai sekitar US$ 1,97 miliar dan mencapai US$ 2,33 miliar pada 2013. OTC termasuk mencakup produk vitamin dan suplemen," kata Johannes usai acara Indonesia Brand Champion Award di Jakarta.
Menurutnya pasar farmasi nasional bakal bertumbuh pesat setelah pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Johannes memperkirakan pada saat itu belanja kesehatan di Indonesia akan mencapai 5% dari total GDP. Saat ini belanja kesehatan hanya mencapai 2% dari GDP.
"Asumsinya angka itu tercapai dalam kurun 10 sampai 15 tahun mendatang. Karena implementasi itu memerlukan waktu yang panjang. Pada saat pelaksanaan sistem kesehatan itu sudah berjalan optimal, volume obat yang disalurkannya juga akan meningkat signifikan menyesuaikan kebutuhan nasional, sementara porsi produk OTC akan lebih kecil. Artinya, pasar obat etikal secara volume akan meningkat pesat sementara obat OTC tumbuh secara normal," jelas Johannes.
Sementara itu, nilai produk herbal nasional, Johannes mengutip data GP Jamu Indonesia, tahun 2012 ditargetkan mencapai Rp13 triliun atau naik sekitar 13% dibandingkan tahun 2011, sebesar Rp.11,5 triliun.
"Di Indonesia, pemakaian produk herbal sebagai pengobatan alternatif dilakukan oleh masyarakat secara langsung, tanpa melalui resep. Pengobatan alternatif menggunakan obat herbal di Indonesia, sudah memiliki peraturan dari Kementerian Kesehatan. Tapi belum masuk ke dalam sistem asuransi," kata Johannes.
Ia menjelaskan bahwa sistem pengobatan terintegrasi menggunakan obat kimia dan herbal membutuhkan dukungan pengembangan riset dan penelitian dan regulasi yang mengatur pelaksanaanya. Namun kemungkinan pelaksanaan itu tetap ada mengingat Indonesia memiliki kekayaan sumber bahan baku yang potensial untuk memenuhi kebutuhan dunia kesehatan.
"Harus ada sistem yang terintegrasi dari pemerintah, terutama dalam bidang riset yang berkonsentrasi pada herbal hingga mencapai standar fitofarmaka. Uji klinis yang dilakukan tidak hanya pembuktian khasiat, tetapi memenuhi standar kualitas yang yang berlaku secara global," jelas Johannes. (erw/dbs)