MENYOAL
LIMA MITOS DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
Sebuah
laporan yang bertajuk "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s
Potential" yang memberi gambaran prospek perekonomian Indonesia dalam
beberapa waktu terakhir ini menjadi perbincangan hangat. Dalam laporan yang
dirilis oleh MCKINSEY & Company itu dikatakan bahwa pada 2030, perekonomian
Indonesia berada di peringkat ke-7 mengalahkan Jerman dan Inggris (UK).
Tentu saja
laporan itu bukanlah pertama dan satu-satunya, menyebut potensi perekonomian
Indonesia di masa mendatang. Lembaga survei Goldman Sachs,
sebelumnya telah melaporkan mengenai Brazil-Rusia-India-China (BRIC). Setelah
melansir konsep BRIC, lembaga investasi global ini juga mengeluarkan
konsep “The Next-11 countries”, yang menyebutkan Indonesia termasuk
dalam kelompok itu.
Goldman Sachs
termasuk yang pertama menyebut potensi perekonomian Indonesia. Setelah itu, muncul laporan-laporan dari Morgan Stenley, CLSA, Standard-Chartered Bank dan
sebagainya.
Laporan-laporan yang memuji perekonomian
Indonesia tidak selalu dikeluarkan oleh lembaga investasi. Badan-badan level
dunia seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, OECD dan lain-lain juga
menempatkan Indonesia pada posisi penting. Pokok persoalan yang disoroti kurang
lebih juga sama.
Pertama,
Indonesia akan menikmati bonus demografi (demographic dividend).
Kedua, kekayaan sumber daya alam negeri ini menjadi kekuatan perekonomian
Indonesia. Seperti dikutip dalam beberapa tahun ke depan, perekonomian
Indonesia akan pertumbuhan cukup tinggi di atas 6%. Selain bertumpu pada
meningkatnya permintaan domestik, pertumbuhan ekonomi kelas menengah, kinerja
perekonomian Indonesia juga sangat ditentukan oleh produktivitas tenaga
kerjanya.
Kedua faktor
inilah yang membuat perekonomian Indonesia memiliki prospek yang semakin membaik
di masa mendatang.
Dalam mendeskripsikan
permintaan domestik, laporan ini menunjukkan pertumbuhan kelompok dengan
kekuatan konsumsi yang relatif tinggi (consuming class). Pertumbuhan
kelompok ini cukup tinggi, jika pada 2010 baru sekitar 40 juta penduduk, pada
2030 nanti akan ada 170 juta penduduk dengan criteria sebagai kelompok dengan
tingkat konsumsi tinggi itu.
Selain itu,
laporan The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential juga
mengulas lima mitos dalam perekonomian Indonesia.
Pertama, perekonomian Indonesia relatif tidak
stabil. Kedua, pertumbuhan ekonomi hanya berpusat di Ibukota, Jakarta. Ketiga,
Indonesia hanya sebagai follower strategi keberhasilan negara-negara di
Asia lainnya, sebagai negara berbasis ekspor. Keempat, sumber daya alam
adalah faktor terpenting pertumbuhan ekonomi. Kelima, pertumbuhan hanya
didukung oleh banyaknya tenaga kerja, dan bukan tingkat produktivitasnya.
Dalam laporan
itu, kelima mitos itu dikritisi untuk memberikan justifikasi bahwa perekonomian
Indonesia layak untuk tumbuh menjadi negara besar. Tentu saja kita semua
sepakat dengan argumen-argumen yang disampaikan dalam laporan itu. Namun, bukan
berarti kita harus berpuas diri dengan pencapaian yang telah diraih, serta
melupakan beberapa agenda persoalan yang masih tersisa.
Baru-baru ini,
Forum Ekonomi Dunia meluncurkan peringkat daya saing, di mana Indonesia merosot
dari posisi ke-46 menjadi posisi ke-50. Dan di sana, 3 persoalan yang selalu
menjadi kendala dalam meningkatkan perekonomian adalah buruknya birokrasi,
tingginya korupsi dan ketidaktersediaan infrastruktur secara memadai. Memang
tampaknya kontradiktif laporan McKinsey dengan hasil survei itu.
Namun jika kita
perhatikan, sebenarnya poinnya sama, dimana sebenarnya prospek perekonomian
Indonesia sangat baik, tetapi terhambat oleh masalah-masalah struktural.(dbs)