Soho Group Distribution Raih Sertifikasi Good Storage and Distribution Practies




Setelah melalui proses audit dan kelayakan mulai dari proses penerimaan, penyimpanan hingga pengiriman obat-obatan, akhirnya PT Parit Padang Global/PPG (Soho Group Distribution), tahun 2011 mendapat sertifikasi Good GSDP (Good Storage and Distribution Practises) dari SGS. 






Menurut Wempie Chandra, Direktur Pengelola  Soho Group Distribution, sertifikasi GSDP belaku 20 Agustus 2011-19 Agustus 2014 diberikan untuk pergudangan dan distribusi farmasi serta produk di Distribution Center (DC)  yang berlokasi di Pulo Gadung. 






Ini diperlukan untuk menjaga kualitas asli produk farmasi setiap penyimpanan yang baik (Good Storage Practices) dan praktek distribusi yang baik (Good Distribution Practises). “Serifikasi ini diberikanan karena kami telah terbukti mampu menjamin konsumen untuk mendapatkan obat dan bahan baku dengan kualitas yang baik,” tutur Wempie.






Ia mengungkapkan,  persaingan distributor farmasi di Indonesia sangat ketat. Paling tidak ada sekitar 1.600 distributor nasional resmi dan 30 perusahaan distributor multinasional yang bersaing memperebutkan pasar farmasi di Indonesia yang diperkirakan nilainya mencapai Rp 40 triliun. 






Untuk memperkuat distribusinya saat ini PPG telah memiliki 25 kantor cabang yang tersebar di Indonesia dan akan terus bertambah seiring perkembangan perusahaan dan daerah potensial. Bahkan PPG juga baru meresmikan gudang seluas 10.160 meter persegi di Kawasan Industri Rungkut, Jawa Timur dengan investasi Rp 50 miliar untuk memperkuat distribusi di wilayah Indonesia bagaian Timur.








Saat ini PPG telah mampu mendistribusikan ke 90 outlet serta pelanggan yang terdiri apotik, rumah sakit, klinik, toko obat, pasar modern dan pasar tradisional di seluruh penjuru tanah air. Karena untuk menjadi perusahaan distributor pilihan sekarang bukan hanya mengandalkan jangkauan yang luas dan armada yang kuat, tetapi juga harus didukung sistem teknologi informasi yang memadai. 






Wempie menambahkan untuk memenangkan persaingan yang ketat di bisnis distribusi , perusahaan distribusi dituntut memiliki dukungan infrastruktur yang efisien. Dengan jaringan yang luas akan menjamin penyebaran produk sampai ke seluruh pelosok, sedangkan armada dan warehousing yang handal akan menjamin kecepatan pengiriman barang ke konsumen akhir. 






“Perusahaan distribusi bukan hanya harus  handal di bidang manajemen transportasi, tetapi harus piawai dalam bidang menajemen informasi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya,” tambah Wempie.






Sayangnya,  Wempie enggan menyebut nilai  penjualan yang telah dicapai dalam 9 bulan terakhir di tahun ini. Namun, sebagai gambaran, ia menyebutkan saat ini pertumbuhan yang dicapai PPG melebih pertumbuhan industri. Karena saat ini pertumbuhan industri distribusi  farmasi sekitar 13%-15%, sedangkan PPG mencatat pertumbuhan sekitar  20% setiap tahunnya.  






Sedangkan market share yang dikuasai sekitar 8% dari total nilai pasar industri farmasi. Meskipun kontribusi terbesar yaitu sekitar 50% produk yang didistribusikan adalah produk-produk farmasi Soho Group. (erw)

Pasar-Pasar Besar Dunia Hari Ini dan Nanti (1)

Harian Ekonomi Austria 'WirtschaftsBlatt' mengungkap kajian Pricewaterhouse-Coopers (PwC) pada Januari 2011, yang memprediksikan bahwa dalam 20 tahun mendatang kombinasi GDP dari tujuh negara E7 (the Emerging Economic Countries), menjadi yang terbesar dan akan menggeser grup negara-negara industri maju, Group of Seven (G7).

Pada 2020, E7 akan mengambil porsi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dunia dan mengalahkan negara-negara maju yang tergabung dalam G7 yang terdiri dari Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, dan Kanada.


Memperkuat survei PWC itu, Oxford Economics pada Juni 2011, dalam survei yang dirilisnya pun menyebutkan E7 akan mengalahkan kelompok negara-negara emerging markets lainnya, seperti Vietnam, Kolombia, Afrika Selatan, dan Korea Selatan. Dengan total jumlah populasi yang saat ini hampir mencapai 2,6 miliar (lebih besar dibanding G7), Oxford Economics memperkirakan populasi E7 yang tumbuh dua kali lipat dari G7, gap antara dua kelompok ini akan mencapai lebih dari 2,8 miliar pada 2020.

Survei dilakukan terhadap 363 eksekutif bisnis yang mewakili lebih dari US$ 256 miliar pendapatan global. Responden berasal dari Amerika Serikat sebesar 19%, Inggris 20%, India 15%, Jepang 18%, serta China, Brazil, Meksiko, dan Australia masing-masing sebesar 8%.

Para eksekutif bisnis yang menjadi responden itu berasal dari berbagai sektor industri, seperti jasa keuangan, manufaktur, serta teknologi informasi dan komunikasi.

Oxford Economics merupakan salah satu perusahaan konsultasi riset terkemuka di dunia. Didirikan pada 1981, Oxford Economics yang bermitra dengan Templeton College, Oxford University menjadi perusahaan konsultan dan riset perekonomian global, industri, dan analisis bisnis.

Menurut survei ini, China akan mengalahkan AS pada 2018, menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Tapi di sisi lain, pertumbuhan bisnis yang sangat cepat di negara-negara yang sedang berkembang, menciptakan kesempatan besar bagi perusahaan-perusahaan dari barat. Banyak perusahaan yang melakukan ekspansi ke pasar baru lewat investasi atau akuisisi.

Hasil survei juga menunjukkan, perusahaan-perusahaan lokal banyak berinvestasi pada teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi kebutuhan konsumen lokal. Perusahaan swasta tidak membatasi belanja mereka. Begitu juga perusahaan-perusahaan negara mengeluarkan dana sangat besar untuk infrastruktur dan pengembangan program.

Manajer Pendanaan Swiss & Global Asset Management, Vincent Lagger meneliti peran Indonesia dalam kisah pertumbuhan berkelanjutan Asia. Ia mengatakan, bahwa sejak krisis keuangan, Asia telah diuntungkan oleh kebijakan moneter yang longgar, leverage yang rendah, investasi berlanjut dan belanja konsumen. Ini adalah latar belakang yang positif dan diterjemahkan ke dalam proses pemulihan cepat guna mempersempit kesenjangan pertumbuhan antara negara berkembang dan negara maju.

Pertumbuhan ekonomi Asia seperti Indonesia, ditandai dengan tren demografis dan sosial yang menguntungkan, sistem perbankan yang sehat, beragam basis ekonomi, keuangan yang sehat dan dukungan kebijakan ekonomi yang kuat.

Sementara China dan India umumnya berperan sebagai mesin pertumbuhan global di masa depan, Indonesia bisa mengklaim status yang sama berdasarkan kemampuannya sendiri. Penduduk Indonesia, yang tersebar di 17.000 pulau, lebih besar ketimbang gabungan Jepang, Perancis dan Inggris. Lokasi Indonesia yang sentral menciptakan jalur pasokan yang kuat mengarah ke China, India dan Jepang.

Sebagai pemasok kompetitif komoditas global untuk energi dan komoditi lunak, Indonesia dapat memanfaatkan industrialisasi India dan urbanisasi China. Negeri ini juga memiliki ekspor yang kuat dan merupakan pemasok terkemuka kelapa sawit, karet, kakao, beras, kopi dan teh ke seluruh dunia.

Sebagai contoh, Indonesia adalah eksportir global terbesar minyak sawit memproduksi lebih dari 45% dari produksi global di dunia.

Peningkatan Investasi Langsung Asing (FDI) ke pasar saham Jakarta menggambarkan tingkat kepercayaan pada prospek negara. Berbagai macam modal kecil dan menengah yang saat ini belum muncul untuk memberi peluang yang cukup bagi investor global.

Tren Urbanisasi
Tenaga kerja Indonesia tumbuh pada kisaran dua juta orang per tahun, dan negara kecenderungan menunjukkan tren urbanisasi yang sama seperti China dan India: pada tahun 2020 lebih dari 60% dari 262 juta warga (keempat terbesar di dunia ini) akan tinggal di kota. Bisnis di wilayah ini menempati peringkat ketiga di antara negara-negara Asia pada pertumbuhan laba sejak tahun 2002, tepat di belakang China dan India.

Berkat sistem perbankan yang sehat dan pengurangan utang negara terhadap rasio PDB dari 100% menjadi 26% sejak krisis Asia pada 1997, hutang Indonesia dinilai oleh Standard & Poor's dan Fitch selama tahun 2010 dan dari Moody's pada bulan Februari 2011.

Pasar-pasar Besar Dunia Hari Ini dan Nanti (2)

Indonesia telah meyakini perkembangan politik yang dijanjikan oleh pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dipilih secara bebas. Dia diharapkan mampu mengelola belanja publik untuk secara gigih mengatasi hambatan infrastruktur. 

Muncul kelas menengah muda, stabilitas politik dan hubungan yang kuat dengan negeri tetangga yang menyediakan lahan subur untuk konsumsi, sumber daya dan investasi infrastruktur di Indonesia.

indonesia 'KeKASIH Baru’ Investor di Asia
Ewan Thompson dari Neptune’s Asia Pacific Opportunities fund mengatakan bahwa penduduk Indonesia sebanyak 245 juta adalah terbesar keempat di dunia. Dan kira-kira setengah dari penduduk di bawah 30 tahun, yang berarti jumlah yang besar seseorang untuk masuk ke tahap konsumsi. Pendapatan kapital mengalami pertumbuhan tercepat kedua di dunia setelah China. Jika digabungkan dengan aspek demografis menjadi kombinasi yang sangat kuat.

Thompson menambahkan,"Sekarang adalah waktu yang tepat bagi investor untuk menarik manfaat dari peluang investasi besar di Indonesia menindaklanjuti iklim keuangan yang menggiurkan." "Posisi Indonesia yang terletak di perempatan benua Asia dan Australia, di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, memiliki banyak keuntungan dari peluang investasi di berbagai sektor."

Pada Forum Ekonomi Dunia di Asia Timur, Direktur Quvat Management berbasis di Singapura Thomas T. Lembong mengatakan, China dan India memiliki minat yang besar dalam investasi di Asia, termasuk Indonesia, tren ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Oleh karena itu Thomas T. Lembong telah meminta pemerintah, pelaku bisnis dan investor untuk secara optimal memanfaatkan peluang investasi yang luas di Indonesia.

"Asia makin berkembang. Indonesia saat ini adalah kesayangan para investor. Mereka sadar bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Dalam hal sarana dan prasarana pendukung investasi, Indonesia tidak kalah dengan negara-negara berkembang lainnya seperti China dan India, tapi dibandingkan dengan negara-negara maju, Indonesia masih tertinggal jauh di belakang." kata Lembong.

"Oleh karena itu kita harus realistis, pasar dan investor selalu memiliki kecenderungan, banyaknya investasi yang bisa dipertahankan tergantung  bagaimana kita memanfaatkan secara optimal," kata Lembong yang juga menjadi the recipient of World Economic Forum Young Global Leader.

"Seperti belajar dari investor internasional, China dan India bukan negara tanpa masalah karena di negara-negara berkembang ada menghadapi banyak kendala dan kesulitan, namun Indonesia sebenarnya memiliki banyak fasilitas yang baik," tambahnya.

Untuk itu, Lembong mengatakan semua pihak termasuk pemerintah, pelaku bisnis, serta investor harus lebih bersabar karena untuk berinvestasi yang terpenting bukan kuantitas tetapi kualitas. "Idealnya, semua pihak harus bersabar, dan tidak terburu-buru sehingga dana tidak pergi ke proyek-proyek yang tidak perlu," katanya, menambahkan bahwa kunci keberhasilan investasi di Indonesia adalah kerjasama dari semua pihak yakni pemerintah, bisnis pemain, dan investor.

Sementara itu, staf khusus presiden untuk hubungan luar negeri Singapura Teuku Faizasyah di sela-sela Forum Ekonomi Dunia mengatakan, negara- nya ingin melakukan investasi dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Sumatera, khususnya di Batam.

Untuk itu Singapura ingin penjelasan tentang skema pembangunan di Indonesia, terutama setelah pemerintah Indonesia meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

"Kami menginginkan Indonesia men-jelaskannya secara rinci daerah di mana negara kami bisa melakukan investasi," kata Faizasyah. Ia mengata-kan konsep kemitraan akan diselaras- kan dengan MP3EI itu. Dalam WEF-EA, Indonesia juga menawarkan investasi di sektor infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP).

Pada forum itu, Menteri Keuangan RI Agus Martowardojo saat itu mengata-kan, bahwa penyediaan infrastruktur menjadi tantangan yang dihadapi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Pembangunannya membutuhkan dana sekitar Rp 1.400 triliun.

Menkeu mengatakan bahwa kemampuan fiskal pemerintah dalam kese-imbangan kecil dan oleh karena itu kami menawarkan investasi di sektor infrastruktur untuk kedua belah pihak asing dan swasta. Pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan sekitar 20% - 30% dari dana dan sisanya harus diperoleh dengan kerjasama dengan pihak swasta melalui skema kemitraan publik-swasta.

Dalam tujuh tahun terakhir skema itu tidak memberikan hasil yang signifikan namun diharapkan akan segera ada proyek infrastruktur pilot.

"Saya optimis bahwa tidak akan ada kontrol modal," kata Menkeu menambahkan bahwa kondisi fiskal dan moneter di sektor riil adalah baik dan dapat mendukung aliran modal masuk. Peluang investasi di Indonesia membantu baik warga dan investor karena negeri ini memiliki penduduk besar yang secara aktif bersaing untuk bergabung sebagai tenaga kerja. (erw)

previous

Top Ad 728x90