Benar bahwa obat memiliki tiga dimensi, yakni dimensi ekonomi, teknologi dan sosial. Namun pada kenyataannya, Menteri Kesehatan yang merupakan bagian dari perangkat pemerintah yang secara otomatis kebijakannya mengutamakan aspek sosial saja, sehingga segitiganya bukan segitiga sama sisi yang seimbang.
Saya katakan
demikian karena selalu dikatakan oleh Menkes tentang keseimbangan yang pro
rakyat, obat murah, dsb. Kita setuju karena masih banyak rakyat yang menderita.
Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah bahwa obat tidak dibuat secara
gratis dan harus dilihat dari aspek ekonominya.
Para produsen obat sebagian besar meminjam uang dari bank
untuk membuat obat dan mendapat treatment sama seperti orang lain dikenakan
bunga bank yang tidak murah. Tidak ada previlege, misalnya dikarenakan kita
pabrik obat dikenakan bunga bank setengahnya saja atau dibebaskan dari pajak.
Dari aspek teknologi, obat merupakan sesuatu yang
kompleks: Teknologi canggih, requirements yang ketat, dan biaya yang makin lama
makin tinggi karena tekanan-tekanan kepada kita untuk membuat obat yang
benar-benar berkualitas. Produk teknologi dengan pasar terbatas, yang cuma 22
trilyun dan murah, tidak akan ditemukan kecuali pada industri obat.
Bandingkan
misalnya dengan rokok yang pajaknya saja kurang lebih 30 trilyun dan market
size-nya sangat besar, tetapi dijual dengan harga yang lebih mahal dari obat.
Bandingkan lagi dengan harga OGB yang dijual Rp. 100-400.
Jika pemerintah mengerti, mengetahui dan mendukung
industri obat rasanya tidak sesuai dengan konsep tersebut. Sebenarnya dari aspek
sosial industri farmasi kita sudah bagus. Setiap ada bencana atau gempa bumi,
garda terdepan industri yang maju adalah pabrik obat yang memberikan bantuan.
Karena itu, jika konsepnya ingin berjalan dengan baik
harus diserahkan pada mekanisme pasar dan pemberdayaan asuransi. Sebab selama
ini harga obat seringkali dikritisi dari mulai isu mahal sampai pemotongan
harga yang bisa sampai 70persen. Hal ini bukanlah cara yang bijaksana.
Apabila asuransi diberdayakan maka hasilnya pasti akan
bagus. Sebab selama ini uang tercecer di mana-mana. Pemerintah melalui Askes
paling-paling hanya sekitar 15persen dari penduduk Indonesia. Ditambah Askeskin
sekitar 55-60 juta orang. Saat ini dirasakan program tersebut kurang berjalan,
entah apakah Depkesnya yang tidak menurunkan uang atau
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Askes yang kita tidak tahu.
Jika kita diberikan kesempatan dan pemerintah
memfasilitasi untuk membuat tandingan Askes, misalnya dari pihak swasta yang
lebih profesional, tentu akan besar sekali manfaatnya. Saya tidak tahu ada
berapa pabrik atau perusahaan di seluruh Indonesia.
Jika dihitung-hitung,
jumlah perusahaan di seluruh Indonesia yang memiliki lebih dari 10 karyawan
bisa mencapai 1 juta. Berarti jika 1 juta perusahaan terdapat 10 karyawan sama
dengan 10 juta karyawan. Data ini harus divalidasi lagi karena bisa lebih bisa
kurang. Ini adalah sekedar perumpamaan saja.
Ada semacam konvensi pemerintah yang biasa dipakai bahwa
karyawan yang sakit herus dibayar 2 kali gaji. Berarti kalau 10 juta x 2 kali
gaji adalah 20 juta. Jika UMR anggaplah rata-rata 1 juta, maka 20 juta x 1 juta
= 20 trilun. Ini bisa dijadikan kapitasi untuk memulai program Askes yang basic
saja. Biarkan swasta yang mengelolanya sedangkan pemerintah membuat aturan
mainnya. Dari pada uang tercecer di mana-mana dan karyawan yang sakit hanya
mendapat 2 bulan gaji, lebih baik disimpan di Askes ini demi kesejahteraan
karyawan yang lebih baik.
Yang juga saya
garisbawahi adalah rencana kebijakan untuk memotong harga obat generik.
Masalahnya obat generik yang mana, apakah branded generic atau OGB. Hal ini
masih belum jelas dan dikhawatirkan akan terjadi misleading di media massa.
Kalau OGB sebenarnya sudah murah. Jika terus menerus dipangkas harganya bisa
jadi tidak akan yang berani membuatnya. Akhirnya terjadi kekosongan barang dan
keluarlah statement pemerintah untuk mengimpor barang tersebut.
Tentu saja
pabrik obat dalam negeri akan kehilangan produksinya. Bayangkan berapa karyawan
yang nanti terkena PHK dan berapa keluarga yang kena efek jika hal itu terjadi.
Saya pernah membaca suatu analisa di sebuah surat kabar,
kadang-kadang kalau kita tender offer, seolah-olah OGB kita sedikit lebih mahal
dari apa yang ditender. Yang harus diingat adalah bahwa OGB sudah termasuk
distribution cost di dalamnya, import duty dan bunga. Kalau Amoxicillin
misalnya dijual Rp.300-400, itu sudah melalui biaya-biaya masuk, distribution
cost, inventory cost, interests, dan lain-lain yang harus ditanggung. Jadi jika
dikatakan mahal sebenarnya tidak karena bahan bakunya juga berasal dari impor.
Bahkan saya berani mengatakan tidak lebih mahal dari apa
yang ada di pasar dan bahkan lebih murah. Mungkin tidak 100% OGB sama
itu lebih murah. Tapi paling tidak lebih dari 50% atau 60% lebih murah sebab
hal itu normal saja terjadi subsidi silang, mahal di sini-murah di sini agar
perusahaan tidak merugi.
Coba lihat sekarang, ada kurang lebih 40 item obat yang
hilang di pasaran karena tidak ada pabrik yang membuatnya disebabkan produksi mereka
lebih tinggi dari platform harga yang dikeluarkan pemerintah. Di sinilah
perlunya hal tersebut didiskusikan mengenai harga obat apa yang akan
diturunkan.
Jika ingin menurunkan branded generic sudah pasti
sangat mudah, asuransikan saja. Agar OGB bisa lebih murah lagi tentu saja yang
utama adalah penghapusan KKN. Kalau rumah sederhana dibebaskan dari PPn dan
barang-barang tertentu dibebaskan biaya masuk, kenapa obat tidak? Padahal jika
obat dibebaskan pun penerimaan pajak yang hilang tidak banyak dan memiliki multiplier
effect yang besar karena obat terkait dengan kesehatan masyarakat
Indonesia. (erw)