Prinsipal farmasi asing kesulitan merealisasikan rencana investasi
bahan baku farmasi di Indonesia, menurut asosiasi industri. Kendala
muncul karena investasi bahan baku farmasi masuk dalam aturan daftar
negatif investasi (DNI), yang mengatur prinsipal asing harus bekerja
sama dengan perusahaan lokal ketika berinvestasi di Indonesia.
Saat ini pemerintah membatasi kepemilikan prinsipal asing dalam
industri farmasi maksimal 75%. "Prinsipal farmasi asing tidak mudah
mencari mitra lokal, karena perusahaan lokal juga mungkin keberatan jika
porsi kepemilikannya lebih kecil daripada mitra asingnya," kata Lutfi
Mardiansyah, Ketua Umum International Pharmaceutical Manufacturers Group.
Lutfi menuturkan masuknya investasi bahan baku farmasi dapat
melengkapi struktur industri tersebut di Indonesia. Keberadaan industri
bahan baku farmasi mampu menekan biaya produksi farmasi hingga 10%.
Selain itu, produksi bahan baku farmasi di Indonesia tidak hanya
memenuhi pasar domestik tetapi juga bisa ditujukan ke pasar ekspor,
sehingga menambah devisa dari sektor farmasi.
Untuk mendukung investasi bahan baku farmasi, pemerintah diminta
mendukung dan menyusun aturan investasi yang mampu mendorong agar
investor masuk ke Indonesia. Selama ini pemerintah dinilai kurang
memberi insentif untuk investasi bahan baku farmasi di Indonesia.
"Insentif tersebut bisa dalam bentuk tax holiday serta kemudahan ijin
investasi," ujar Lutfi.
Menurut dia, terdapat tiga prinsipal farmasi multinasional yang siap
berinvestasi dalam pembuatan bahan baku farmasi serta produksi obat di
Indonesia. Rencana investasi perusahaan multinasional itu karena melihat
pasar farmasi nasional yang terus tumbuh. "Dua perusahaan dari India
dan satu dari China siap berinvestasi bahan baku farmasi di Indonesia,"
kata Lutfi tanpa merinci perusahaan dan besaran nilai investasinya.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berencana memberikan
insentif untuk investasi di bahan baku farmasi untuk mengurangi
ketergantungan impor. Sri Indrawaty, Direktur Jenderal Bina Farmasi dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, menjelaskan insentif tersebut
dapat berupa keringanan pajak penghasilan, pengembalian (refund) pajak,
dan bentuk lainnya.
"Insentif diperlukan untuk mendorong investasi bahan baku farmasi
karena sekitar 95% bahan baku industri tersebut masih diimpor," ujar Sri.
Saat ini Kementerian Kesehatan telah membuat program kemandirian
bahan baku farmasi yang di dalamnya mencakup pemberian insentif.
Proposal usulan pemberian insentif untuk investasi bahan baku farmasi
sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
"Insentif akan diberikan baik untuk perusahaan domestik maupun asing
yang berinvestasi di bahan baku farmasi," katanya.
Sri menilai tingginya impor bahan baku farmasi karena industri kimia
dasar di Indonesia tidak berkembang. Pada 1980-an, industri bahan baku
farmasi pernah berkembang pesat di Indonesia. Namun perkembangan
industri tersebut tidak didukung industri kimia dasar sehingga tidak
mampu bersaing dengan produk impor.
Dia menjelaskan program kemandirian bahan baku farmasi yang akan
digulirkan Kementerian Kesehatan mesti didukung instansi lain, seperti
Kementerian Perindustrian yang berwenang membina industri kimia dasar
serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang berwenang menetapkan
izin registrasi farmasi.
Lutfi menyatakan usulan tersebut baik untuk mendukung industri
farmasi di Indonesia. "Namun untuk keringanan pajak penghasilan
sepertinya kurang tepat, karena baru bisa didapat setelah perusahaan
menghitung profitabilitas," ujar Lutfi.
-------------------------------------------------------------------------