Johannes Setijono, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia
Memang mudah diucapkan, sulit untuk diterapkan, namun alternatif itu lebih memungkinkan untuk kelanjutan usaha. Sebab kalau tidak, untuk memproduksi obat generik tidak akan bisa dilakukan, mengingat investasinya sangat besar seperti itu, sedangkan generik itu pasti harus murah, kecuali produksinya non generik. Perubahannya kurang lebih seperti itu (untuk bisa memproduksi obat generik).
Saya melihat bahwa Undang-undang yang dibuat oleh
pemerintah sudah baik namun masih sering terkendala pada implementasinya.
Menurut saya masalahnya pertama pada petugas-petugas regulatory,
termasuk didalamnya terdapat masalah pada aspek teknologi yang membutuhkan
biaya besar.
Saya ambil contoh UU pemberian insentif kepada perusahaan
yang mengadakan kegiatan R&D yang memenuhi persyaratan, itu sudah ada,
namun petunjuk pelaksanaannya masih terkesan lambat. Tentunya ini perlu
dipercepat sehingga harapan kita bahwa pembangunan kompetensi teknologi di
industri farmasi dapat segera dilaksanakan.
Contoh lainnya, asuransi kesehatan nasional (SJSN), itu
baik bagi industri farmasi namun sebenarnya itu berada diluar area kita. Kita
hanya bisa mengusulkannya dan itu hanya dibuat oleh industri farmasi sendiri.
Namun semestinya yang terpenting bahwa 250 industri farmasi ini sebaiknya tidak
semuanya memproduksi obat yang harganya mahal.
Artinya harus menyediakan obat untuk semua segmen, dan sebenarnya ini sudah terwujud. Kalau kita lihat harga obat di Indonesia ini range-nya luas sekali, mulai dari yang sangat mahal sampai generik yang agak mahal hingga ada generik yang benar-benar sangat murah. Jadi yang terpenting adalah ketersediaan obat dari semua strata.
Artinya harus menyediakan obat untuk semua segmen, dan sebenarnya ini sudah terwujud. Kalau kita lihat harga obat di Indonesia ini range-nya luas sekali, mulai dari yang sangat mahal sampai generik yang agak mahal hingga ada generik yang benar-benar sangat murah. Jadi yang terpenting adalah ketersediaan obat dari semua strata.
Dalam hal ini seorang dokter sebaiknya menyesuaikan
antara obat yang tersedia dengan daya beli dari pasiennya. Jadi dengan begitu,
bila industri farmasi sudah bisa menyediakan jenis obat secara lengkap kepada
seluruh lapisan ini, kita dapat mendorong kerjasama dengan IDI dan pihak
lainnya menghimbau anggotanya untuk menyesuaikan pemakaian obat dengan
kemampuan pasien, tidak bisa lagi asal memberi obat yang mahal kepada pasien.
Di lain pihak perlu dibangun kesadaran kepada masyarakat,
oleh karena pasien banyak yang kurang pas menempatkan diri dalam berobat.
Misalnya seseorang yang tidak terlalu mampu, maunya berobat ke dokter
spesialis, padahal dokter spesialis di Indonesia itu biasanya obatnya
mahal-mahal. Seandainya pasien itu berobat ke dokter umum biaya obatnya akan
lebih murah karena mereka biasanya melayani segmen B, sedang segmen C bisa
terlayani di puskesmas, praktek dokter 24 jam yang biasanya obatnya lebih
murah.
Penyesuaian tersebut tentu saja nantinya mendorong
kesadaran semua pihak bahwa penting untuk mempercepat adanya sistem kesehatan
secara merata. Sehingga lebih banyak masyarakat memperoleh kemudahan mengakses
obat bagi kesehatannya. Sebagai contoh pengalaman pada program Askes; Askeskin,
kita dapat melihat lebih banyak orang bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Pelayanan registrasi obat, kita coba bandingkan dengan
beberapa negara tetangga Indonesia tidak terlalu buruk. Menurut pengalaman,
kita dapat bandingkan masing-masing. Malaysia dan Singapore yang ketat sekali
karena menerapkan standar yang tinggi, pengisian dokumen registrasi cukup
kompleks, sangat teliti sehingga waktunya juga lama. Begitu juga dengan
Thailand. Tapi di Philipina, meski standardnya tinggi tapi cepat, jadi kalau
kita sudah penuhi semua persyaratannya, prosesnya sangat cepat, lebih cepat
dari Indonesia. Kamboja bisa kita nilai cepat karena tidak terlalu rumit.
Dari perbandingan tersebut dirasakan bahwa tingkat
kesulitan registrasi di setiap negara berbeda dan bervariasi ada yang rumit ada
yang lebih sederhana. Menurut pengalaman, di Indonesia kalau dokumen sudah
lengkap, prosesnya tidak terlalu lama, yang membuat prosesnya lama itu karena
dokumen dari Industri tidak lengkap atau kurang jelas sesuai standard.
Biasanya ketidaklengkapan dokumen ini karena terjadi perubahan-perubahan seperti adanya cGMP, jadi dalam hal ini kedua pihak harus koreksi, Industri harus menyiapkan SDMnya yang benar-benar mengerti proses dan persyaratan yang berlaku dan perubahan-perubahannya sesuai persyaratan GMP/cGMP.
Biasanya ketidaklengkapan dokumen ini karena terjadi perubahan-perubahan seperti adanya cGMP, jadi dalam hal ini kedua pihak harus koreksi, Industri harus menyiapkan SDMnya yang benar-benar mengerti proses dan persyaratan yang berlaku dan perubahan-perubahannya sesuai persyaratan GMP/cGMP.
Dalam hal persyaratan cGMP yang membutuhkan investasi
sangat besar apalagi mereka yang masuk industri kategori C atau D; atau
misalnya yang tidak memenuhi syarat, mereka harus membangun pabrik baru, yang
saat ini investasi yang dibutuhkan minimal sekitar 7 juta/m2, karena
persyaratannya luar biasa tinggi dari lantai, tembok, air handling system.
Untuk pabrik lokal yang memiliki hanya pasar lokal,
merasa sangat berat melakukannya, namun kedepan industri farmasi harus
melakukan perombakan, karena UU untuk persyaratan cGMP tidak bisa ditawar.
Kalau peraturannya sudah seperti itu, industrinya juga harus merubah diri.
Sebagai alternatif untuk meng-upgrade suatu pabrik yang memenuhi syarat GMP harus bekerja sama antara beberapa industri sehingga tidak perlu masing-masing membuat pabrik sendiri. Misalnya 4 atau 5 pabrik bergabung mengembangkan satu pabrik, tinggal marketingnya dikelola masing-masing.
Sebagai alternatif untuk meng-upgrade suatu pabrik yang memenuhi syarat GMP harus bekerja sama antara beberapa industri sehingga tidak perlu masing-masing membuat pabrik sendiri. Misalnya 4 atau 5 pabrik bergabung mengembangkan satu pabrik, tinggal marketingnya dikelola masing-masing.
Memang mudah diucapkan, sulit untuk diterapkan, namun alternatif itu lebih memungkinkan untuk kelanjutan usaha. Sebab kalau tidak, untuk memproduksi obat generik tidak akan bisa dilakukan, mengingat investasinya sangat besar seperti itu, sedangkan generik itu pasti harus murah, kecuali produksinya non generik. Perubahannya kurang lebih seperti itu (untuk bisa memproduksi obat generik).
Kedua yang juga sulit untuk diterima adalah toll
manufacturing, artinya membuat obat satu jenis saja, jadi pabriknya kecil saja
dan yang diluar itu harus dibuat di pabrik di luar perusahaan yang telah
memiliki persyaratan cGMP. Tentu saja juga tetap diperlukan kerjasama antara
sesama anggota GP Farmasi.
Distribusi Farmasi
Kalau didistribusi ini isu tekanan ini juga tinggi, biaya
transportasi naik, tapi dilain sisi, principal minta diskonnya diturunkan, jadi
hidupnya aspek distribusi ini juga berat. Sama halnya bidang industri, yang
tertekan karena harus mengupgrade pabrik; harga tidak bisa bergerak tinggi,
akibatnya industri juga menekan distributor untuk menurunkan fee
distribusi, jadi memang di semua level mengalami kesulitan.
Kalau saya amati di banyak negara maju, telah terjadi
konsolidasi usaha distribusi, trennya dapat dilihat misalnya perubahan asing
yang masuk ke indonesia; mereka tidak mau membuat sendiri perusahaannya dan
memilih join dengan perusahaan lokal. (erw)