Subsidi kepada BUMN Farmasi untuk Perbaikan Mesin

Kementerian Kesehatan menilai pemberian subsidi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi untuk melakukan kewajiban pelayanan kepada publik atau public service obligation (PSO) lebih baik dalam bentuk perbaikan dan pembaharuan mesin produksi daripada untuk produk obat generik. Adapun tiga BUMN yang diusulkan mendapatkan subsidi PSO, yakni PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan PT Biofarma (Persero). 

Sri Indrawati, Direktur Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, mengatakan pemberian subsidi PSO untuk perbaikan dan pembaharuan mesin akan meningkatkan kemampuan tiga perusahaan farmasi milik pemerintah tersebut untuk bersaing dengan perusahaan farmasi asing. 

Dengan begitu, ketiga perusahaan itu bisa merebut pangsa pasar farmasi domestik lebih besar dan memberikan harga obat yang lebih kompetitif bagi masyarakat. "Subsidi itu bisa membuat mereka (BUMN farmasi) untuk bisa leading dalam hal inovasi dan pengembangan obat, tapi jangan diberikan untuk produk obat," katanya.

Dia mengatakan apabila pemerintah, didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tetap memberikan subsidi ke BUMN farmasi untuk mensubsidi produksi obat generik, Kementerian Kesehatan tetap konsisten dengan rencananya untuk menaikkan harga obat generik. Kementerian Kesehatan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan perkembangan industri farmasi nasional dalam menentukan harga obat.


Pemerintah mengkalkulasi kenaikan harga obat generik pada tahun ini maksimal 10% menyusul peningkatan harga bahan baku. Penyesuaian harga tersebut dilakukan agar kenaikan harga obat generik sesuai dengan daya beli masyarakat dan industri. "Kalaupun naik tidak akan besar," ujarnya.

Pada obat generik, dominasi pasar saat ini masih dikuasai perusahaan farmasi BUMN, terutama Kimia Farma, Indofarma, dan Biofarma. Pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas di tiga BUMN farmasi itu. Pemerintah juga akan menaikkan anggaran kesehatan sebesar 5% pada 2011 menjadi Rp 22,05 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 21 triliun.

Irnanda Laksanawan, Deputi Bidang Usaha Industri dan Manufaktur Kementerian BUMN, mengatakan kewajiban memberikan pelayanan kepada publik oleh perusahaan farmasi milik pemerintah merupakan hal baru untuk Indonesia. Di ASEAN belum pernah ada wacana tersebut. Pertimbangan pemberian subsidi PSO karena perusahaan-perusahaan farmasi tersebut dinilai lebih banyak bekerja berdasarkan penugasan dari pemerintah. "Masih terus dikaji, dan tinggal menunggu persetujuan DPR," ungkap dia.

Pemberian fasilitas PSO kepada BUMN farmasi ditargetkan akan membuat produsen lebih mampu mengembangkan divisi riset dan pengembangan perseroan untuk bersaing, menyusul diimplementasikannya perdagangan bebas antara ASEAN dan China (AC-FTA). Total dana PSO yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut diperkirakan mencapai Rp 400 miliar setiap tahun. Dana tersebut rencananya dibagikan untuk kebutuhan subsidi jenis obat generik dasar sebesar Rp 285 miliar, dan untuk mendukung program pembangunan bidang kesehatan terkait millenium development goals sebesar Rp 115 miliar.

Perusahaan-perusahaan BUMN farmasi sebenarnya dapat melakukan pendanaan sendiri untuk melakukan inovasi melalui pembaruan maupun perbaikan mesin meski tanpa subsidi. Kinerja BUMN farmasi sejauh ini cukup baik. Memanfaatkan pasar farmasi Indonesia yang besar, BUMN farmasi harusnya dapat terus mendorong kinerja penjualan maupun laba bersihnya.

Posisi rasio utang terhadap ekuitas (DER) BUMN farmasi juga masih rendah, seperti Kimia Farma yang memiliki DER masih berada pada 0,59 kali, maupun Biofarma dengan DER sebesar 0,26 kali. Hanya DER Indofarma yang lebih tinggi dibanding 2 perusahaan farmasi pemerintah lainnya, yakni mencapai 1,94 kali. Dengan level DER yang masih rendah serta pertumbuhan kinerja penjualan serta laba bersih, perusahaan farmasi pemerintah masih dapat mengusahakan sendiri pendanaan untuk melakukan inovasi.

Meski demikian, PSO atau subsidi dapat tetap diberikan kepada BUMN farmasi dengan ditujukan untuk kepentingan kesehatan masyarakat miskin. Menaikkan kualitas bahan baku dari produksi obat generik misalnya, atau memproduksi obat lain dengan kualitas bersaing untuk masyarakat kelas bawah, dapat dengan menggunakan dana PSO. Yang terpenting, dana PSO yang diberikan harus dialokasikan untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

 
Anthony Charles Sunarjo, Ketua Umum GP Farmasi, menilai pemberian fasilitas PSO bagi perusahaan farmasi pemerintah adalah bentuk ketidakadilan karena perusahaan-perusahaan tersebut lebih berorientasi mencari keuntungan. Sementara, konsep subsidi dalam bentuk PSO dinilai tidak jelas. 


Ia mengatakan perusahaan farmasi tidak bisa disamakan dengan perusahaan listrik negara PT PLN ataupun PT Kereta Api Indoneisa. "PLN dan PT Kereta Api kan jelas, mereka memberikan jasa," katanya.

Konsep subsidi itu, kata Anthony, memberikan pengganti pada daya beli masyarakat sehingga masyarakat yang tidak mampu membayar bisa digantikan oleh subsidi pemerintah. Sementara BUMN farmasi meminta subsidi untuk persiapan menghadapi kompetisi.

Anthony lebih setuju jika subsidi diberikan kepada Biofarma. Dasar pertimbangannya, Biofarma adalah satu-satunya produsen vaksin sehingga bisa membantu masyarakat yang tidak mampu. Selain itu, Biofarma merupakan salah satu BUMN farmasi yang belum berstatus perusahaan publik.(dbs)

Top Ad 728x90