Vaksin memegang peranan penting terhadap ketahanan suatu negara terkait kualitas kesehatan penduduk dan pendapatan negara. Sayangnya, dana riset vaksin sebesar 100 miliar hanya dimanfaatkan ilmuwan lokal sekitar 2%.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama PT Bio Farma Drs. Iskandar Apt, MM saat ditemui di Wisma Antara, Jakarta, pada Kamis (12/5). Sebagai bagian dari meningkatkan kualitas vaksin nasional, Bio Farma sudah melakukan sinergi ABG (Academic, Business and Government).
“Sayangnya, masih banyak masalah vaksin yang harus dibenahi. Dari segi riset misalnya, hanya 2% dana riset sekitar 100 miliar yang dimanfaatkan oleh periset lokal. Sehingga, kami harus bekerja sama dengan pihak asing. Seandainya periset lokal dapat memanfaatkan dana ini dengan baik, tentu dunia vaksin nasional akan semakin berkualitas,” ujar Iskandar. Ia mengakui bahwa saat ini, industri vaksin nasional tertinggal 10 tahun dibandingkan negara maju.
Vaksin diakui berperan besar dalam kualitas pertahanan suatu negara. “Kita masih ingat 2 sampai 3 tahun lalu, dunia dihebohkan dengan virus flu burung. Singapura juga pernah dijauhi masyakarat luar karena penyebaran SARS. Vaksin berperang sangat penting untuk mencegah penyebaran virus tersebut.” Iskandar sempat pula meramalkan perang di masa depan tidak lagi soal gontok-gontokan fisik. Virus bisa menjadi alat perang namun tidak bisa dipastikan kapan dan dimana, ujarnya.
Beberapa penyebab dana riset vaksin tidak dapat dimanfaatkan maksimal oleh periset lokal salah satunya peneliti Indonesia yang tidak ‘murni’ mencetuskan ide penelitian. “Banyak peneliti lokal yang menawarkan hasil riset namun ternyata beberapa komponen ide ataupun bagian dari penelitian berasal dari pihak luar. Karenanya, kami tidak bisa menerima hasil riset tersebut.”
Selain itu, Iskandar mengakui bahwa hasil atau proposal riset yang bisa memanfaatkan dana Bio Farma adalah riset yang sepenuhnya untuk kepentingan komersil. “Kalau dari awal riset dilakukan untuk bukan kepentingan komersil, kami tidak bisa menggunakannya.”
Alasan terakhir adalah banyaknya ilmuwan Indonesia yang belum siap dengan rentetan uji coba penelitian yang melibatkan ribuan orang. “Untuk sampai tahap pengesahan vaksin, ilmuwan harus melakukan uji coba klinis yang melibatkan ribuan lokal. Banyak ilmuwan yang tidak siap dengan hal ini.” (dbs)