Sebagian
besar masyarakat menganggap harga obat di Indonesia cenderung mahal
dibandingkan di negara-negara lain. Bahkan, pemerintah sendiri sering
menuding sebagian besar perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia
mematok marjin keuntungan yang besar untuk obat-obatan yang
diproduksinya.
Meskipun selalu mendapat bantahan dari kalangan industri terkait besarnya marjin keuntungan yang diperoleh. Dengan berbagai argumen yang industri menyatakan bahwa harga obat di Indonesia relatif terjangkau oleh masyarakat dalam negeri.
Kedua, ada insentif finansial yang mempengaruhi pilihan obat resep oleh dokter [Eisenstodt, 1992]. Hal ini dapat menentukan harga dan permintaan akan obat. Misalnya, di Amerika Serikat pengeluaran untuk obat hanya menjadi 8% dan pengeluaran total untuk pelayanan kesehatan, sedangkan di Jepang menjadi 30%.
Dengan demikian, mereka memperoleh lebih banyak uang untuk membayar biaya yang sangat tinggi dari penelitian dan pengembangan (R&D) karena selalu ada harapan bahwa obat-obatan baru akan menghasilkan laba yang tinggi. Oleh karena ini, peraturan-peraturan pemerintah yang sedikit demi sedikit mengontrol harga akan mengganggu inovasi dan pengembangan obat-obatan baru.
Beruntung masih ada alasan yang dapat diterima bahwa saat ini para konsumen Amerika sedang memberi subsidi kepada masyarakat Kanada yang menikmati keuntungan dari pengembangan obat-obatan baru yang sangat mahal. Bagaimana dengan harga obat di negeri kita? (*)
Meskipun selalu mendapat bantahan dari kalangan industri terkait besarnya marjin keuntungan yang diperoleh. Dengan berbagai argumen yang industri menyatakan bahwa harga obat di Indonesia relatif terjangkau oleh masyarakat dalam negeri.
Ada
beberapa pertimbangan yang dapat menjelaskan mengapa harga berbeda
antar-negara. Pertama, ada perbedaan dalam selera dan preferensi yang
mempengaruhi permintaan. Ada perbedaan yang signifikan antara kebudayaan
yang berbeda [Payer, 1988]. Hal ini berlaku untuk pilihan obat serta kuantitas obat (dosage) dan bentuk administrasinya.
Kedua, ada insentif finansial yang mempengaruhi pilihan obat resep oleh dokter [Eisenstodt, 1992]. Hal ini dapat menentukan harga dan permintaan akan obat. Misalnya, di Amerika Serikat pengeluaran untuk obat hanya menjadi 8% dan pengeluaran total untuk pelayanan kesehatan, sedangkan di Jepang menjadi 30%.
Ketiga,
campur tangan pemerintah dan campur tangan pihak ketiga (perusahaan
asuransi kesehatan) dapat mempengaruhi harga obat dan konsumsi obat [Danzon dan Kim, 1993]. Di banyak negara, ada regulasi pemerintah mengenai harga obat secara langsung atau tak langsung.
Dulu
industri farmasi dapat memprotes kebijakan pemerintah dalam mengontrol
harga dengan alasan yang didasarkan atas hak-hak asasi manusia. Para
pasien diberbagai segmen berhak mengakses obat-obatan yang terbaik dan
paling efektif dan hanya dokter berhak menentukan obat resep yang paling
cocok dengan penyakit pasien. Namun, sekarang yang ada faktor politik.
Semakin lama semakin perlu bahwa industri farmasi meninjau kembali
harga-harga obat yang dikenakannya.
Beberapa alasan tentang keuntungan pasar bebas belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat khususnya di Indonesia. Big Pharma
mengatakan bahwa sistem liberal di Amerika yang menentukan harga secara
bebas di pasar farmasi akan mendorong atau menstimulasi industri
farmasi Amerika Serikat menjadi juara dunia dalam bidang inovasi
obat-obatan baru.
Dengan demikian, mereka memperoleh lebih banyak uang untuk membayar biaya yang sangat tinggi dari penelitian dan pengembangan (R&D) karena selalu ada harapan bahwa obat-obatan baru akan menghasilkan laba yang tinggi. Oleh karena ini, peraturan-peraturan pemerintah yang sedikit demi sedikit mengontrol harga akan mengganggu inovasi dan pengembangan obat-obatan baru.
Namun
ada beberapa argumen melawan pikiran ini. Pertama, sistem penentuan
harga lewat pasar bebas sebetulnya tidak berlaku di Amerika Serikat.
Sistem penentuan harga obat sekarang ini merupakan campuran dari pasar
bebas dan campur tangan pemerintah (hybrid mix) untuk mengontrol
harga-harga. Sayang bahwa masyarakat paling miskin sering kali mengalami
situasi terburuk karena itu kelompok pembeli yang terbesar ini sering
menuntut potongan harga atau diskon karena mereka dapat atau berkuasa
untuk tawar-menawar. Situasi ini sering mengarah pada masalah politik.
Biasanya,
sebagai salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan saat ini melalui
kegiatan kehumasan, perusahaan-perusahaan farmasi menyediakan
program-program khusus untuk memberi obat-obatan kepada masyarakat yang
kurang mampu tanpa harus membayar apapun.
Namun
demikian hal itu bukan menjadi solusi yang mendasar, seperti yang
terjadi bahwa banyak orang Amerika Serikat merasa bahwa sistem harga
sekarang kurang adil dan merata karena para konsumen obat di Kanada
membayar harga yang jauh lebih rendah untuk obat yang sama dibandingkan
apa yang dibayar oleh mereka.
Beruntung masih ada alasan yang dapat diterima bahwa saat ini para konsumen Amerika sedang memberi subsidi kepada masyarakat Kanada yang menikmati keuntungan dari pengembangan obat-obatan baru yang sangat mahal. Bagaimana dengan harga obat di negeri kita? (*)