Peredaran obat palsu tahun ini diperkirakan mencapai Rp 440 miliar, atau 1% dari total pasar farmasi nasional Rp 44 triliun, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan. Obat palsu yang beredar merupakan obat produksi domestik dan impor.
"Peredaran obat palsu karena ada sebagian konsumen yang cenderung membeli obat dengan harga lebih murah, tanpa memperhatikan keasliannya," kata Roland Hutapea, Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga BPOM. Faktor itu yang dimanfaatkan oleh pemalsu obat, baik lokal maupun impor untuk mengedarkan produknya.
Dalam 5-6 tahun terakhir, obat yang dipalsukan antara lain obat pereda nyeri seperti Ponstan, karena populer di masyarakat sebagai pereda rasa sakit yang mudah dikonsumsi tanpa resep dokter. "Selain itu, obat jenis antibiotik dan obat kuat palsu juga banyak dipalsukan," ujar Roland.
Roland mengatakan dalam upaya pencegahan terhadap peredaran obat-obatan palsu, BPOM selama ini bekerja sama dengan aparat kepolisian, kejaksaan, serta Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk mencegah masuknya obat-obatan palsu yang diimpor.
"Upaya pencegahan obat-obatan palsu ada dua jenis, yakni pencegahan sebelum beredar serta pengawasan dalam peredaran obat," kata Roland.
IPMG memproyeksikan peredaran obat palsu di Indonesia mencapai 15%-20% dari total pasar farmasi nasional. Lutfi Mardiansyah, Ketua IPMG menyatakan pada 2011 peredaran obat palsu di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 5,7 triliun - Rp 7,6 triliun, meningkat 11% dibanding 2010.
Tingginya peredaran obat palsu di Indonesia saat ini karena harganya lebih murah dibandingkan obat yang memiliki hak paten. Obat palsu yang beredar di Indonesia ada yang diracik di dalam negeri namun ada pula yang diimpor dari beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia. Hal itu karena obat-obat tersebut diimpor secara ilegal. Penggunaan obat palsu merugikan masyarakat dan produsen farmasi di Indonesia.
Peredaran obat palsu merugikan produsen farmasi di Indonesia, baik perusahaan lokal seperti PT Kalbe Farma Tbk, PT Tempo Scan Pacific Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Pyridam Farma Tbk, maupun perusahaan farmasi asing seperti PT Merck Tbk, PT Darya-Varia Laboratoria Tbk, PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk, dan PT Schering-Plough Indonesia Tbk.
Ketua Umum Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Widyaretna Buenastuti, memperkirakan kerugian ekonomi akibat peredaran obat palsu di Indonesia tahun ini diperkirakan 3,5% dari total pasar farmasi nasional. "Perbedaan angka baik dari BPOM maupun asosiasi kemungkinan besar karena perbedaan metodologi perhitungan," ujarnya.
Menurut dia, peredaran obat palsu cenderung meningkat karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap aksi pemalsuan serta makin bertambahnya permintaan obat di Indonesia. Pemalsuan obat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya membuat kemasan palsu atau impor ilegal. Produk obat palsu umumnya dikemas dengan kemasan yang menyerupai kemasan asli. Selain itu, peredaran obat palsu sering menggunakan kemasan obat luar negeri, namun produknya palsu.
Sementara obat palsu melalui impor ilegal dilakukan dengan cara impor pararel, yaitu impor yang dilakukan dengan menjual kembali produk ke suatu negara tanpa izin atau persetujuan dari pemegang hak paten atau lisensi.
Data Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia menyebutkan pasar farmasi di Indonesia pada 2012 diperkirakan mencapai Rp 43,3 triliun - Rp 43,7 triliun, tumbuh 13%-15% dibanding 2011. Pasar farmasi nasional tumbuh di atas 10% dalam tiga tahun terakhir. Di 2011, pasar farmasi nasional mencapai Rp 38 triliun, naik 11,7% dibanding 2010 sebesar Rp 34 triliun.(dbs)