Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum PB IDI
Pada awal tahun 1970-an Indonesia membuka kesempatan bagi
industri farmasi internasional menanam modal di Indonesia. Mulailah penanam modal
asing bidang farmasi berbondong-bondong masuk ke Indonesia.
Kala itu, pemerintah Indonesia menetapkan, setelah 5
tahun beroperasi, industri farmasi asing harus sudah memproduksi bahan baku di
Indonesia. Kemudian, dibuka pula kesempatan bagi modal dalam negeri untuk
membuka pabrik farmasi.
Dalam waktu singkat jumlah merek dan jenis obat jadi di Indonesia meningkat cepat. Salah satu alasan dibiarkannya begitu banyak jenis dan merek obat adalah persaingan mereka di pasar sehingga harga makin murah. Sulit dimengerti bahwa pakar farmasi di Departemen Kesehatan menyamakan perdagangan obat dengan baju, yang semakin banyak merek semakin murah harganya.
Persaingan obat dan baju sangat berbeda. Dalam produk
konsumsi, seperti baju, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling
sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama
sekali tidak tahu mana yang harus ia beli, mana yang paling cocok dengan
penyakitnya, dan mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter.
Konsumen terpaksa membeli, berapa pun harganya. Maka, persaingan terjadi dengan
cara membujuk dokter agar meresepkan produk tertentu.
Obat Esensial
Kebijakan pertama seharusnya menetapkan jenis obat apa
saja yang secara esensial diperlukan rakyat Indonesia. Di luar jenis itu,
seharusnya ijin memproduksi dan mengedarkannya dipersulit. Di situlah perlunya
pemerintah menyusun Daftar Obat Esensial (DOE) tanpa menentukan merek dagang
yang akan beredar asal mutunya memenuhi syarat. DOE selanjutnya menjadi pedoman
bagi rumah sakit pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk pengadaan obat.
Dengan demikian, ada efisiensi penggunaan dan pemantauan rezim terapi.
Banyaknya jenis obat yang beredar saat ini membuat
persaingan tidak sehat dan berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi
yang efektif dan efisien. Jenis yang sangat banyak dan merek dagang yang juga
sangat banyak ini akibat mudahnya pemerintah memberi izin (terutama lokal)
untuk membuka pabrik obat. Banyak yang sebenarnya tidak profesional dan bahkan
tidak berlatar belakang membuat obat.
Sebagian besar dari mereka hanya menjadi perakit obat
dengan hanya bermodal membeli mesin dan bahan pembuat obat. Bandingkan,
misalnya, dengan Bayer atau Hoechst (dulu) yang bermula dari pabrik kimia dan
kemudian melalui penelitian dapat menemukan bahan berkhasiat obat.
Akibat perizinan yang begitu lunak—tanpa melihat jangka
panjang—industri farmasi lokal berkembang sangat cepat. Padahal, pangsa pasar
sangat kecil. Mereka kemudian hanya memproduksi obat-obat ”latah” (meniru). Ini
pula yang membuat merek dagang untuk jenis yang sama menjadi sangat besar.
Untuk memenangi pasar, mereka berusaha mendapat izin edar
lebih dulu dari pesaing— yang membuka peluang korupsi—dan berikutnya membujuk dokter.
Kebijakan Harga
Para pejabat di Depkes dulu berprinsip biar pasar yang
mengatur harga obat. Depkes hanya mengatur kapan pabrik obat boleh menaikkan
harga produk. Akan tetapi, seperti telah disebut, pasar obat berbeda jauh
dengan pasar produk lain.
Ketentuan ini lagi-lagi menjadi peluang untuk korupsi.
Karena tidak ada kebijakan yang terarah, industri farmasi lokal yang hanya
menjadi perakit obat bebas menentukan harga produk. Pada umumnya mereka
menetapkan harga mendekati harga yang ditentukan industri penemu untuk mengesankan
bahwa mutu mereka tidak berbeda dengan produk orisinal tersebut. Padahal,
industri lokal tidak pernah melakukan riset awal.
Tidak selayaknya mereka dibebaskan menentukan harga
produk mendekati harga produk orisinal. Pemerintah seharusnya menetapkan bahwa
harga obat tiruan maksimal 60-70 persen dari harga obat orisinal karena tidak
ada beban biaya riset. Bahkan bahan bakunya pun dibeli dari pasar di luar
penemu awal, misalnya dari India, Hongaria, dan China, dengan harga jauh lebih
murah daripada harga di negara penemu awal.
Bahan baku tersebut secara bebas dapat diproduksi oleh
negara lain setelah masa perlindungan patennya habis. Jadi, sebenarnya yang
dibuat industri lokal bukanlah obat paten, melainkan obat generik yang diberi
merek dagang tersendiri.
Seandainya pemerintah tegas dalam menentukan batas harga
obat tiruan atau generik bermerek tersebut, harga obat tidak seenaknya
ditetapkan oleh industri nasional dengan keuntungan sangat besar.
Bahan Pembuat Obat
Setelah lima tahun pertama, tidak satu pun industri
farmasi memproduksi bahan baku di sini dan pemerintah tidak bisa berbuat
apa-apa. Alasannya sederhana saja, selain fasilitas dan kemampuan riset obat di
Indonesia sangat lemah, pangsa pasar bahan baku obat di Indonesia sangat kecil
sehingga tidak ekonomis untuk berproduksi di sini.
Pemerintah waktu itu mungkin berpikir bahwa membuat obat
seperti membuat kerupuk. Bahan bakunya cukup tepung dan garam. Jadi, ketika
kita mensyaratkan agar industri farmasi membuat bahan baku obat di Indonesia, tidak
terpikirkan bahwa bahan baku obat memerlukan dukungan industri hulu yang sesuai
serta riset yang lama dan mahal.
Bahkan banyak industri farmasi dunia bergabung karena
biaya riset semakin mahal dan persyaratan riset obat semakin ketat. Kalau hanya
membuat bahan baku yang mudah diperoleh di pasar internasional, mengapa pula
harus repot membuat sendiri di Indonesia yang pangsa pasarnya masih sangat
kecil. Jumlah penduduk Indonesia memang besar, tetapi konsumsi obat per tahun
dan per kapita masih sangat kecil.
Sampai sekarang tidak ada kebijakan pemerintah untuk
mengembangkan industri hulu bagi produk obat. Jangankan bahan baku obat, untuk
bahan pembantu saja pengembangannya tidak dipikirkan. Obat tidak hanya terdiri
dari bahan baku zat aktif, tetapi diperlukan juga pencampur yang memenuhi
syarat. Bahan bantu itu, antara lain, tepung khusus, gula khusus, perekat, dan
kapsul, yang sampai sekarang tidak terpikirkan oleh pemerintah.
Produksi bahan bantu tidaklah sesulit membuat bahan baku
aktif dan mempunyai peluang diekspor ke negara lain. Selama ini hampir 90
persen bahan pembuat obat (bahan aktif dan bahan bantu) diimpor. Industri dalam
negeri hanya merakitnya menjadi obat jadi.
Selama kita tidak memikirkan masalah ini, Indonesia akan
terus sebatas menjadi negara perakit obat yang tidak akan pernah mandiri. Harga
obat pun akan terus menjadi beban bagi rakyat dan negara. (kompas,com)
Related Post: