2011 : Harga Bahan Baku Obat Naik Stagnan

Perdagangan Bahan Baku Obat Kuartal II-2011 
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) memprediksi harga bahan baku obat (BBO) stagnan pada kuartal II tahun 2011 dibandingkan kuartal I, meski terjadi tren penguatan Rupiah terhadap Dollar AS.

Ketua Komite Bahan Baku Obat GP Farmasi Indonesia Vincent Harijanto, menilai penguatan rupiah belum berdampak besar terhadap biaya BBO yang sebagian besar diimpor. Menurutnya selain dipicu oleh kuatnya rupiah, stagnansi harga BBO pada kuartal II 2011 juga dipengaruhi oleh melemahnya dolar AS terhadap Yuan. "Itu karena sebagian besar BBO di Indonesia diimpor dari China," ujar Vincent.

Hingga saat ini, 95% Indonesia mengimpor dari beberapa negara seperti China, India, AS, dan negara-negara Eropa, antara lain sulfametoxazol ciprofloxacin, dextromethorphan, dan alumunium hydroxide.

Mayoritas BBO asal India dan China harganya yang relatif murah dibandingkan dari negara-negara Eropa. "Jika rupiah terus menguat terhadap dolar, ada kemungkinan harga jual bahan baku obat akan turun pada kuartal III," tambah Vincent. Namun persentase penurunan harga itu belum bisa diprediksi.

Kuartal I 2011, harga BBO naik 5% sebagai dampak pemberlakuan Permenkeu Nomor 241 Tahun 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Aturan itu menaikkan tarif bea masuk impor BBO dari 0% menjadi 5%. Pemerintah kemudian merevisi aturan itu dengan menerbitkan Permenkeu Nomor 80 Tahun 2011 sehingga bea masuk BBO turun menjadi 0% pada akhir kuartal I 2011.

Biaya Bahan Baku Obat Emiten

Secara umum penguatan rupiah akan menurunkan biaya bahan baku farmasi. Dari dua emiten farmasi, yakni PT Kimia Farma Tbk  dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), yang dijadikan sebagai sampel, biaya bahan baku obat keduanya memiliki hubungan dengan perubahan kurs rupiah.


Pada 2010 ketika rupiah menguat 18,5% terhadap dolar AS, biaya bahan baku KLBF dan KAEF tercatat turun masing-masing 6,2% dan 6,5% dibandingkan dengan tahun 2009. Pada 2008 ketika rupiah melemah 16,3% terhadap dolar AS, biaya bahan baku KLBF naik 28,7%, sementara biaya bahan baku obat KAEF naik 80,3%.

Demikian halnya pada 2007 saat rupiah menguat 4,4% terhadap dolar AS, biaya Bahan Baku KLBF dan KAEF naik masing-masing 19,6% dan 91,1%. Ketika kurs Rupiah melemah 5,8% terhadap Dolar AS pada 2005, biaya Bahan baku KLBF dan KAEF naik masing-masing 18,3% dan 9,6%.

Hal berbeda terjadi pada 2009 saat Rupiah menguat 14,2% terhadap Dolar AS, biaya BBO naik 16,7% pada KLBF dan 20,5% pada KAEF. Sensitivitas kenaikan atau penurunan biaya BBO yang dijadikan sampel ini masih harus dijelaskan oleh berbagai faktor lain, selain dipengaruhi oleh kurs rupiah itu sendiri.

Faktor pertama, sensitivitas kurs dan biaya BBO juga dapat dipengaruhi oleh diversifikasi produk yang dilakukan oleh masing-masing emiten sehingga struktur penggunaan BBO dapat berubah.

Kedua, hubungan keduanya juga dapat dijelaskan oleh strategi mendorong pendapatan yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga selain harga, juga terdapat kenaikan/penurunan volume impor yang digunakan untuk mendorong pendapatan yang mempengaruhi biaya bahan baku.

Ketiga, biaya bahan baku setiap perusaha-an juga dipengaruhi oleh sistem kontrak dengan pemasok, mulai dari waktu serta ketentuan lain terkait dengan impor.

Tahun 2011, rupiah kembali menguat terhadap dolar AS. Rata-rata kurs rupiah berada pada Rp 8.817 per dolar AS sepanjang Januari-April 2011, menguat 3% dibandingkan dengan rata-rata kurs pada 2009 yang berada pada Rp 9.084 per dolar AS.

Penguatan rupiah berpotensi memicu biaya BBO yang lebih rendah bagi perusahaan farmasi, tanpa memperhitungkan ketiga faktor lain di atas.

Penguatan rupiah secara konsisten yang kemudian dapat mendorong turunnya biaya BBO tahun 2011 dapat dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi untuk mendorong profitabilitasnya.(erw)

Top Ad 728x90