IPMG baru-baru ini menerbitkan revisi Kode Etik tentang Praktik Pemasaran Farmasi untuk menjadi panduan bagi anggotanya, yaitu 24 perusahaan farmasi asing berbasis riset yang beroperasi di Indonesia, dan juga para pemangku kepentingan terkait di industri farmasi.
"Revisi kode etik ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan IPMG untuk menegakkan etika bisnis dalam promosi obat di Indonesia,” kata Luthfi Mardiansyah, Ketua IPMG.
Iklim bisnis farmasi yang sangat kompetitif dimana keberhasilan sangat tergantung pada pemasaran dan penjualan obat seringkali menempatkan perusahaan pada situasi yang memaksa mereka mengambil langkah yang walau tidak melanggar hukum tetapi tidak etis, jelas Luthfi. Hubungan kerja antara perusahaan farmasi dan profesi medis yang rentan terhadap praktik pemasaran tidak etis ini semakin menjadi sorotan publik dan media dalam beberapa tahun terakhir.
”Reputasi kami dipertaruhkan,” kata Lutfhi. ”Dalam konteks inilah praktik promosi obat yang beretika menjadi relevan dan penting agar dokter mendapatkan informasi yang diperlukan sehingga pasien dapat tertangani dengan pemberian obat yang tepat,” tambahnya.
Secara berkala, Sub-Komite Praktik Pemasaran IPMG merevisi pasal dan/atau bab dari Kode Etik yang tengah berlaku agar selaras dengan perkembangan terbaru dan sigap menjawab tantangan di sektor farmasi nasional.
Hal ini, menurut Allen Doumit, ketua Sub-Komite Praktik Pemasaran, juga sebagai respon terhadap tren global yang mengarah pada penjaminan pemasaran beretika, seperti yang ditunjukkan oleh IFPMA yang belum lama ini menerbitkan kode etiknya yang baru dan negara-negara APEC yang pada November 2011 menyuarakan dukungan bagi pelaksanaan Mexico City Principles for Voluntary Codes of Business Ethics in Biopharmaceutical Sector.
”Kami di IPMG berkepentingan untuk menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang produk-produk kami. Kami juga memberi kesempatan bagi profesi kesehatan untuk mengenal produk kami melalui berbagai forum. Namun kami menghindari hal apa pun yang dapat diartikan sebagai sogokan atau iming-iming yang tidak patut,” ujarnya.
Allen menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan farmasi anggota IPMG harus mengedepankan profesionalisme dan etika dalam berbisnis serta menjunjung tinggi independensi dokter dalam meresepkan obat.
Kode Etik IPMG yang telah direvisi diperkenalkan pada akhir bulan Juni lalu melalui sebuah seminar umum berjudul “Promosi Obat secara Etis untuk Layanan Kesehatan yang Lebih Baik”, yang juga merupakan bagian dari upaya sosialisasi Kode Etik IPMG kepada sejumlah rumah sakit dan asosiasi kesehatan di Indonesia.
Pembicara pada seminar, Abdullah Hehamahua dari Dewan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Corene Crossin dari perusahaan konsultan Control Risks, mendukung inisiatif revisi Kode Etik IPMG.
”Kode Etik Pemasaran yang telah direvisi ini sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya terhadap industri kesehatan serta untuk menjamin praktik yang bersih,” kata Abdullah.
Menurut Corene, etika pemasaran penting bagi anggota IPMG demi menjaga integritas dan reputasi yang merupakan aset penting, utamanya karena bisnis mereka bersentuhan dengan kesehatan dan kehidupan manusia. ”Disamping itu, ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin mengangkat reputasi industri farmasi Indonesia,” tambahnya.
Luthfi mengatakan penerapan Kode Etik IPMG membutuhkan dukungan para pemangku kepentingan sektor farmasi. “Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mempelajari dan secara bersama menerapkan Kode Etik Pemasaran Farmasi IPMG, yang kami percaya akan membantu menjaga hubungan yang bertanggung jawab dengan praktisi kesehatan dan mendukung tata kelola pemerintahan yang baik di komunitas medis.”
”Ke dalam, kami sebagai asosiasi akan menegakkan Kode Etik IPMG dengan terus mengingatkan para anggota agar mentaati etika dan aturan yang berlaku dan akan menerapkan sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya,” tambah Allen.* (IPMG)