Banyak Pihak Bicara Soal Buvanest Spinal, Apa Kata Mereka?

Sementara itu, pihak PT Kalbe Farma masih enggan berkomentar terkait perkembangan penelaahan atas kemungkinan kesalahan pengemasan dua produk obat biusnya sehingga berakibat fatal dengan meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, lalu (12/2).

Sementara itu, pihak PT Kalbe Farma masih enggan berkomentar terkait perkembangan penelaahan atas kemungkinan kesalahan pengemasan dua produk obat biusnya sehingga berakibat fatal dengan meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, lalu (12/2).

Corporate Secretary Kalbe Vidjongtius mengatakan, pihaknya terus fokus pada penarikan dua produknya yang diduga bermasalah, yaitu Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 ml batch nomor 629668 dan Asam Traneksamat Generik 500 mg/ampul 5 ml batch nomor 630025. Penarikan dilakukan sejak 12 Februari 2015.


”Perseroan telah senantiasa berkoordinasi dengan BPOM dalam melakukan penelaahan lebih lanjut yang hingga saat ini masih terus berlangsung,” ungkapnya dalam keterangan resmi kemarin.

Berdasar Surat Keputusan Kepala BPOM RI No PN.01.04.313.3.02.15.840 Tahun 2015 tentang Pembekuan Izin Edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy Produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma tertanggal 17 Februari 2015, BPOM memutuskan untuk membekukan izin edar injeksi Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy produksi perusahaan itu.

Vidjongtius mengatakan bahwa pihaknya juga menerima dan menjalankan perintah penghentian sementara kegiatan fasilitas produksi larutan injeksi volume kecil nonbeta-laktam (lini 6) tertanggal 17 Februari 2015. Perintah penghentian itu tertuang dalam surat BPOM No PW.02.03.331.3.02.15.839.

”Kami telah secara langsung melaksanakan seluruh keputusan BPOM tersebut di atas yang merupakan tindakan preventif untuk melindungi keselamatan konsumen. Kami terus berkoordinasi dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan sampai selesai dan berkomitmen untuk memastikan keamanan seluruh produk Kalbe,” ungkapnya.
.
Meski kesalahan kandungan produk farmasi sangat minim terjadi, baik di hulu maupun hilir, faktanya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menemukan salah satu kejanggalan saat melakukan inspeksi di lapangan. Kejanggalan itu mengindikasikan adanya kelalaian dan sedang diselidiki.
Ketua Komisi IX DPR RI, berdasar hasil turun ke lokasi produksi PT Kalbe di kawasan Lippo Cikarang, Wakil Ketua Komisi IX Pius Lustrilanang menuturkan, kesalahan pengisian saat produksi masih mungkin terjadi. Pasalnya, dalam lini 6 tersebut, Buvanest memang diproduksi bersama dengan obat Kalnex yang mengandung asam traneksamat. ”Satu mesin bergantian,” ungkapnya.

Itu turut didukung adanya perbedaan ukuran ampul Buvanest seperti diungkap Ketua Komisi IX Dede Yusuf sebelumnya. Berdasar penelusuran, ampul Buvanest 4 ml sejatinya memiliki tinggi 3,5 cm. Tapi, pada ampul yang menewaskan dua pasien RS Siloam Karawaci berbeda 0,7 cm. Ukuran ampul tersebut biasa digunakan untuk obat Kalnex ukuran 5 ml.

”Tapi, memang dua ampul ini tidak jauh berbeda kalau dilihat sekilas. Susah untuk dibedakan,” kata dia. Ditambah, lanjut dia, warna ampul keduanya sama.

Pius mengaku masih menyusuri keanehan lainnya. Yakni, obat yang diproduksi Oktober lalu hanya bermasalah pada dua ampul Buvanest. Padahal, obat telah tersebar hingga seluruh wilayah Indonesia.

Fakta tersebut, menurut dia, masih belum bisa memberikan kesimpulan apa pun. Dia masih belum dapat mengatakan detail bagaimana kemungkinan isi Buvanest tersebut tertukar. Sebab, pihak Kalbe belum memberikan logbook hari pembuatan dua Buvanest yang isinya tertukar itu. ”Dari situ nanti kelihatan alur pembuatan obat hari itu. Apakah benar kesalahan saat produksi atau tertukar di luar,” kata dia.

GP Farmasi,
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi) Darodjatun Sanusi turut mempertanyakan beberapa kejanggalan dalam kasus tersebut. Sampai saat ini baru ada satu kasus dari produk itu. Padahal, perusahaan farmasi biasanya akan memproduksi ratusan obat dalam satu kesempatan. Logikanya, jika memang ada kesalahan di produksi, kasus-kasus serupa akan terjadi. Apalagi, obat tersebut beredar di Indonesia sejak 3 November 2014

’’Kalau memang ada kecerobohan, kenapa hanya ada dua korban di tempat yang sama? Itu perlu pengecekan data yang sangat komprehensif. Misalnya, berapa total Buvanest yang diproduksi waktu itu, ke rumah sakit mana saja produk itu dijual, dan apakah produk tersebut sudah dipakai pasien lain sebelum hal ini terjadi. Dari situ baru bisa diambil beberapa asumsi,’’ ujarnya.

Sayang, lanjut dia, pihaknya tak mengetahui detail informasi tersebut. Sebab, asosiasnya memang tak dilibatkan dalam tim investigasi kasus menggemparkan tersebut. Di sisi lain, pihaknya tidak bisa memaksa pemerintah untuk terlibat dalam proses penyelidikan.

’’Sebenarnya, kami punya tenaga-tenaga ahli yang bisa mengecek proses yang ada. Kami kan menaungi semua aspek industri farmasi. Mulai produsen, distributor, sampai apotek. Tapi, kami tidak bisa masuk kalau memang tidak diminta pemerintah,’’ ungkapnya.

Terkait kondisi industri farmasi, dia tidak menampik sengitnya persaingan di Indonesia. Dengan jumlah melebihi 200 perusahaan berbagai skala, perusahaan farmasi memang perlu melakukan upaya ekstra untuk menyasar konsumen Indonesia. ’’Apalagi, 95 persen bahan baku industri farmasi Indonesia masih dari luar negeri. Mulai Tiongkok, India, sampai negara-negara di Eropa,’’ ungkapnya.

BPOM, lembaga ini pun menepis jika disebut kebobolan atas kasus tertukarnya isi Buvanest itu. Kepala Biro Hukum dan Humas BPOM Budi Djanu Purwanto mengatakan, pihaknya selalu rutin melakukan pengawasan. Pengawasan tersebut pun tidak dilakukan dari atas meja, namun langsung turun ke lapangan untuk mengawasi produksi obat yang beredar.

Meski, diakui, jadwal pengawasan itu tidak tentu karena keterbatasan jumlah pegawai BPOM. ”Ini seperti kejadian ada warga ditembak. Apakah bisa polisi dibilang kecolongan tidak bisa melindungi warga? Gak bisa dibilang begitu,” tegasnya.

Dia menambahkan, pengawasan itu juga tidak dilakukan sendiri oleh BPOM. Ada tiga lapis pengawasan. Mulai pemerintah yang bertugas untuk mengecek komponen cara pembuatan obat yang baik (CPOB) sebelum memberikan izin produksi, pengawasan pihak produsen, dan pengawasan oleh masyarakat. Komponen CPOB meliputi kualitas dan kuantitas dari bangunan, sumber daya manusia, hingga software yang digunakan.

Lalu, untuk kasus tertukarnya isi Buvanest, apakah pihak Kalbe telah memenuhi CPOB? Budi menegaskan bahwa sertifikat itu telah dikantongi Kalbe jauh sebelum mulai berproduksi. ”Kalbe memenuhi. Yang sudah berdiri pasti sudah punya CPOB,” kata dia. Namun, tidak dijelaskan, seiring berjalannya perusahaan tersebut, kualitas komponen CPOB yang dahulu diperoleh masih dapat dipertanggungjawabkan.
jawapos.com

Top Ad 728x90