Indonesia: Masih Ada Kusta Diantara Kita

Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek prihatin dengan penderita kusta di Indonesia yang menjadi tunawisma, karena masih banyak stigma dan diskriminasi dari masyarakat.

Indonesia: Masih Ada Kusta Diantara Kita
Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek prihatin dengan penderita kusta di Indonesia yang menjadi tunawisma, karena masih banyak stigma dan diskriminasi dari masyarakat.

Dalam hal ini Menkes Nila tidak ingin masalah sosial-ekonomi ini menjadi berkepanjangan. Ia ingin memberdayakan para penderita kusta agar semakin menjadi manusia produktif.


"Kita tentunya tak ingin lihat mantan pasien kusta jadi pengemis di jalanan. Kita akan kerjasama dengan Kementerian Sosial agar para mantan pasien diberikan pelatihan dan dapat diberdayakan, sehingga mereka mampu membantu dirinya sendiri," ujar Menkes Nila di RS Kusta (RSK) Sitanala, Tangerang, Rabu (25/2/2015).

Kusta di Indonesia
Indonesia, hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.856 kasus kusta baru dan jumlah kecacatan tingkat dua di antara penderita baru sebanyak 9,86 persen.

Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia, dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus).

"Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat dalam pembangunan di segala bidang, termasuk kesehatan. Namun kusta sebagai penyakit kuno masih ditemukan dan seringkali terabaikan," kata Menteri Kesehatan, Nila Moeloek di puncak peringatan Hari Kusta Sedunia di Jakarta, Senin (26/1).

Hari Kusta Sedunia pada tahun ini jatuh pada 25 Januari 2015. Tema yang diangkat adalah "Hilangkan Stigma! Kusta Dapat Disembuhkan dengan Tuntas". Hari ini, menkes mencanangkan Resolusi Jakarta, yang memuat tiga pendekatan guna menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta.

Tiga pendekatan tersebut, yaitu, pertama, dengan memahami, maka masyarakat berani bergaul dengan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), kedua, dengan memahami, masyarakat dapat peduli untuk mengajak penderita kusta ke puskesmas, ketiga, dengan memahami, maka tenaga kesehatan akan melayani semua pasien dengan penuh kasih sayang dan tidak diskriminatif.

"Resolusi ini dapat digunakan bagi penghilangan stigma dan diskriminasi bagi semua negara, yang memiliki masalah terkait hal tersebut," tambah Menkes.

Resolusi tersebut juga telah disepakati oleh para ahli, akademisi, dan perwakilan lembaga sosial masyarakat (LSM), baik nasional maupun internasional dalam pertemuan mengenai kusta yang digelar pada
25 Januari 2015 lalu.

Penularan Kusta
Dilansir laman depkes.go.id, Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan dan organ tubuh lain (kecuali otak) dan menimbulkan kecacatan. Meskipun tergolong ke dalam penyakit menular, kusta merupakan penyakit yang tidak mudah menular, karena diperlukan kontak erat secara terus menerus dan dalam waktu yang lama dengan penderita. Penyakit kusta sebenarnya dapat disembuhkan tanpa cacat bila penderita ditemukan dan diobati secara dini.

Kenyataannya, penyakit kusta seringkali ditemukan terlambat dan sudah dalam keadaan cacat yang terlihat. Pada dasarnya, terdapat 2 tingkatan kecacatan penyakit kusta saat ditemukan, yaitu tingkat I dan II. Kecacatan tingkat I adalah cacat yang belum terlihat atau belum ada perubahan pada anatominya. Sementara kecacatan tingkat II adalah sudah terjadi perubahan yang nampak pada anatomi penderita kusta.

Kecacatan yang nampak pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan leprophobia. Meskipun penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup.

Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Survei di lima Kabupaten di Indonesia (Kab. Subang, Malang, Gresik, Gowa, dan Bone) pada tahun 2007 memotret diskriminasi yang dialami penderita kusta  baik di lingkungan keluarga, maupun di sarana dan pelayanan publik, seperti dipisahkan dari pasangan (diceraikan), dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan, ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya.

Stigma dan diskriminasi seringkali menghambat penemuan kasus kusta secara dini, pengobatan pada penderita, serta penanganan permasalahan medis yang dialami oleh penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta. Karena itu, dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi, dibutuhkan motivasi dan komitmen yang kuat baik dari penderita maupun masyarakat.

Penderita diharapkan dapat mengubah pola pikirnya, sehingga dapat berdaya untuk menolong diri mereka sendiri, bahkan orang lain. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengubah pandangannya serta membantu penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) agar tetap sehat dan mampu menjaga kesehatan secara mandiri.

Top Ad 728x90