Rusdi Rosman: Sulit Dikatakan Ada Sabotase Jalur Distribusi

Kasus seperti Buvanest Spinal itu seharusnya bisa dicegah seandainya pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pemeriksaan rutin ke lini produksi. Lembaga tersebut sejauh ini lebih fokus pada pengawasan produk yang sudah beredar (end product) saja.

Rusdi Rosman: Sulit Dikatakan Ada Sabotase Jalur Distribusi
Kasus seperti Buvanest Spinal itu seharusnya bisa dicegah seandainya pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pemeriksaan rutin ke lini produksi. Sejauh BPOM lebih fokus pada pengawasan produk yang sudah beredar saja.

”Memang tidak ada ketentuannya sih yang menyatakan BPOM harus rutin mengecek ke lini produksi. Tapi, BPOM semestinya bisa meng-create itu, misalnya dibuat berapa kali dalam berapa lama. Menurut saya, dua tahun sekali mungkin cukup,” ujarnya.


BPOM sejauh ini hanya memeriksa lini produksi pada saat sebuah perusahaan ingin mengajukan izin untuk memproduksi sebuah produk farmasi. Setelah BPOM menyatakan layak dan produksi berjalan, pengecekan lagi sangat minim dilakukan.

Di hulu alias di bagian produksi, kata Rusdi, sangat minim kemungkinan kesalahan isi dan kemasan produk farmasi terjadi. Begitu juga di hilir, mulai distribusi sampai ke tangan pengguna (end user), terutama dalam kasus ini penggunanya adalah rumah sakit. ”Sangat sulit jika katakan ada sabotase di distribusinya dengan berbagai alasan. Misalnya, persaingan bisnis, begitu. Sulit sekali bahkan bisa dibilang mustahil. Sejauh ini belum pernah terjadi seperti itu,” ulasnya.


Terlebih, kata Rusdi, rata-rata proses distribusi produk farmasi dilakukan perusahaan terafiliasi, yakni anak usaha perusahaan produsen tersebut sendiri.

Di luar itu, Rusdi mengakui bahwa persaingan di industri farmasi Indonesia memang sangat ketat. Ada 209 produsen, sekitar 7 ribu apotek, dan 4 ribu distributor. ”Kalau di tingkat hulu, persaingannya bergantung jenis obatnya apa. Untuk produk nongenerik, Indonesia memproduksi obat-obat yang sudah paten. Jadi, belum R and D (research and development) sendiri,” imbuhnya.

Maka, persaingannya bergantung pada item obat apa dan berapa banyak produsen di Indonesia yang mampu membuat obat paten itu. ”Misalnya, obat A patennya itu sudah bisa dikopi sebanyak 200 produsen di sini. Maka, persaingannya ketat. Lalu, obat B, patennya hanya bisa dikopi 10 produsen saja, maka persaingannya belum ketat. Jadi relatif,” ucapnya.

Rusdi berharap kasus langka tersebut tidak terulang. Karena itu, pihaknya meminta BPOM memberikan perhatian dan pelajaran lebih kepada para pelaku industri farmasi agar lebih menaati CPOB. ”Keterlibatan pemerintah sangat penting. Lakukanlah pemeriksaan lebih rutin,” sarannya.


Simak juga: 
Semua Pihak Bicara Soal Buvanest Spinal, Apa Kata Mereka?
 

Top Ad 728x90