Anthony Ch Sunarjo, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia (2007 - 2011)
Komoditi obat yang strategis menempatkan peran pengusaha sebagai stakeholder dan sejajar dengan para pelaku yang terlibat dalam proses pelayanan kesehatan lainnya, baik institusi rumah sakit, profesi dokter, apoteker dan lainnya.
Oleh karena itu 35 tahun lalu Pemerintah RI telah berpikir jauh ke depan dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 222/Kab/BVII/69, 3 Oktober 1969 yang kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DirJen POM No.HK.00.06.2.02479, 19 September 1996.
Oleh karena itu 35 tahun lalu Pemerintah RI telah berpikir jauh ke depan dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 222/Kab/BVII/69, 3 Oktober 1969 yang kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DirJen POM No.HK.00.06.2.02479, 19 September 1996.
Melalui kedua ketentuan di atas, pemerintah telah menetapkan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) sebagai satu-satunya asosiasi perusahaan bidang farmasi, artinya menempatkan obat sebagai komoditi strategis yang memerlukan perhatian ekstra dan menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang wajib terjaga ketersediaan dan keterjangkauannya. Oleh karena secara langsung terkait dengan ketahananan bangsa, tentunya obat bukanlah komoditi biasa. Dengan demikian para pebisnis farmasi harus mempunyai integritas dalam menghargai produknya terkait safety, efficacy dan quality.
Sebagai regulator, kreator sekaligus motivator, peran Pemerintah dalam hal ini Kementeriam Kesehatan (Kemenkes) seharusnya fokus pada tugas pelayanan kesehatan, artinya mengkoordinasi seluruh unsur yang terlibat dalam proses pelayanan kesehatan sehingga berjalan dengan baik. Ukuran keberhasilannya adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat serta menurunnya angka mortalitas.
Jadi semakin kreatif program pelayanan kesehatan dan semakin baik motivasi Kemenkes melakukan pembinaan seluruh stakeholder bidang pelayanan kesehatan, maka semakin mudah rakyat memperoleh akses pelayanan kesehatan. Dampaknya semakin positif bagi ketahanan bangsa. Namun sebaliknya bila pelayanan kesehatan lemah maka peran pemerintah sebagai regulator diindikasikan lemah pula, dengan kata lain mencerminkan pula lemahnya ketahanan bangsa kita.
Bila kita tinjau lebih mendalam pelaksanaan pelayanan kesehatan melalui rangkaian proses yang cukup panjang. Mulai dari registrasi, perawatan di rumah sakit, biaya laboratorium, kegiatan operasi, jasa dokter, jasa apoteker sampai pemakaian obat. Sederet proses itu masing-masing harus dibayar oleh pasien (out of pocket) dengan biaya yang tidak murah. Kita bisa melihat bahwa pemakaian obat merupakan rangkaian terakhir dan bagian kecil dalam sistem pelayanan kesehatan. Bila kita bandingkan masing-masing biaya proses tersebut, saya pikir sungguh tidak beralasan bila pada akhirnya harga obat dituduh sebagai satu-satunya penyumbang mahalnya biaya kesehatan.
Terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu (2004) memulai fenomena baru. Dari awal terbentuknya kabinet sampai saat ini upaya Depkes hanya pada seputar harga obat. Hingga tahun 2007 slogan “obat mahal, tidak terjangkau” seolah menjadi senjata untuk membuka akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada 3 Agustus 2006 yang lalu, Menkes resmi menurunkan harga 85 item Obat Generik Berlogo (OGB) 5% - 30%. Keputusan penurunan harga tersebut diatur dalam SK Menkes No. 487/Menkes/SK/VII/2006 sebagai pengganti SK Menkes No. 336/Menkes/SK/V/2006 tentang Harga Obat Generik yang mengatur harga 386 item obat generik yang ada saat itu.
Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa yang dilakukan oleh Kemenkes saat ini jauh dari tugas utamanya. Kenyataan yang terjadi saat ini akses masyarakat pada pelayanan kesehatan justru terhambat. Karena penurunan harga obat generik berdampak pada kesulitan industri farmasi dalam memproduksinya, akhirnya ketersediaan produk itu menjadi semakin sulit. Kenyataan in menunjukan kegagalan pemerintah dalam melakukan penataan sistem pelayanan kesehatan masyarakat.
Dari sederet aksi pemerintah selama ini menunjukan kecenderungan menyudutkan harga obat sebagai biang keladi masalah kesehatan. Saya berpikir bahwa pemerintah telah memicu munculnya dimensi politik pada obat, dengan menggunakan penurunan harga obat OGB menjadi political commodity.
Memang cukup mudah untuk mencari popularitas dengan mengumbar isu mahalnya harga obat, manakala dikaitkan dengan kemampuan ekonomi rakyat kecil. Program yang tidak pernah usang dan seolah mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat.
Memang cukup mudah untuk mencari popularitas dengan mengumbar isu mahalnya harga obat, manakala dikaitkan dengan kemampuan ekonomi rakyat kecil. Program yang tidak pernah usang dan seolah mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat.
Di sini jelas bahwa masyarakat sedang diarahkan berpikir pragmatis sehingga sulit memahami secara mendalam posisi obat di dalam rangkaian proses pelayanan kesehatan yang panjang dan mahal itu.
Melihat kenyataan yang terjadi, saya yakin sebagian besar perusahaan farmasi akan mengalami kesulitan.Tekanan politik di bidang farmasi akan semakin tinggi terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Kembali saya menyampaikan kepada seluruh perusahaan farmasi nasional memikirkan upaya yang strategis untuk mengantisipasi situasi yang semakin rumit.
Saya pikir perlu segera dilakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dengan tujuan yang lebih makro dalam menuntaskan masalah pelayanan kesehatan. Oleh karena masalah pelayanan kesehatan tidak hanya bertumpu terhadap selesainya masalah harga obat. Untuk itu diperlukan langkah yang lebih konkrit dengan melakukan pendekatan secara politis melalui wakil rakyat dan lembaga pemerintah lainnya untuk membahasnya secara bersama.
Dengan harapan pemerintah memperoleh informasi yang lebih seimbang sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih positif, baik bagi bidang usaha farmasi maupun masyarakat luas. (erw)