Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (1)

Ahaditomo, Meiji Indonesia
Sepanjang 3 dekade perjalanan bisnis bidang farmasi kita sejak diterbitkannya SK Menteri tentang pengesahan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) hingga saat ini, kita masih belum punya suatu konstruksi yang melandasi penangaan seluruh bidang, baik Bidang Industri, Distribusi, Apotek dan Toko Obat. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa sejak awal kita telah melakukan suatu proses yang keliru dan beresiko kegagalan dalam pengelolaan obat di Indonesia. 

Menyikapi pidato Presiden pada Munas XIII GP Farmasi 2007, sebaiknya kita tidak terperangkap oleh pikiran Presiden yang belum tentu tepat. Karena bidang usaha farmasi yang high regulation, high technology ini sangat rumit, dan saya yakin hanya pelaku didalamnya yang memahami permasalahan dengan benar. Kita sebaiknya tidak berasumsi bahwa Presiden memahami kerumitan dari permasalahan yang ada. Kalau pun Presiden saat ini menanyakannya, kita tidak mungkin memberi jawaban sedemikian rupa, dan berharap permasalahan dapat langsung diselesaikan?

Melakukan tanya jawab seperti itu bisa saja dilakukan, namun yang seperti ini, hanya menjadi suatu premis, tapi belum tentu suatu hipotesis. Jadi artinya permasalahan yang terjadi di bidang obat tidak dapat selesai begitu saja dengan tanya jawab.
 
Menurut saya pertanyaan yang harus terjawab adalah mengapa terjadi banyak sekali permasalahan yang tidak kunjung selesai di bidang usaha Farmasi Indonesia? Bagaimana sebenarnya penangannanya? Tentunya kita juga perlu mengetahui bagaimana penanganan bidang farmasi di negara-negara lain? Apa mungkin kita bisa lakukan seperti di Philipina, Malaysia, Singapore yang memiliki konsep penanganan obatnya baik.Tentu untuk menjawab bagaimana pengelolaan obat berskala nasional diperlukan suatu model yang efektif. 

Artinya ketika Presiden menanyakan bagaimana mengatur soal obat nasional, sudah seharusnya Industri Farmasi Nasional punya pemikiran tentang konsep obat di Indonesia. Kemudian disampaikan dalam melalui suatu konggres yang dapat ditindaklanjuti. Bukan dengan menjawab pertanyaan Presiden, sementara kita sendiri belum punya konsep yang jelas, yang aplikatif. Jadi sebenarnya kita belum siap untuk menjawab permasalahan yang ada.

Saya setuju dengan Pak Anthony, bahwa harus dilakukan pengkajian yang ilmiah dan mendalam dan pendekatan secara politis untuk meng-golkan kepentingan semua pihak. Saya melihat bahwa pemerintah juga belum siap dengan konsep penanganan obat nasional. Dengan demikian diperlukan masukan-masukan dari para stakeholder termasuk dari pelaku bisnis, secara proaktif.

Pada awalnya ada baiknya kita mulai memetakan siapa saja yang terlibat dalam konsep obat nasional ini. Saya lihat terdapat tiga komponen utama yang terkait langsung didalamnya yakni pemerintah; pelaku usaha/industri farmasi, dan masyarakat. Ketiga komponen tersebut bergantung satu sama lain. Misalnya waktu rakyat mengeluh tentang obat, keluhan itu disampaikan kepada pemerintah, pemerintah mencarikan solusinya bersama pelaku bisnis.

Dalam hal ini sebenarnya pemerintah tidak perlu berlagak pintar dan dengan kebijakannya menganggap langkah yang dilakukan sudah benar. Menurut saya terlalu beresiko bila tidak mengajak pelaku bisnis dalam membahas permasalahan yang ada. Setiap komponen dipertemukan, bahkan komponen pendukung yang secara tak langsung terlibat harus diajak duduk bersama mencari pemecahannya segamblang mungkin.

Melihat permasalahan pengadaan obat bagi 70 juta rakyat miskin, sebenarnya tidak perlu membuat kebijakan yang mencakup secara general. Sebaiknya kita harus fokus pada penanganan 70 juta penduduk itu saja, yang selebihnya dikelola dengan mekanisme pasar yang ada. Sehingga level atas dengan level bawah tidak campur aduk menjadi satu. Masalahnya tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan yang bersifat general, yang justru dapat menimbulkan masalah yang semakin banyak dan tidak tahu mana yang harus diselesaikan lebih dulu.

Saat ini seharusnya pemerintah secara bijaksana mengakui bahwa pemerintah mengalami kebuntuan dalam menangani bidang obat, dan mengajak GP Farmasi untuk membahasnya dengan memberi masukan yang baik. Sebagaimana statement GP Farmasi yang mengatakan bahwa pemerintah memiliki mitra yang harus ikut “berkeringat” memikirkan kesulitan yang terjadi.

Sebagai pelaku usaha bidang industri farmasi tentu saja praktek bisnis sudah menjadi kehidupan sehari-hari yang sampai saat ini berlangsung, yakni usaha pengadaan obat. Untuk itulah GP FARMASI harus memberi masukan apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan membantu melalui Depkes apa yang perlu berdasarkan peraturan perundangan yang sudah ada.

Sementara dari dalam, GP Farmasi harus segera lakukan tindakan-tindakan tegas kepada anggotanya yang melakukan penyimpangan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena terlalu banyak data penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik di Industri, Distribusi, Apotek, dan Toko Obat. Dari masalah obat yang kualitasnya berganda, masalah harga, hingga peredaran obat di luar jalur distribusi yang ditentukan.

Jika tugas dan peran GP Farmasi sudah jelas, yakni menyediaan obat yang baik bagi masyarakat. Untuk itu perlu disusun suatu konsep yang menyeluruh baik konsepsi distribusi, konsepsi industri, konsepsi apoteker, konsepsi toko obat dengan penanganan masalah, pengamanan produk. Semua dilakukan dengan metode yang sudah dikaji secara mendalam sehingga memunculkan suatu model yang aplikatif, sistematis dalam time frame yang ditetapkan.

Sehingga Pemerintah dan GP Farmasi bisa memastikan kepada masyarakat bahwa dalam tempo sekian tahun Indonesia sudah swasembada obat, dengan sumber daya alam sebagai basis. Fundamental masa depan Indonesia diletakkan oleh Presiden hari ini, misalnya demikian.

| next page |

Top Ad 728x90