Pemerintah meminta Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia
(GPFI) memberikan masukan yang lebih konkrit dengan konteks peran industri dan
pelaku usaha farmasi, saya melihat bahwa Industri merupakan satu peran
tersendiri, sedangkan Distributor, Apotek dan Toko Obat menjadi kelompok dengan
perannya sebagai pelaku usaha farmasi.
Oleh karena Pemerintah telah membuka pintu untuk diberi
masukan, tentunya diperlukan kesiapan GPFI untuk melakukan pendekatan secara
proaktif, mengidentifikasi permasalahan yang ada dan menyusun suatu konsep yang
matang baik dipandang dari aspek ekonomi dan sosial, karena kedua aspek
tersebut yang menjadi fokusnya.
Simak juga:
- 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
- Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014
Secara umum sangat diperlukan keterlibatan pihak industri, apalagi Presiden pada MUNAS GPFI 2007 lalu mengatakan bahwa terdapat tiga program besar pemerintah yakni pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur untuk daerah tertinggal. Pada prinsipnya dalam setiap departemen/bidang itu memiliki stakeholder terkait satu dengan yang lainnya, yang harus secara terpadu bekerjasama mengatasi permasalahan yang ada.
Dalam menyusun suatu kebijakan bidang kesehatan nasional, salah satu stakeholder dari Kementerian Kesehatan adalah Industri Farmasi yang tergabung dalam asosiasi, GP Farmasi Indonesia.
Sebagai stakeholder pemerintah, GPFI sudah semestinya merupakan bagian yang terpadu mengetahui rencana-rencana pemerintah dalam menyusun program-program Kemenkes. Artinya keberadaan industri farmasi dalam pengembangan sistem kesehatan nasional memiliki kontribusi yang sangat penting. Karena itu betapa beresikonya apabila industri farmasi tidak dilibatkan dalam penyusunan konstruksi Sistem Kesehatan Nasional yang skalanya besar ini.
Misalnya masalah jumlah pengguna Asuransi Kesehatan/Aseskin yang mencapai 76 juta orang, dengan subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebesar Rp. 5.000 per orang per bulan, mencapai jumlah Rp. 4,5 triliun per tahun. Bila sepertiga jumlah itu adalah komponen obat, artinya jumlahnya Rp.1,5 triliun harus dialokasikan untuk belanja obat. Kalau rata-rata per tablet obat Rp. 300 berarti program Aseskin itu harus tersedia sebanyak 5 milyar tablet, suatu jumlah yang sangat besar.
Karena kita bicara tentang suatu sistem yang besar yang memerlukan begitu banyak kapasitas tambahan dalam jumlah yang besar, pemerintah harus sadar bahwa kalau tidak dibangun konstruksi yang kuat, dengan volume sebesar itu tentu beresiko tinggi dan berbahaya.
Jadi sangat jelas, di dalam setiap program pemerintah dalam bidang kesehatan, apalagi menyusun suatu konsep bagi kesehatan nasional, industri farmasi sudah semestinya diberi kepercayaan didalamnya agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi hal-hal yang kontra produktif.
Regulasi di Bidang Industri
Simak juga:
- 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
- Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014
Secara umum sangat diperlukan keterlibatan pihak industri, apalagi Presiden pada MUNAS GPFI 2007 lalu mengatakan bahwa terdapat tiga program besar pemerintah yakni pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur untuk daerah tertinggal. Pada prinsipnya dalam setiap departemen/bidang itu memiliki stakeholder terkait satu dengan yang lainnya, yang harus secara terpadu bekerjasama mengatasi permasalahan yang ada.
Dalam menyusun suatu kebijakan bidang kesehatan nasional, salah satu stakeholder dari Kementerian Kesehatan adalah Industri Farmasi yang tergabung dalam asosiasi, GP Farmasi Indonesia.
Sebagai stakeholder pemerintah, GPFI sudah semestinya merupakan bagian yang terpadu mengetahui rencana-rencana pemerintah dalam menyusun program-program Kemenkes. Artinya keberadaan industri farmasi dalam pengembangan sistem kesehatan nasional memiliki kontribusi yang sangat penting. Karena itu betapa beresikonya apabila industri farmasi tidak dilibatkan dalam penyusunan konstruksi Sistem Kesehatan Nasional yang skalanya besar ini.
Misalnya masalah jumlah pengguna Asuransi Kesehatan/Aseskin yang mencapai 76 juta orang, dengan subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebesar Rp. 5.000 per orang per bulan, mencapai jumlah Rp. 4,5 triliun per tahun. Bila sepertiga jumlah itu adalah komponen obat, artinya jumlahnya Rp.1,5 triliun harus dialokasikan untuk belanja obat. Kalau rata-rata per tablet obat Rp. 300 berarti program Aseskin itu harus tersedia sebanyak 5 milyar tablet, suatu jumlah yang sangat besar.
Karena kita bicara tentang suatu sistem yang besar yang memerlukan begitu banyak kapasitas tambahan dalam jumlah yang besar, pemerintah harus sadar bahwa kalau tidak dibangun konstruksi yang kuat, dengan volume sebesar itu tentu beresiko tinggi dan berbahaya.
Jadi sangat jelas, di dalam setiap program pemerintah dalam bidang kesehatan, apalagi menyusun suatu konsep bagi kesehatan nasional, industri farmasi sudah semestinya diberi kepercayaan didalamnya agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi hal-hal yang kontra produktif.
Regulasi di Bidang Industri
Terkait dengan regulasi bidang farmasi, tentunya visinya
sudah harus jelas. Karena visi yang dirumuskan secara nasional pasti terkait
dengan pasar bebas di kawasan regional. Namun benarkah pemerintah Indonesia
mendukung pasar terbuka di kawasan regional ini. Kalau ini benar seharusnya ada
ketetapan bahwa bidang farmasi harus meningkatkan industrinya guna memenuhi
standar yang diperlukan di pasar ASEAN. Sayangnya sampai saat ini, pembahasan
AFTA bidang farmasi 2008 yang terdengar hanya aspek teknis, seperti GMP atau
ACCSQ.
Di pasar ASEAN, Indonesia merupakan pasar terbesar, semua negara-negara seperti Cina, India, Korea dan yang lainnya, mengincar pasar domestik. Kalau kita sudah membuka pintu, maka secara menyeluruh harus sudah benar-benar siap dengan segala aspek yang terkait di dalamnya. Kita harus melihat kemampuan secara ekonomi, seperti efesiensi, penguasaan teknologi, kemampuan bersaing, kompetensi sdm, infrastruktur dsb.
Kalau pada kenyataannya kita tidak menyiapkan diri, tidak mungkin kita survive dalam kompetisi di pasar regional, bahkan di pasar domestik sendiri. Yang saya tangkap dari pemerintah sangat memerlukan usulan dari asosiasi (GPFI) yang lebih konkrit. Tidak hanya aspek sosial saja; tetapi semua aspek dan permasalahan yang terdapat didalamnya.
Yang terpenting framework-nya harus dalam konteks yang jelas. Misalnya, kalau kita sudah menetapkan untuk masuk pasar ASEAN, harus dalam suatu grand design yang pasti. Agar kita membidik ke target di 'arena' yang jelas pula.
Kejelasan ini penting karena berpengaruh pada berbagai aspek di bidang industri. Yang pertama adalah Investasi. Karena melibatkan modal besar untuk membangun pabrik atau mengembangkan fasilitas, mesin-mesin yang sesuai kapasitas pasar.
Investasi yang sangat besar tentu harus dirancang dan dilaksanakan dalam sekali kerja, tidak bisa setiap saat berubah. Karena melibatkan besarnya pinjaman bank; pengembangan keahlian sdm yang semuanya berstandar ASEAN.
Terkait dengan registrasi seperti ACTD dan ACTR itu menyangkut bagaimana kita memiliki dokumen registrasi yang memenuhi standar Harmonisasi ASEAN. Untuk itu pemerintah sebaiknya mendorong tercapainya standar yang tegas untuk masuk ke pasar regional. Artinya pemerintah harus memastikan bahwa persyaratan tersebut dilaksanakan oleh industri dengan lebih tegas (sedikit memaksa), oleh karena itu merupakan persyaratan mutlak.
Pertanyaan yang perlu memperoleh jawabab adalah Persiapan Dokumen Registrasi harus ditetapkan dengan jelas sesuai tujuan pelaksanaan ekspor yang memberi kepastian diterimanya produk industri nasional oleh negara tujuan ekspor.
Persiapan yang dilakukan untuk ekspor ini harus dilakukan dalam sekali kerja, karena menyusun dokumen formulasi dengan semua dokumen registrasi yang waktunya 1-2 tahun. Tapi kalau tidak dipersiapkan dengan benar, pada waktu mendaftar ke negara yang dituju ditolak. Akhirnya butuh waktu lagi serta biaya yang tidak kecil untuk mengulangnya.
Pengembangan industri farmasi tentu juga terkait dengan industri pendukungnya, seperti industri kemasan. Saya ambil contoh pabrik gelas untuk kemasan obat (botol) yang ketersediaanya masih tsering mengalami hambatan. Hal-hal sepeti ini harus dilakukan pendekatan dengan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Perindustrian untuk mendorongnya agar ketersediaanya semakin baik, berkualitas dan konsisten.
Bicara mengenai supply system farmasi di Indonesia yang selama ini juga dituding sebagai pemicu tingginya harga obat. Tentu persepsi yang kurang tepat ini perlu segera diluruskan , karena itu tidak mutlak benar. Kita menyadari bahwa rantai distribusi yang panjang membuat harga obat semakin tinggi. Tentu saja diperlukan kerjasama dengan perusahaan distribusi untuk memastikan efisiensinya. Untuk itu diperlukan alternatif-alternatif konsep distribusi obat yang lebih jelas dan aplikatif.
Secara keseluruhan untuk menjawab keinginan pemerintah, harus secepatnya kita menyusun suatu konsep yang strategis untuk setiap aspek yang terkait di bidang masing-masing (industri, distribusi, apotek dan toko obat). Kedua kita harus mempersiapkan suatu forum komunikasi dengan pihak-pihak pemerintah, untuk menyampaikan usulan dari bidang usaha farmasi.
Dengan demikian setiap masukan yang kita usulkan dapat lebih efektif dan memberi kontribusi bagi setiap program pemerintah, tanpa harus melalui pro-kontra dalam pelaksanaannya. (erw)
Di pasar ASEAN, Indonesia merupakan pasar terbesar, semua negara-negara seperti Cina, India, Korea dan yang lainnya, mengincar pasar domestik. Kalau kita sudah membuka pintu, maka secara menyeluruh harus sudah benar-benar siap dengan segala aspek yang terkait di dalamnya. Kita harus melihat kemampuan secara ekonomi, seperti efesiensi, penguasaan teknologi, kemampuan bersaing, kompetensi sdm, infrastruktur dsb.
Kalau pada kenyataannya kita tidak menyiapkan diri, tidak mungkin kita survive dalam kompetisi di pasar regional, bahkan di pasar domestik sendiri. Yang saya tangkap dari pemerintah sangat memerlukan usulan dari asosiasi (GPFI) yang lebih konkrit. Tidak hanya aspek sosial saja; tetapi semua aspek dan permasalahan yang terdapat didalamnya.
Yang terpenting framework-nya harus dalam konteks yang jelas. Misalnya, kalau kita sudah menetapkan untuk masuk pasar ASEAN, harus dalam suatu grand design yang pasti. Agar kita membidik ke target di 'arena' yang jelas pula.
Kejelasan ini penting karena berpengaruh pada berbagai aspek di bidang industri. Yang pertama adalah Investasi. Karena melibatkan modal besar untuk membangun pabrik atau mengembangkan fasilitas, mesin-mesin yang sesuai kapasitas pasar.
Investasi yang sangat besar tentu harus dirancang dan dilaksanakan dalam sekali kerja, tidak bisa setiap saat berubah. Karena melibatkan besarnya pinjaman bank; pengembangan keahlian sdm yang semuanya berstandar ASEAN.
Terkait dengan registrasi seperti ACTD dan ACTR itu menyangkut bagaimana kita memiliki dokumen registrasi yang memenuhi standar Harmonisasi ASEAN. Untuk itu pemerintah sebaiknya mendorong tercapainya standar yang tegas untuk masuk ke pasar regional. Artinya pemerintah harus memastikan bahwa persyaratan tersebut dilaksanakan oleh industri dengan lebih tegas (sedikit memaksa), oleh karena itu merupakan persyaratan mutlak.
Pertanyaan yang perlu memperoleh jawabab adalah Persiapan Dokumen Registrasi harus ditetapkan dengan jelas sesuai tujuan pelaksanaan ekspor yang memberi kepastian diterimanya produk industri nasional oleh negara tujuan ekspor.
Persiapan yang dilakukan untuk ekspor ini harus dilakukan dalam sekali kerja, karena menyusun dokumen formulasi dengan semua dokumen registrasi yang waktunya 1-2 tahun. Tapi kalau tidak dipersiapkan dengan benar, pada waktu mendaftar ke negara yang dituju ditolak. Akhirnya butuh waktu lagi serta biaya yang tidak kecil untuk mengulangnya.
Pengembangan industri farmasi tentu juga terkait dengan industri pendukungnya, seperti industri kemasan. Saya ambil contoh pabrik gelas untuk kemasan obat (botol) yang ketersediaanya masih tsering mengalami hambatan. Hal-hal sepeti ini harus dilakukan pendekatan dengan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Perindustrian untuk mendorongnya agar ketersediaanya semakin baik, berkualitas dan konsisten.
Bicara mengenai supply system farmasi di Indonesia yang selama ini juga dituding sebagai pemicu tingginya harga obat. Tentu persepsi yang kurang tepat ini perlu segera diluruskan , karena itu tidak mutlak benar. Kita menyadari bahwa rantai distribusi yang panjang membuat harga obat semakin tinggi. Tentu saja diperlukan kerjasama dengan perusahaan distribusi untuk memastikan efisiensinya. Untuk itu diperlukan alternatif-alternatif konsep distribusi obat yang lebih jelas dan aplikatif.
Secara keseluruhan untuk menjawab keinginan pemerintah, harus secepatnya kita menyusun suatu konsep yang strategis untuk setiap aspek yang terkait di bidang masing-masing (industri, distribusi, apotek dan toko obat). Kedua kita harus mempersiapkan suatu forum komunikasi dengan pihak-pihak pemerintah, untuk menyampaikan usulan dari bidang usaha farmasi.
Dengan demikian setiap masukan yang kita usulkan dapat lebih efektif dan memberi kontribusi bagi setiap program pemerintah, tanpa harus melalui pro-kontra dalam pelaksanaannya. (erw)