Pharmaceutical Distribution Practice
Distribusi
belum efisien, pertama jumlah pasarnya kecil dibagi oleh banyak sekali pelaku
distribusi. Kedua standar distribusi belum didefinisikan dengan baik. Saat ini
banyak dilakukan oleh perusahaan/distributor obat lokal bukan konsep distribusi,
tapi lebih kepada konsep trading. Karena konsepsi distribusi berbeda dengan
konsepsi trade, tentu ini sangat berpengaruh pada harga obat.
Seharusnya
letak geografis Indonesia bukan menjadi hambatan kita untuk mendorong
efisiensi. Kita bisa melihat lebih dekat bahwa jumlah populasi di Jawa dan
Sumatra hampir mencapai 75 - 80 persen dari populasi di Indonesia sisanya
sekitar 20 - 25% tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan
Papua.
Sepanjang
distribusinya baik, soal efisiensi di Jawa dan Sumatra sebenarnya dapat
dilakukan secara efisien. Di luar Jawa dan Sumatra harus disediakan fasilitas
layanan ekslusif karena hanya memiliki sekitar 2,5% saja dari kebutuhan obat
nasional. Jadi perlu jalur khusus jangan buat jalur baru dari Jawa sampai Papua
dan seterusnya.
Memang
kalau kita bicara GDP, tentu banyak yang keberatan akan mematikan kelompok distributor
kecil yang dinilai kurang memenuhi syarat. Akhirnya bicara biaya obat yang
murah, tidak dapat dicapai tujuanya karena ada biaya distribusi yang harus
dibayar mahal. Konsep distribusi harus kita standarkan dengan standar baru.
Ambil
contoh sistem distribusi perusahaan minuman seperti Aqua dan Cocacola
berapa jumlah distributor di pasar loka yang efisien. Misalkan, mereka
menerapkan distribusi hanya dalam batas 1.000 km, setiap kali melewati 1.000
dibatasi. Begitu juga dengan distribusi di industri surat kabar, mereka bisa
melakukan data dalam bentuk digital ke percetakan di luar pulau untuk melakukan
cetak jarak jauh. Karena hal ini dinilai sangat efisiensi biaya dan efektif
untuk tranformasi berita aktual.
Contoh tersebut menjadi alternatif kita untuk membuat suatu konsep distribusi yang baik. Termasuk persyaratan tentang distribusi pabrik dan pergudangan. Untuk memasok obat esensial yang merata, pabriknya tidak bisa hanya di Jakarta saja, karena kita menghadapi masalah biaya transportasi yang mahal.
Barangkali
juga harus ditetapkan standar distribusi dalam hal kemampuan keuangan
perusahaan dengan membagi 3 level group. Misalnya, standar untuk level A adalah
perusahaan dengan kemampuan 1 triliun yang mungkin margin sebesar 7,5 persen
saja sudah mencukupi untuk kelangsungan bisnis. Begitu juga dengan level di
bawahnya B dan C harus dibuat standarnya berapa biaya yang masuk akal.
Dalam hal
ini dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi prosesnya dan
ikut bertanggung jawab untuk merealisasikannya, misalnya dalam tempo sekian
tahun tercapai praktek distribusi yang baik. Standar distribusi yang baik harus
dilaksanakan untuk menjamin mutu obat.
Untuk itu
seharusnya pemerintah dan GP Farmasi harus mengkalkulasi kebutuhan obat
esensial secara nasional untuk 5-10 tahun kedepan, sesuai dengan tingkat
pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, meningkatnya jumlah
penyakit, dan sebagainya. Baru kemudian ditetapkan skala industrinya untuk
memasok kebutuhan obat esensial ini dan ditetapkan melalui kompetisi yang sehat
tentang sarana-sarana produksi.
Dengan
demikian, Distribution of Chart tetap sesuai berdasarkan populasinya,
bukan mensentralisasi distribusi. Oleh karena itu perusahaan/distributor yang
besar harus mempunyai standar yang jelas guna menjamin pasokan obat, memiliki
gudang sendiri dan segala sesuatu yang berstandar praktik distribusi yang
efektif dan efisien.
Retail Farmasi
Masyarakat
Indonesia sama sekali tidak menikmati pelayanaan obat yang baik, sehingga
masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang bahaya terhadap kesehatannya.
Meskipun ini relatif umum terjadi pada negara-negara yang sama dengan Indonesia
satu-satunya. Namun ini jelas melanggar hak asasi manusia.
Oleh karena masyarakat pemakai obat di Indonesia sama sekali tidak terlindungi dari resiko berbahaya penggunaan obat. Salah satu masalahnya oleh karena selama ini banyak terjadi perbedaan penerapan peraturan antara Dirjen Pelayanan Farmasi Kemterian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan di Kebupaten. Padahal dalam penerapan peraturan pelayanan kesehatan juga harus tegas, dan seharusnya tidak ada perbedaan antara pusat dan daerah.
Oleh karena masyarakat pemakai obat di Indonesia sama sekali tidak terlindungi dari resiko berbahaya penggunaan obat. Salah satu masalahnya oleh karena selama ini banyak terjadi perbedaan penerapan peraturan antara Dirjen Pelayanan Farmasi Kemterian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan di Kebupaten. Padahal dalam penerapan peraturan pelayanan kesehatan juga harus tegas, dan seharusnya tidak ada perbedaan antara pusat dan daerah.
Dalam hal
ini pemerintah sebaiknya tetap menggunakan peraturan pelayanan kesehatan yang
sudah ada, hanya dalam implementasinya dibutuhkan profesional-profesional dan
handal untuk menerapkannya di lapangan (daerah). Untuk itu sebaiknya pemerintah
harus membuat suatu konsep (konstruksi) baru dan menyeluruh melibatkan tenaga-tenaga
kesehatan di daerah agar sistem ini bisa berlangsung di semua tempat.
Konstruksi
pelayanan kesehatan sebaiknya dirancang secara menyeluruh dan dapat
diaplikasikan di tingkat daerah. Sehingga manakala ada kebutuhan-kebutuhan
tertentu seperti pelaksanaan program-program pemerintah misalnya Keluarga
Berencana, Askeskin, atau keadaan bencana, konstruksi ini langsung dapat
digunakan secara efektif. Karena di setiap daerah sudah tersedia tenaga
kesehatan yang siap bekerja, yakni tenaga apoteker yang paham penggunaan obat.
Mereka menjadi ujung tombak, tinggal melakukan koordinasi di lapangan.
Dengan
demikian mata rantai distribusi di level retail lebih terorganisir, mudah
diawasi dan terkendali (tidak dibiarkan liar). Pemerintah harus membuat guideline
yang mencakup informasi aktual menganai populasi penduduk, pendapatan,
jangkauan, institusi, apotek dan lain-lain.