Membangun Industri Farmasi Nasional Perlu Konstruksi yang Kuat (3)


Pharmaceutical Distribution Practice
Distribusi belum efisien, pertama jumlah pasarnya kecil dibagi oleh banyak sekali pelaku distribusi. Kedua standar distribusi belum didefinisikan dengan baik. Saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan/distributor obat lokal bukan konsep distribusi, tapi lebih kepada konsep trading. Karena konsepsi distribusi berbeda dengan konsepsi trade, tentu ini sangat berpengaruh pada harga obat.

Seharusnya letak geografis Indonesia bukan menjadi hambatan kita untuk mendorong efisiensi. Kita bisa melihat lebih dekat bahwa jumlah populasi di Jawa dan Sumatra hampir mencapai 75 - 80 persen dari populasi di Indonesia sisanya sekitar 20 - 25% tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua.

Sepanjang distribusinya baik, soal efisiensi di Jawa dan Sumatra sebenarnya dapat dilakukan secara efisien. Di luar Jawa dan Sumatra harus disediakan fasilitas layanan ekslusif karena hanya memiliki sekitar 2,5% saja dari kebutuhan obat nasional. Jadi perlu jalur khusus jangan buat jalur baru dari Jawa sampai Papua dan seterusnya.

Memang kalau kita bicara GDP, tentu banyak yang keberatan akan mematikan kelompok distributor kecil yang dinilai kurang memenuhi syarat. Akhirnya bicara biaya obat yang murah, tidak dapat dicapai tujuanya karena ada biaya distribusi yang harus dibayar mahal. Konsep distribusi harus kita standarkan dengan standar baru.

Ambil contoh sistem distribusi perusahaan minuman seperti Aqua dan Cocacola berapa jumlah distributor di pasar loka yang efisien. Misalkan, mereka menerapkan distribusi hanya dalam batas 1.000 km, setiap kali melewati 1.000 dibatasi. Begitu juga dengan distribusi di industri surat kabar, mereka bisa melakukan data dalam bentuk digital ke percetakan di luar pulau untuk melakukan cetak jarak jauh. Karena hal ini dinilai sangat efisiensi biaya dan efektif untuk tranformasi berita aktual.

Contoh tersebut menjadi alternatif kita untuk membuat suatu konsep distribusi yang baik. Termasuk persyaratan tentang distribusi pabrik dan pergudangan. Untuk memasok obat esensial yang merata, pabriknya tidak bisa hanya di Jakarta saja, karena kita menghadapi masalah biaya transportasi yang mahal.

Barangkali juga harus ditetapkan standar distribusi dalam hal kemampuan keuangan perusahaan dengan membagi 3 level group. Misalnya, standar untuk level A adalah perusahaan dengan kemampuan 1 triliun yang mungkin margin sebesar 7,5 persen saja sudah mencukupi untuk kelangsungan bisnis. Begitu juga dengan level di bawahnya B dan C harus dibuat standarnya berapa biaya yang masuk akal.

Dalam hal ini dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi prosesnya dan ikut bertanggung jawab untuk merealisasikannya, misalnya dalam tempo sekian tahun tercapai praktek distribusi yang baik. Standar distribusi yang baik harus dilaksanakan untuk menjamin mutu obat.

Untuk itu seharusnya pemerintah dan GP Farmasi harus mengkalkulasi kebutuhan obat esensial secara nasional untuk 5-10 tahun kedepan, sesuai dengan tingkat pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, meningkatnya jumlah penyakit, dan sebagainya. Baru kemudian ditetapkan skala industrinya untuk memasok kebutuhan obat esensial ini dan ditetapkan melalui kompetisi yang sehat tentang sarana-sarana produksi.

Dengan demikian, Distribution of Chart tetap sesuai berdasarkan populasinya, bukan mensentralisasi distribusi. Oleh karena itu perusahaan/distributor yang besar harus mempunyai standar yang jelas guna menjamin pasokan obat, memiliki gudang sendiri dan segala sesuatu yang berstandar praktik distribusi yang efektif dan efisien.

Retail Farmasi
Masyarakat Indonesia sama sekali tidak menikmati pelayanaan obat yang baik, sehingga masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang bahaya terhadap kesehatannya. Meskipun ini relatif umum terjadi pada negara-negara yang sama dengan Indonesia satu-satunya. Namun ini jelas melanggar hak asasi manusia. 

Oleh karena masyarakat pemakai obat di Indonesia sama sekali tidak terlindungi dari resiko berbahaya penggunaan obat. Salah satu masalahnya oleh karena selama ini banyak terjadi perbedaan penerapan peraturan antara Dirjen Pelayanan Farmasi Kemterian Kesehatan dengan Dinas Kesehatan di Kebupaten. Padahal dalam penerapan peraturan pelayanan kesehatan juga harus tegas, dan seharusnya tidak ada perbedaan antara pusat dan daerah.

Dalam hal ini pemerintah sebaiknya tetap menggunakan peraturan pelayanan kesehatan yang sudah ada, hanya dalam implementasinya dibutuhkan profesional-profesional dan handal untuk menerapkannya di lapangan (daerah). Untuk itu sebaiknya pemerintah harus membuat suatu konsep (konstruksi) baru dan menyeluruh melibatkan tenaga-tenaga kesehatan di daerah agar sistem ini bisa berlangsung di semua tempat.

Konstruksi pelayanan kesehatan sebaiknya dirancang secara menyeluruh dan dapat diaplikasikan di tingkat daerah. Sehingga manakala ada kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti pelaksanaan program-program pemerintah misalnya Keluarga Berencana, Askeskin, atau keadaan bencana, konstruksi ini langsung dapat digunakan secara efektif. Karena di setiap daerah sudah tersedia tenaga kesehatan yang siap bekerja, yakni tenaga apoteker yang paham penggunaan obat. Mereka menjadi ujung tombak, tinggal melakukan koordinasi di lapangan.

Dengan demikian mata rantai distribusi di level retail lebih terorganisir, mudah diawasi dan terkendali (tidak dibiarkan liar). Pemerintah harus membuat guideline yang mencakup informasi aktual menganai populasi penduduk, pendapatan, jangkauan, institusi, apotek dan lain-lain.

previous  |  nextpage  |

Top Ad 728x90