Regulasi bagi Industri Farmasi Harus Jelas dan Tegas (1)

Dr. Boenyamin Setiawan, Kalbe Group
Karena Indonesia sebenarnya menganut sistem ekonomi liberal-kapitalis, maka pada dasarnya pemerintah tidak ikut mengatur ekonomi dan tidak campur tangan untuk menentukan harga. Saya melihat di sektor kesehatan masih ada anggapan bahwa obat itu mahal, tapi yang sebenarnya obat yang mahal adalah obat paten.

Ada 4 kelompok obat di Indonesia, yaitu: DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional) yang dijual dengan sangat murah dan menurut WHO diperkirakan ada 250 item. Kedua, obat generik yang sudah habis masa patennya dan dijual juga dengan harga murah. 

Ketiga, obat generik bermerek (branded generic) yang dijual lumayan mahal karena ditempeli brand dan membutuhkan biaya promosi. Dan keempat, obat paten yang dilindungi karena ada copyright-nya dan dijual dengan harga mahal karena membutuhkan R & D yang sekarang membutuhkan biaya US$ 800 juta-1 milyar.

Penelitian yang sangat mahal pada obat paten otomatis membutuhkan investasi besar dan bagi pengusaha memerlukan pengeembalian investasinya, karena itu obat jadi mahal. Secara tidak langsung, rakyat Indonesia memberikan subsidi kepada biaya obat paten yang penelitiannya dilakukan di negara maju, utamanya Amerika, Eropa dan Jepang.

Rasanya memang tak adil jika kita memberikan subsidi ini. Saya pernah mengusulkan sebagian dari biaya subsidi penelitian itu mestinya dikeluarkan juga untuk Indonesia, tapi masalahnya penelitian di Indonesia sangat lemah. Meskipun demikian, itu bisa dilakukan pada clinical trial fase 3. Di RSCM protokolnya sudah tersedia, yakni multicenter clinical trial. Hanya masalahnya pihak luar masih kurang mempercayai kualitas hasil penelitian dari Indonesia.

Dalam hal ini pemerintah seharusnya mendorong pihak luar negeri untuk melakukan multicenter clinical trial di Indonesia. Ini bisa diatur asal pemerintah turut berperan.

Di Jepang misalnya, jika ada produk baru ingin masuk ke sana harus ada clinical trial-nya. Alasan mereka, orang Jepang dan orang Amerika atau Eropa berbeda. Indonesia juga bisa menerapkan ini karena kita berbeda dengan orang Amerika atau lainnya. Jadi setiap produk obat luar yang masuk sebenarnya ‘over dosis’ karena bagaimanapun tinggi dan berat kita berbeda dengan mereka. Secara genetik (farmakology genetic) pun kita juga berbeda dengan mereka.

Jadi kembali kepada obat mahal, sebenarnya yang dimaksud adalah obat paten. Saat ini menurut laporan yang dilakukan ITMA (Indonesian Total Market Analysis), untuk obat paten ethical ada sekitar 13,9 triliun, di mana obat patennya adalah 1,1 triliun. Sekitar 8 % berarti masih obat ethical patent. Obat ethical sendiri dibagi menjadi 4, obat ethical paten, branded generik, generik dan obat ethical DOEN.

Kebanyakan dokter memberi resep memang masih obat paten yang dianggap mahal ini. Persepsi orang Indonesia sendiri apabila diberi obat murah tidak manjur dan ini harus ada re-education. Obat yang penting adalah kualitasnya. Obat murah bukan berarti kualitasnya rendah. Ini yang harus diketahui.

Di setiap negara, jika tidak ada inovasi tidak ada perkembangan. Di farmasi ada knowledge industry dan spending untuk penelitian di farmasi adalah yang terbesar. Umpanya total market farmasi (secara global) kalau tidak salah ada 2000 market, kira-kira 600 milyar dolar Amerika. Dana penelitiannya kira-kira 15persen berarti kurang lebih 90 milyar dolar untuk biaya penelitian total di luar negeri. Global R & D kira-kira 1 triliun dolar, tapi GDP dunia kira-kira 40 triliun dolar.

Farmasi di Indonesia sendiri kecil sekali hanya 3 triliun dolar. Penelitian untuk satu obat saja membutuhkan 1 milyar dolar dan tentu saja kita tidak sanggup. Lantas apa peran pemerintah unrtuk mengembangkan industri farmasi?

Pertama, jangan terlalu diatur. Karena kalau diatur harus begini dan begitu, misalnya harga obat harus murah, industri akan kesulitan. Dan kedua, diperlukan konsistensi untuk mengejar ketinggalan Industri Indonesia terhadap peraturan.

Di India, awalnya pemerintah menutup masuk produk dari luar dan mendorong industri farmasi lokalnya mengembangkan diri. Adapun Indonesia langsung membuka diri terhadap masuknya produk-produk luar. Akibatnya industri farmasi lokal susah berkembang.

Untuk memajukan industri farmasi diperlukan infrastruktur yang baik, misalnya industri kimia untuk pembuatan obat. Kita harus memperbaiki dan untuk memperbaikinya inovasi harus mendapat prioritas. Untunglah Kemenristek yang sekarang sangat memahami ini. Saat ini dengan adanya PP 35, semua jenis penelitian diberikan insentif. Padahal di Malaysia tahun 1986 sudah memberikan insentif untuk segala penelitian.

Kita sangat terlambat. Sampai sekarang pun sayangnya masih belum terlaksana karena birokrasinya yang masih berbelit dikarenakan harus melewati Kementerian Keuangan dahulu. Dan kemungkinan besar karena pajaknya tinggi yang diminta oleh Kemenkeu, penelitian mengalami kesulitan untuk melewatinya.

Di farmasi, penelitian harus dirangsang. Saya pernah mengatakan jika kita ingin melakukan penelitian obat baru sama saja dengan bermimpi. Kenapa? Karena industri kimianya kurang. Infrastruktur industri kimia tidak ada. Berbeda dengan di Cina atau India, di mana industri kimianya sudah berkembang.

Sebenarnya industri farmasi di sini untuk mensintesa apapun bisa, umpamanya pada Lipitor. Begitu masa paten Lipitor habis, Cina ataupun India bisa langsung membuatnya, sedangkan kita tidak bisa karena infrastrukturnya tidak ada.Dibutuhkan loncatan agar kita bisa mensejajarkan diri, terutama pada dana penelitian yang masih sangat kecil.

next page  |

Top Ad 728x90