Regulasi untuk Industri Farmasi Harus Jelas dan Tegas (2)

Dr Boenyamin Setiawan, Kalbe Group
Kemajuan dalam industri farmasi memiliki lima fase, Fase tanaman obat, kimia sintetik. antibiotika. Bioteknologi, dan stemcell. Sering saya tekankan agar kita memulai dari obat bioteknologi dan stemcell karena untuk mulai dari obat kimia sintetik, antibiotika atau bioteknologi, kita sudah sangat tertinggal dan sulit mengejarnya.


Peran pemerintah sendiri sangat kurang dalam penelitian ini, dana pemerintah untuk penelitian kalau tidak salah hanya sebesar Rp 1,5 triliun atau 150 juta dolar. Saya pernah mengusulkan untuk dana penelitian untuk tahun 2010 setengah persen dari APBN dan GDP. Dan untuk tahun 2015 agar bisa mencapai satu persen. Menristek setuju dengan usul ini, tapi jabatannya yang tinggal dua tahun lagi menjadi kendala. Sebab biasanya setiap ganti menteri akan berganti pula peraturannya.
Dari GP Farmasi sendiri telah berusaha mendorong insentif untuk R & D ini namun semuanya berpulang kepada pihak regulator. Dari Kalbe sendiri, dan juga dari beberapa industri farmasi lainnya, telah mengeluarkan anggaran untuk penelitian. Penelitian tentu saja difokuskan pada produk aplikatif yang cepat mendatangkan hasilnya. Mungkin inilah bedanya penelitian yang dilakukan antara perusahaan dengan pemerintah. Karena apabila penelitiannya tidak aplikatif, perusahaan sudah pasti merugi.

Sedangkan kelemahan dari penelitian yang umumnya dilakukan oleh universitas adalah kurangnya menimbang pada sisi aplikasi, sehingga tidak memikirkan apakah hasilnya bisa “menjual” atau tidak. Berbeda dengan Menristek atau LIPI yang sudah memikirkan nilai jual dari penelitiannya.

Dari sisi human resources, Indonesia pun masih lemah. Data tentang para peneliti Indonesia juga belum ada. Saya memperkirakan ada sekitar 4000-an Perguruan Tinggi, 50 Fakultas Kedokteran, 40an sekolah farmasi. Bila dijumlahkan keseluruhan, termasuk di LIPI, barangkali sekitar 10.000an peneliti di sini.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan negara Cina yang sudah mencapai kurang lebih 1 juta peneliti, di India sekitar 600 ribu peneliti dan Jepang tidak kurang dari 400 ribu peneliti. Data mengenai peneliti harus segera dibuat agar memudahkan kita membangun strategi mensinergikan dan menciptakan peneliti-peneliti baru.

Kelemahan lainnya adalah menyangkut gaji para peneliti. Pengalaman saya dulu yang pernah menjadi peneliti di UI dengan pangkat 4 E hanya bergaji Rp.1,5 juta. Saya juga pernah bertanya pada Prof. Iwan Darmansyah saat belum pensiun waktu itu mengenai gajinya dan ternyata ia hanya bergaji Rp.2 juta per bulan.

Jelas nilai gaji itu sangat kecil. Makanya banyak para peneliti yang pergi ke luar negeri atau ke Malaysia karena sistemnya yang tidak benar dan penghargaan dari pemerintah terhadap para peneliti yang tidak pernah ditinjau kembali. Namun sekarang ada kecenderungan yang mulai membaik bagi para pemerintah terhadap peneliti ke arah yang lebih baik.

Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia sebenarnya sudah bagus. Masalahnya adalah pada implementasinya. Yang paling kronis adalah penyakit korupsi yang sangat merusak. Mungkin korupsi salah satunya disebabkan karena rendahnya gaji. Saat ini ada sekitar 100 ribu Posyandu dan 10 ribu Puskesmas serta rumah sakit dari mulai tingkat A sampai D yang sistemnya sudah bagus.

Ada primary healthcare, secondary healthcare dan tertiary healthcare untuk orang sakit. Primary untuk orang sakit berobat jalan, secondary untuk mereka yang masuk UGD dan tertiary untuk orang yang benar-benar dirawat secara intensif. Primary healthcare ini teoritis. Dengan penduduk 220 juta, merujuk pada statistik ala Jepang, rata-rata 1persen dari penduduk tiap hari sakit. Berarti setiap hari ada 1,2 juta orang yang mencari pengobatan.

Dengan jumlah dokter yang ada sekitar 40 ribu sampai 50 ribu, maka secara teori tiap 1 dokter melayani 200 pasien. Idealnya jumlah dokter adalah 100 ribu, sehingga tiap 1 dokter melayani 100 pasien setiap hari. Dari sekitar 50 ribu dokter, yang berpraktek sebagai dokter umum hanya 70%, sisanya sebagai dokter spesialis.

Dan ini benar-benar dirasa kurang sekali. Untuk Posyandu seharusnya dilayani oleh Mantri. Mantri ini dididik tidak lama, sekitar 2-3 tahun selepas SMA dan sebaiknya diambil dari desanya agar kerjanya tidak berpindah-pindah. cukup sederhana. 

Pasien yang datang pun paling-paling penyakitnya panas, batuk pilek, pegal linu, mencret dan penyakit yang umum seperti sakit mata, paru-paru, dsb yang hanya membutuhkan biaya murah. Dengan begitu maka dengan Rp. 2.000 sampai Rp. 5000 bisa membeli obat karena dilayani oleh mantri dan bukan dokter.

Apabila membutuhkan konsultasi, maka dikirim ke Puskesmas yang sebaiknya dilayani oleh dokter keluarga. Sayangnya Puskesmas sekarang dilayani oleh dokter, sehingga kenyataannya tidak ada dokter yang betah tinggal di sana dan setelah selesai PTT-nya langsung pergi. Tidak ada kontinuitas. Kenapa terjadi begitu? Karena biaya untuk menjadi dokter sangat mahal. Apabila suruh tinggal di desa atau kota kecil, mereka sudah pasti tidak tertarik. Maka yang tepat melayani masyarakat berobat ke Puskesmas adalah dari Fakultas Kedokteran Masyarakat (FKM) sebatas preventif dan promotif.

Yang melayani Puskesmas seharusnya juga seorang manager yang juga berasal dari FKM dan katanya sekarang sudah dilaksanakan. Dokter tetap diperlukan untuk perawatan jalannya misalnya, tapi bukan untuk menjadi manager. Manager untuk Puskesmas sebaiknya pun diambil dari desanya atau kotanya masing-masing. Tujuannya sama, agar tidak berpindah-pindah. Kalaupun suatu saat dokternya pindah tidak jadi soal asalkan managernya jalan terus agar program-programnya tetap jalan.

Tentu saja obat murah bisa dilaksanakan karena orang-orang yang datang ke Posyandu atau Puskesmas membutuhkannya. Kalau pemerintah melarang obat branded generic, tentu tidak tepat karena perusahaan tetap harus hidup dan memiliki keuntungan. Bagi masyarakat yang punya uang jelas mempunyai pilihan berbeda karena persepsinya yang juga berbeda. Inilah yang dimanfaatkan oleh industri farmasi. 


Jadi branded generic ataupun patent bukanlah masalah. Dari keuntungan dua jenis obat inilah yang seharusnya diinvestasikan kembali untuk penelitian. (erw)

previous page  |

Top Ad 728x90