Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) menyatakan sekitar 50% dari jumlah industri farmasi nasional belum memenuhi standar internasional. Jika pemerintah akan mengadopsi standar internasional dalam Konvensi Pengawasan Farmasi dan Inspeksi Skema Kerjasama Farmasi atau Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S), separuh dari industri farmasi nasional akan kesulitan berproduksi.
Direktur Eksekutif GPFI, Dorojatun Sanusi mengatakan keikutsertaan Indonesia dalam PIC/S mungkin baik untuk membuka peluang ekspor bagi industri farmasi nasional. "Namun kalau dilaksanakan secara ketat dan keharusan untuk berproduksi dengan standar tersebut, sekitar 50% industri farmasi tidak akan berproduksi," ujar Dorojatun.
Saat ini jumlah produsen farmasi di Indonesia mencapai 199 perusahaan, sebanyak 35 perusahaan penanaman modal asing, 4 merupakan badan usaha milik negara (BUMN), dan sisanya penanaman modal dalam negeri.
Dia menjelaskan penerapan standar internasional itu berpotensi mengganggu kinerja produksi industri farmasi nasional. Produsen farmasi nasional belum mampu mengadopsi standar tersebut karena keterbatasan kemampuan finansial, keterbatasan keahlian, dan tingkat return on investment (RoI) yang cenderung panjang. Faktor tersebut membuat industri farmasi nasional makin kesulitan menghadapi persaingan di pasar domestik maupun ekspor.
Menurut dia, industri farmasi juga harus memiliki dana investasi yang cukup besar untuk mengikuti standar produksi obat yang diterap PIC/S. Dorojatun mencontohkan untuk memenuhi standar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), industri farmasi nasional mesti mengeluarkan dana investasi belasan miliar hingga ratusan miliar rupiah.
Lucky Oemar Said, Kepala BPOM, mengatakan proses pendaftaran keanggotaan Indonesia dalam PIC/S telah dilakukan dalam tiga tahun terakhir, dan sampai saat ini masih diproses. BPOM menargetkan untuk dapat terdaftar pada PIC/S pada Mei 2012. Saat ini keanggotaan PIC/S mencapai 40 negara di dunia.
Menurut dia, keikutsertaan Indonesia dalam PIC/S akan membuat industri farmasi Indonesia menjadi lebih baik. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Malaysia dan Singapura, karena industri farmasi Indonesia sudah dipersiapkan sejak 2004. Saat ini sebagian besar industri farmasi nasional dinilai siap dalam memenuhi standar PIC/S.
"Industri farmasi Indonesia telah disiapkan sejak 2004. Hingga saat ini hampir 90% industri farmasi sudah mengikuti ketentuan untuk standar farmasi tertentu. Untuk yang 10% masih terus dikawal, yang pasti tidak akan ditutup. Mungkin alih fungsi untuk produksi suplemen," ujar Lucky. (dbs)