Pekerja Outsourcing Perjuangkan Hak via Putusan MK

"Persoalan mendasar dari UU Ketenagakerjaan adalah mandulnya pengawasan. Dari segi kuantitatif maupun kualitatif, tenaga pengawas jelas kurang," ujar anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, di Jakarta, Minggu (22/1).

"Persoalan mendasar dari UU Ketenagakerjaan adalah mandulnya pengawasan. Dari segi kuantitatif maupun kualitatif, tenaga pengawas jelas kurang," ujar anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, di Jakarta, Minggu (22/1).


Pekerja Outsourcing Perjuangkan Hak via Putusan MKMahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa aturan buruh kontrak atau outsourcing
bertentangan dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, minimnya pengawasan di lapangan telah memicu penyimpangan dalam pelaksanaannya di lapangan.


"Persoalan mendasar dari UU Ketenagakerjaan adalah mandulnya pengawasan. Dari segi kuantitatif maupun kualitatif, tenaga pengawas jelas kurang," ujar anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, di Jakarta, Minggu (22/1).


Perbandingan ideal tenaga pengawas, menurut Rieke, adalah 5:1 satu orang. Untuk 5 perusahaan dibutuhkan satu orang pengawas setiap bulan. Ia pun mencontohkan di Kepulauan Riau dari sekitar 3.000 perusahaan hanya ada empat tenaga pengawas.

"Sekarang ditambah tidak lebih dari 10 orang itupun kabarnya harus magang dulu. Padahal tugas tenaga pengawas mengawasi seluruh aspek dalam hubungan industrial, yang dasarnya adalah UU Ketenagakerjaan," jelas Rieke.

Rieke mengingatkan, yang perlu diwaspadai sekarang ini adalah justru putusan MK ini dipelintir oleh pihak-pihak yang ingin 'menggergaji' hak-hak buruh yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 13/2003, termasuk dari pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), terutama Dirjen PHI yang acapkali sering bersuara sebagai corong kapitalis.

Putusan MK, kata Rieke, dianggap sebagai pintu masuk untuk merevisi UU Nomor 13/2003. Revisi yang diajukan pemerintah tersebut berindikasi kuat menjadi pintu masuk pemberangusan hak-hak buruh dan pekerja, seperti penghilangan atau pemotongan hak pesangon, cuti panjang, bahkan berimplikasi pada hak tunjangan hari raya (THR) yang selanjutnya tidak bersifat wajib diberikan oleh pemberi kerja pada pekerja.

"THR dalam paparan Dirjen PHI pada rapat dengan Baleg DPR RI pada pengajuan Prolegnas 2012 sifatnya jadi sekedar sukarela pengusaha," ucap Rieke.

Lebih jauh Rieke menambahkan, MK menetapkan dari hasil revisi pasal-pasal tersebut bahwa pekerja outsourcing harus dihitung masa kerjanya sejak si pekerja bekerja walaupun berganti agen penyalur. Bahwa dalam perjanjian tersebut harus dicantumkan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi PHK terhadap pekerja outsourcing. 

Bila tidak ada yang bertanggung jawab maka perjanjian tersebut tidak berkekuatan hukum sehingga pekerja outsourcing bisa menuntut sebagai pekerja user. "Bahwa hak-hak pekerja outsourcing tidak boleh didiskriminasi dari pekerja user.
. Walaupun ada Pasal 6 UU Ketenagakerjaan yang melanggar adanya diskriminasi tetapi di lapangan banyak dan sering terjadi. Akibat putusan MK tersebut maka seluruh PKWT pekerja outsourcing harus diamandemen dan dibuat sesuai putusan MK yang menjadi perhatian adalah peran pemerintah agar mengawal putusan MK ini. Pemerintah harus membuat keputusan menteri atau peraturan menteri yang sesuai dengan putusan MK ini," imbuh Rieke.

"Putusan-putusan MK tersebut memiliki kekuatan hukum tetap dan bisa bahkan harus dipatuhi dan dijalankan terutama oleh pemerintah dan siapa pun pihak dalam Hubungan Industrial. Secara otomatis putusan MK tersebut menjadi bagian dari UU 13 Tahun 2003," pungkas Rieke.(dbs)

Top Ad 728x90