Suatu topik bioteknologi yang dalam beberapa tahun terakhir menarik perhatian adalah vaksin DNA. Vaksin tradisional memanfaatkan agen terinfeksi, seperti versi suatu virus yang dilemahkan, guna merangsang sistem kekebalan tubuh.
Sementara vaksin DNA memancing respons sistem imunitas dengan menyuntikkan molekul DNA yang telah dimodifikasi ke dalam jaringan sel tubuh.
Inovio Pharmaceuticals Inc. asal Amerika Serikat memiliki spesialisasi dalam vaksin DNA. Banyak vaksin buatannya–untuk kanker, leukemia, hepatitis C, dan penyakit lainnya–sedang memasuki fase pertengahan uji coba klinis.
CEO Inovio Joseph Kim, di sela konferensi Unleashing Innovation yang diselenggarakan oleh The Wall Street Journal di Singapura minggu ini, berbagi pandangannya terhadap masa depan vaksin DNA.
WSJ: Potensi apa yang Anda lihat dari vaksin DNA?
Kim: Vaksin DNA tidak menggunakan virus sebagai vaksin, melainkan memakai data yang tersimpan dalam rantai DNA alamiah dan memodifikasinya. Dalam uji coba, kami berusaha menunjukkan vaksin DNA ini lebih aman dan lebih efektif.
Ide awal ditemukannya vaksin adalah untuk mencegah penyakit anak-anak, malaria, dan lainnya. Namun vaksin DNA ini dapat digunakan untuk perawatan, dan ini adalah konsep baru bernama “vaksin terapeutik”. Dengan konsep ini, Anda dapat mengajari sistem kekebalan tubuh Anda untuk membunuh tumor atau menghapus sel yang terinfeksi hepatitis dari hati Anda.
Keuntungan lain vaksin DNA adalah vaksin ini berpotensi dapat diangkut dalam suhu ruangan atau bahkan suhu tropis tanpa khawatir kualitasnya berkurang. Jika kita sekarang ingin mengantar vaksin biasa ke wilayah yang lebih panas di Afrika atau Asia Tenggara, kita harus menjaganya tetap beku.
WSJ: Apa perkembangan lainnya dalam industri vaksin?
Kim: Perusahaan farmasi besar yang pada awalnya tidak memiliki unit bisnis vaksin kini mulai berekspansi ke sektor tersebut melalui cara-cara yang berbeda. Salah satu caranya adalah dengan akuisisi. Contohnya AstraZeneca yang telah membeli perusahaan vaksin bernama Medimmune. Johnson & Johnson pun telah mengakuisisi perusahaan bioteknologi asal Belanda, Crucell.
Yang lebih umum, kita mendapati banyak kerja sama lisensi untuk produk vaksin. Di Asia, pelaku asal Jepang seperti Astellas Pharma dan Takeda Pharmaceutical tengah berusaha memperkuat bisnis vaksin mereka. Contohnya Astellas yang telah menandatangani kerja sama lisensi dengan pengembang obat-obatan, Vical.
WSJ: Apakah Anda bekerja sama dengan perusahaan farmasi besar?
Kim: Kami memiliki kesepakatan lisensi berbasis produk dengan Merck dan Wyeth, yang sekarang menjadi bagian dari Pfizer. Kami tengah berdiskusi dengan pelaku industri besar lainnya terkait beberapa produk terbaru kami.
Perusahaan besar memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk komersialisasi, pemasaran, dan penjualan produk-produk vaksin. Mau tidak mau kami harus bekerja sama dengan perusahaan farmasi besar, kecuali kami membentuk saluran distribusi sendiri.
WSJ: Di mana posisi Asia dalam riset terkait vaksin?
Kim: Asia tertinggal dari AS di banyak bidang penelitian bioteknologi. Namun saya dapat membayangkan Asia akan lebih maju di masa mendatang. Faktor pemicunya adalah penyakit seperti hepatitis B dan C kian menjamur, sehingga riset akan sangat dibutuhkan. Di beberapa jurnal ilmiah, sudah terdapat banyak artikel yang berasal dari Cina, Jepang, dan Korea terkait vaksin dan kekebalan tubuh.
India juga memiliki banyak potensi. Serum Institute of India merupakan salah satu produsen vaksin terbesar di dunia. Jika mereka dapat berubah dari produsen generik ke perusahaan berbasis riset, mereka dapat menjadi pemain penting industri ini. (wsj)
International, News Update
CEO Inovio Tentang Potensi Vaksin DNA
Suatu topik bioteknologi yang dalam beberapa tahun terakhir menarik perhatian adalah vaksin DNA. Vaksin tradisional memanfaatkan agen terinfeksi, seperti versi suatu virus yang dilemahkan, guna merangsang sistem kekebalan tubuh.