Mereviu Pasar Farmasi Indonesia 2010

Indonesia memiliki tidak kurang dari 205 industri farmasi dan distributor, termasuk 33 perusahaan multinasional. Meskipun pemerintah Indonesia melakukan perbaikan pada sistem regulasi, namun sektor farmasi masih mengalami situasi yang sulit. Meskipun masih banyak kekurangan dalam hal peraturan dan HaKI, Indonesia memiliki potensi bagi perusahaan yang bersedia melakukan penelitian klinik, mengingat rendahnya biaya-biaya dan profil epidemiologi.

Mereviu Pasar Farmasi Indonesia 2010BIG POTENTIAL, RISKY ENVIRONMENTAL
Indonesia memiliki tidak kurang dari 205 industri farmasi dan distributor, termasuk 33 perusahaan multinasional. Meskipun pemerintah Indonesia melakukan perbaikan pada sistem regulasi, namun sektor farmasi masih mengalami situasi yang sulit. Meskipun masih banyak kekurangan dalam hal peraturan dan HaKI, Indonesia memiliki potensi bagi perusahaan yang bersedia melakukan penelitian klinik, mengingat rendahnya biaya-biaya dan profil epidemiologi.

Undang-undang paten yang masih belum memadai, kebijakan kepastian harga dan kapasitas domestik yang tinggi tampak menjadi salah satu penghambat para perusahaan multinasional. Harmonisasi regional dan perbaikan kondisi bisnis yang dapat merangsang pertumbuhan bisnis juga digalakkan oleh pemerintah namun kehadiran pemodal asing yang rendah menjadi kenyataan yang terjadi saat ini. Beberapa perusahaan asing memiliki pabrik lokal, sementara yang lain melakukan importasi melalui distributor.

Hingga pada pemerintahan babak kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia masih memiliki masalah dengan transparansi, korupsi dan birokrasi. Negeri ini telah berupaya  memberantas korupsi, salah satunya dengan mewajibkan semua produsen obat untuk melakukan kegiatan pemasarannya sesuai dengan Kode Etik Praktik Pemasaran Farmasi.


-----------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Sejumlah Tantangan Hadang Industri Farmasi Indonesia 2015 
3) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi Indonesia 2014
4) Industri Farmasi Sulit Terapkan Aturan Jaminan Produk Halal
-----------------------------------------------

Meskipun pada umumnya perusahaan multinasional mematuhinya, tetapi sejumlah perusahaan lokal belum berhasil melaksanakan dengan baik karena lemahnya sistem pemantauan dan penegakan hukum.


Selain itu, pada November 2008, kebijakan baru itu dilaksanakan setelah masa tenggang selama dua tahun yang diperlukan oleh perusahaan multinasional untuk membangun fasilitas produksi lokal. Kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan operasi multinational sebagai pengecer dan mendorong mereka berinvestasi di Indonesia.

Kebijakan pemerintah itu mendapat protes dari US Chamber of Commerce karena berdampak kepada 13 produsen obat asing yang saat ini memasarkan obat mereka di Indonesia tapi tidak memiliki fasilitas produksi. Di antara mereka adalah Astellas Pharma, AstraZeneca, Eli Lilly, MSD, Novo Nordisk, Roche, Servier dan Wyeth.

Namun pada tahun 2009 keterlibatan asing berangsur membaik, sebagai jawaban terhadap statement Menteri Perindustrian Indonesia, (saat itu Fahmi Idris), pada Oktober 2008. Ia mengatakan sedang mempertimbangkan penghapusan sektor farmasi dari ‘negative investment list’ nasional.

Secara inklusif saat ini daftar tersebut berarti bahwa perusahaan asing hanya bisa memberikan sampai 75% dari modal yang diinvestasikan pada sebuah perusahaan farmasi. Berkaitan dengan kebijakan itu Executive Director IPMG Parulian Simanjuntak mengatakan bahwa investasi pada industri farmasi membutuhkan modal dalam jumlah yang besar. Sulit untuk mencari mitra lokal yang dapat menanamkan 25% dari total dana yang diperlukan untuk investasi.

Tentu saja, langkah ini memiliki konsekuensi. Di satu sisi, mengakibatkan banyak modal dalam negeri akan mendapat peluang yang sangat kecil, di sisi lain, kesehatan bangsa akan lebih baik dengan adanya peningkatan akses pada obat obat murah.

Namun pihaknya akan mengantisipasi peningkatan investasi asing langsung oleh para produsen obat. Daftar negatif investasi saat ini membatasi merjer dan akuisisi.

Sementara itu, anak perusahaan terkemuka asal Jepang yang beroperasi di Indonesia menyatakan bahwa karena kebijakan pemerintah yang cenderung proteksionis, rencana ekspansi perusahaan itu menjadi terhambat. Akibat lainnya dari kebijakan ini adalah bahwa persaingan menurun dan harga-harga obat cenderung mengalami kenaikan. (erw)

Top Ad 728x90