Bangsa Kuli?
Sebagian besar dari kita marah manakala ada yang
mengatakan kita bangsa kuli. Seolah ungkapan yang menghina dan meremehkan
kualitas bangsa ini. Namun disisi lain ada baiknya kita bangga (sebagai modal
dasar bersaing), kita sebaiknya mengenali potensi dan kelemahan yang melekat
pada diri kita, dari situlah kita tahu mana yang perlu didahulukan untuk
mewujudkan ‘mimpi-mimpi’ kemenangan dalam persaingan global.
Namun pada kenyataanya yang terjadi demikian, dalam
peringkat Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), negara ini
masuk pada urutan yang sedikit memalukan yakni 108. Dan kita terus berada pada
kisaran angka 108 – 112, kelas menengah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sementara tetangga kita Malaysia yang merdeka 12 tahun lebih muda dari
Indonesia berada berada pada peringkat 61, yang merupakan kelompok negara
tinggi pada IPM.
Mengapa demikian? Karena Malaysia telah secara konsisten melakukan investasi pada manusia (kesehatan dan pendidikan) sejak negara itu merdeka. Sementara kita melakukan investasi ekstraktif, menguras sumber daya alam, termasuk salah satunya mensubsidi BBM. Padahal kita jelas-jelas paham bahwa kemajuan suatu bangsa hanya ditentukan oleh kualitas manusianya, bukan melimpahnya sumber daya alam.
Jika kita cermati IPM 2006, skor indeks pendidikan
Indonesia adalah 0,83, dibandingkan dengan Malaysia 0,84 dan Thailand 0,86
tidak berbeda jauh. Tetapi skor kesehatan (usia harapan hidup) manusia
Indonesia hanya 0,70, sedangkan Malaysia 0,81, Thailand 0,75 dan Vietnam 0,76.
Skor pendapatan (GDP) kita hanya 0,60, sedang skor Malaysia 0,77 dan Thailand
0,73.
Ini berarti bahwa Indeks pendidikan yang diukur dengan angka partisipasi sekolah merupakan skor jangka pendek yang relatif cukup mudah untuk ditingkatkan. Dengan suatu program kita dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah hingga 100%, namun angka partisipasi sekolah tidak memberi jaminan kualitas manusianya. Apalagi dengan kualitas pendidikan kita saat ini, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Perguruan Tinggi yang dapat dikatakan rendah.
Kualitas manusia jangka menengah dapat dilihat dari masa
hidup yang produktif, yang sangat dipengaruhi oleh angka kematian ibu dan angka
kematian balita, termasuk bayi yang memang Indonesia menjadi juara terakhir di
ASEAN.
Rakyat bisa hidup dan bersekolah namun manakala gizinya
rendah dan tidak sehat tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan produktif
apalagi menghadapi tantangan persaingan.
Kualitas jangka panjang diukur dari dampak produksi ekonomi yang diukur dengan PDB, dimana skor Indonesia masih lebih baik dari Vietnam (0,55) yang memang kenyataannya jauh lebih miskin. Tetapi masih jauh tertinggal dari skor PDB Malaysia dan Thailand.
Indeks PDB Indonesia yang tinggi dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber daya alam, tanpa diiringi peningkatan kemakmuran rakyatnya,
namun pemanfaatan sumber daya alam tersebut masih lebih banyak dinikmati oleh
bangsa asing yang mengelolanya.
Kita hanya mendapat sebagian kecil dari pembagian hasil
atau yang menjadi kuli kasarnya, yang tak mampu membeli atau menikmati produk
hasil kerjanya. Rendahnya IPM Indonesia menjadi cermin betapa rendahnya
kualitas sumber daya manusia.
Kita tak bisa lagi menutup mata dan membiarkan komposisi
APBN kita dari tahun ke tahun lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai
negeri, subsidi BBM, bayar hutang konsumtif dan projek-projek (yang biasanya
jadi sumber penghasilan tambahan pejabat) serta perjalanan dinas pegawai yang
tak jelas tujuannya. Sisa anggaran yang sampai kepada tujuan kesejehteraan rakyat
banyak tak mampu meng-cover seluruh kebutuhan yang saat ini sungguh-sungguh
semakin mendesak.
Indeks PDB sangat dipengaruhi oleh produktivitas seluruh masyarakat, bukan hanya pegawai
negerinya. Jika saja dana publik digunakan secara efektif dan sampai pada tujuan kemasyarakatan termasuk untuk membangun kualitas manusia Indonesia yang benar-benar memiliki daya saing, tentu predikat kita sebagai kuli bisa dibantah.
Namun saat ini kita tak bisa memungkiri, sebagai manusia kita baru mampu memanfaatkan sumber alam ekstraktif, menggali, mengambil dan menjualnya dalam keadaan ‘mentah’, bukan hasil olahan yang memiliki nilai tambah. Bukankah kemampuan kuli cukup sampai disitu.
Alokasi Subsidi BBM bagi Biaya Kesehatan Nasional
Sejak tahun 2000, besar subsidi energi Indonesia telah menembus Rp 500 triliun, nilai saat ini. Jumlah sebesar itu tentunya sangat cukup untuk mendanai program pemerintah dalam bidang kesehatan dan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Jika ini dapat dilakukan tentu akan mendorong kualitas manusia Indonesia dan indeks PDB ke peringkat yang jauh diatas peringkat saat ini. Rakyat tak lagi kesulitan dengan biaya pendidikan dan perawatan kesehatan yang tinggi seperti saat ini.
Argumen yang selalu dikemukakan bahwa tanpa subsidi BBM
akan memberatkan ekonomi rakyat dan menambah penduduk miskin. Lebih dari 120
juta penduduk pedesaan, barangkali tidak punya beban tersebut, mereka hidup
dari hasil tani atau ternaknya dan relatif jarang bepergian dengan menggunakan
kendaraan bermotor. Memang benar beban rakyat harus dikurangi, namun
pengurangan beban melalui subsidi BBM, tidak tepat sasaran.
Di India yang lebih miskin dari Indonesia, harga bensin
dan solar yang mahal dikompensasikan dengan biaya pendidikan yang rendah dengan
kualitas yang tinggi. Itu merupakan bukti komitmen pemerintah India untuk
menjadikan rakyatnya sebagai SDM yang memiliki daya saing pada masanya nanti.
Dana publik bagi pendidikan dapat dinikmati rakyat kecil, tidak bisa
diakumulasikan atau ditransfer kepada orang lain.
Di Malaysia, harga BBM labih mahal, tapi seluruh
rakyatnya tak perlu pusing memikirkan biaya berobat, berapa pun besarnya. Di
Thailand, bensin lebih mahal, namun pemerintah membayar iuran asuransi
kesehatan sebesar 500 ribu rupiah pertahun. Jika dibandingkan dengan Iuran
Aseskin yang dibayar pemerintah Indonesia hanya 60 ribu rupiah pertahun, tetapi
pemilik mobil yang tentunya orang berpenghasilan tinggi bisa menikmati subsidi
lebih dari 1 juta rupiah per bulan.
Ironis memang pemerintah dengan subsidi BBM nya, manakala
rakyat kecil yang sudah hampir mati harus membayar mahal biaya kesehatan
meskipun di Rumah Sakit Publik. Seolah pemerintah sedang ‘berjualan’ pelayanan
kesehatan, bukan menyediakan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya.
Dilain sisi pemuda yang pandai, namun kurang mampu
terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikanya lantaran perguruan tinggi di
‘BHMN’ kan dan ditafsirkan sebagai cari dana sendiri. Bukannya menyediakan
pendidikan untuk mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945.
Melihat perbandingan subsidi BBM negara kita dan subsidi
bagi pendidikan dan kesehatan beberapa negara tetangga telah berhasil
meningkatkan kualitas sumber manusianya yang berdampak pada pertumbuhan
ekonomi. Sementara di Indonesia, investasi SDM oleh pemerintah sangat rendah.
Tak heran bila jadinya kita telah menciptakan kuli-kuli, yang barang kali
memang sebagai komoditi penting untuk memelihara kekuasaan dan biaya usaha
rendah, dengan demikian memperbesar laba. Laba untuk siapa?