Urgensi CSR Meningkatkan Reputasi Perusahaan

Suatu Tang­gung Jawab Sosial
Peru­sa­ha­an atau Corporate Social Responsibility (CSR) mulai mengemuka di pertengahan 1990 dan semakin menjadi wacana di tahun 2000. CSR yang melibatkan du­nia usaha terus ber­kembang dan memiliki peranan cukup besar bagi konsumen dan masyarakat.


Berdasarkan survei yang dilakukan untuk menjelaskan mak­na CSR oleh Corrado dan Hines (2001) di Inggris me­nun­jukkan hasil, tanggung jawab sosial terhadap konsumen me­­rupakan elemen terpenting dalam CSR (20%) di­susul kemudian dengan tanggung jawab sosial terhadap ma­syarakat lokal (17%).


Hanya masalahnya, banyak orang yang merasa skeptis apakah sebuah perusahaan memiliki jiwa filantropi yang serius terhadap implementasi CSR? Adalah wajar dan sah jika terdapat kalangan yang menyikapi konsep CSR, Corporate Citizenship, corporate philanthropy, corporate community involvement, social reporting dan sejenisnya dengan penuh skeptisisme.



Para aktivis HAM, lingkungan dan masyarakat (khusunya masyarakat adat) kerap menyatakan bahwa motif dasar dari semua konsep itu hanyalah strategi kaum neoliberal untuk tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. CSR hanyalah piranti penaklukan dalam pigura sensitivitas sosial dan lingkungan dengan motif dasar.

Keraguan akan kesungguhan implementasi CSR_harus diakui_juga diperburuk oleh kinerja CSR yang dilakukan oleh berbagai korporasi sejauh ini. Di tataran praktik, implementasi CSR masih kerap menunjukkan kecenderungan sebagai kegiatan kosmetik.


CSR menjadi sekadar fungsi kepentingan public relations, citra korporasi atau reputasi dan kepentingan perusahaan untuk mendongkrak nilai di bursa saham. CSR hanya dilakukan sebagai pemenuhan kecenderungan global tanpa substansi distribusi kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan, jauh dari gagasan John Elkington (1997) tentang konsep triple bottom line.


Para pengamat dan praktisi yang menggeluti praktik CSR sangat mafhum jika praktik CSR kosmetik masih sangat banyak ditemui. Nuansa kosmetik itu tercermin di berbagai aspek sejak perumusan kebijakan dan penentuan orientasi program, pengorganisasian, pendanaan, eksekusi program hingga evaluasi dan pelaporan.


Cukup banyak ditemui artikel dan laporan penelitian tentang hal ini (lihat misalnya, David Crowther, A Social Critique of Corporate Reporting, 2002; Peter Muchlinski, Human Rights, Social Responsibility and the Regulation of International Business: The development of international standards by intergovernmental organizations, 2003; Ralph Hamann, Mining Companies’ Role in Sustainable Development; the ‘why’ and ‘how’ of corporate social responsibility from business perspective, 2003; Christian Aid, Behind the Mask: The Real Case of Corporate Social Responsibility, 2004; Terry Collingsworth, “Corporate Social Responsibility,”Unmasked, 2004).


Di sisi lain, dengan mengikuti perkembangan pelaksanaan CSR dari sisi internal korporasi (atau asosiasi korporasi dan lembaga antarnegara), tak dapat disangkal bahwa kecenderungan positif juga telah berkembang cukup jauh. Upaya-upaya nyata dan membumi yang dilandasi niat baik untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat serta pelestarian lingkungan sudah dilakukan. Standar-standar CSR semakin dekat dengan tuntutan keadilan sosial dan lingkungan, terutama dikarenakan banyaknya masukan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang kritis.


Diakui bahwa upaya-upaya tersebut memang masih belum optimal. Namun, bila diletakkan dalam dimensi waktu, upaya-upaya ini telah memberikan harapan dan optimisme. Pada sepuluh tahun terakhir ini secara perlahan gejala perubahan pelaksanaan CSR ke arah yang lebih baik dan lebih berdaya-guna semakin tampak. Berkait dengan gejala dampak positif praktik CSR di atas, Philip Kotler, pakar ternama di bidang International Marketing, dan Nancy Lee, Presiden dari Social Marketing Services Inc., juga melihat adanya pergeseran (shift) dalam pendekatan korporasi dalam melaksanakan CSR


Semula CSR dilaksanakan dalam kerangka pendekatan tradisional, yaitu di mana implementasi CSR dianggap sebagai beban belaka; kini sudah timbul kesadaran di mana pelaksanaan CSR merupakan bagian yang menyatu dalam strategi bisnis suatu korporasi. Dalam pendekatan baru ini implementasi CSR justru mendukung tujuan-tujuan bisnis inti. (Lihat juga misalnya, Lynn Sharpe Paine, Value Shift, 2003; Peter Schwartz and Blair Gibb, When Good Companies Do Bad Things, 1999; Malcolm Mcintosh et.al, Corporate Citizenship, 1998; Ann Svendsen, The Stakeholder Strategy, 1998).


CSR memiliki peranan penting sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam mem­ben­tuk katup pengaman sosial. Selain itu, CSR sekaligus berperan sebagai pembangun reputasi perusahaan baik citra perusahaan, posisi merek perusahaan, hingga bidang usaha
perusahaan. Berbagai penelitian menunjukkan korelasi positif antara CSR dan
kondisi finansial perusahaan. 


Perusahaan yang menerapkan CSR justru memiliki kondisi keuangan yang baik. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, m­e­lain­k­an investasi perusahaan. Misalnya, sebuah penelitian me­nyebutkan emiten non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada 2007 lalu memiliki kegiatan CSR ber­ban­ding positif terhadap kinerja perusahaan.


Korelasi positif tersebut menunjukkan makna bahwa me­­nga­dopsi dan menerapkan kebijakan-kebijakan CSR da­lam aktivitas bisnis adalah keputusan yang rasional dan meng­untungkan.


Dikatakan rasional karena adanya keya­kinan bahwa dalam jangka panjang aktivitas CSR akan bersifat menguntungkan bagi perusahaan. Sebab, tingkat kesejahteraan dan daya be­li masyarakat secara umum akan meningkat. Kondisi ini akan mendorong naiknya permintaan terhadap produk per­usahaan, serta memudahkan perusahaan menarik faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, bahan baku primer serta modal. Saatnya mengubah paradigma bahwa CSR bukan lagi kewajiban, tapi kebutuhan.(erw)

Top Ad 728x90