Potret Terkini Reformasi Kesehatan Nasional (2)

Upaya mewujudkan ke­mandirian dimaksud tentu saja tidaklah mudah, mengingat kondisi masyarakat kita yang mayoritas kualifikasinya masih relatif rendah, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, dan kes­ehatan. Menyangkut kualifikasi manusia Indonesia, sesuai den­gan laporan United Nations De­velopment Programme (UNDP) pada tahun 2007, posisi Human Development Index (HDI) Indo­nesia berada di 107.

Upaya mewujudkan ke­mandirian dimaksud tentu saja tidaklah mudah, mengingat kondisi masyarakat kita yang mayoritas kualifikasinya masih relatif rendah, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, dan kes­ehatan. Menyangkut kualifikasi manusia Indonesia, sesuai den­gan laporan United Nations De­velopment Programme (UNDP) pada tahun 2007, posisi Human Development Index (HDI) Indo­nesia berada di 107. 

Berdasar­kan kedudukan tersebut, ten­tunya bangsa Indonesia harus bekerja keras agar kualifika­si manusianya meningkat, baik dari aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan, yang menjadi in­dikator utama untuk menentu­kan HDI.

Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional, merupakan salah satu strategi yang ditetapkan Departemen Kesehatan untuk mendorong kemandirian masyarakat agar hidup sehat. Disadari bahwa pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja tidak mungkin dapat menciptakan Indonesia Sehat, sehingga paradigma pembangunan kesehatan diubah menjadi upaya kesehatan terintegrasi menuju kawasan sehat dengan menekankan peran aktif masyarakat.

Kesehatan merupakan tang­gung jawab bersama dari set­iap individu, masyarakat, pe­merintah, dan swasta. Apa pun program yang dibuat pemerin­tah dalam sektor kesehatan, tanpa partisipasi masyarakat dalam prosesnya, keberhasi­lan program yang diharapkan tidak akan tercapai. Partisipa­si masyarakat dalam memeli­hara kesehatannya merupakan salah satu indikator yang me­nentukan keberhasilan pem­bangunan kesehatan.

Kesadaran akan pentingnya peran masyarakat ini dituang­kan dalam misi pembangunan kesehatan yang dirumuskan untuk mencapai Visi Indonesia Sehat, yakni: (1) Menggerakkan pembangunan nasional berwa­wasan kesehatan, (2) Mendor­ong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, (3) Meme­lihara dan meningkatkan pe­layanan kesehatan yang bermu­tu, merata dan terjangkau, (4) Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk ling­kungannya. Upaya mencipta­kan partisipasi masyarakat In­donesia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya secara mandiri sejauh ini sudah banyak dilakukan, baik oleh pe­merintah, swasta maupun lem­baga non-pemerintah.

Namun partisipa­si masyarakat yang diharap­kan masih belum menggem­birakan. Berbagai program yang dilancarkan belum opti­mal dalam memberi efek kepa­da masyarakat, yakni perubah­an perilaku masyarakat dalam memelihara kesehatannya se­cara mandiri. Gambaran peri­laku masyarakat tersebut dapat dilihat dari dampak yang ditim­bulkannya, yakni masih ting­ginya angka-angka berbagai in­dikator yang merepresentasikan masih rendahnya kualitas kese­hatan masyarakat Indonesia.

Sebagai gambaran Angka Kematian Ibu (AKI) Maternal misalnya, meski hasil Survei Demografi dan Kesehatan In­donesia 2007 melaporkan AKI sebesar 228 per 100.000 kelahi­ran hidup, namun laporan WHO yang dikutip oleh Depkes RI (2008), AKI di Indonesia dinyat­akan mencapai 420 per 100.000 kelahiran hidup (catatan Dep­kes RI 2002: sebesar 307 per 100.000).

Tingginya angka yang seka­ligus menjadi salah satu in­dikator keberhasilan pemban­gunan sektor kesehatan ini mengisyaratkan bahwa kegia­tan penyadaran untuk berpe­rilaku hidup sehat masih har­us banyak digiatkan dalam masyarakat. 

Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, pembangunan bidang keseha­tan harus menyesuaikan diri kepada kuatnya arus program-program yang lebih diarahkan kepada pemberdayaan dan pros­es memandirikan masyarakat di dalam pemenuhan berba­gai kebutuhannya yang maje­muk, termasuk kebutuhan un­tuk hidup sehat.

Pembangunan bidang kes­ehatan masyarakat perlu leb­ih memusatkan diri kepa­da meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka me­nyadari pentingnya hidup dan bergaya hidup sehat. Proses pe­nyadaran ini hendaklah dipo­sisikan sebagai kegiatan yang bersifat bottom-up, di mana masyarakat diposisikan selaku subyek dan pelaku pembangu­nan kesehatan. 

Craig dan Mayo mengatakan empowerment is road to participation. Terciptan­ya partisipasi masyarakat da­lam pembangunan kesehatan, memerlukan suatu pra-kondisi yakni keberdayaan masyarakat. Partisipasi akan tercipta jika masyarakatnya telah berdaya (World Bank Study, Education in Indonesia: From Crisis to Re­covery, Education Sector Unit, East Asia and Pasific Regional Office, 1998).

Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu subsistem da­lam Sistem Kesehatan Nasional, merupakan salah satu strate­gi yang ditetapkan Departemen Kesehatan untuk mendorong kemandirian masyarakat agar hidup sehat. Disadari bahwa pendekatan kuratif dan rehabil­itatif saja tidak mungkin dapat menciptakan Indonesia Sehat, sehingga paradigma pemban­gunan kesehatan diubah men­jadi upaya kesehatan terinte­grasi menuju kawasan sehat dengan menekankan peran ak­tif masyarakat.

Dalam paradigma baru ini, penekanan terletak pada upa­ya promotif dan preventif, tan­pa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif. Mes­ki demikian, bentuk nyata dari visi, misi, dan strategi terse­but belum optimal dilaksana­kan di lapangan. Orientasi pe­layanan kesehatan masyarakat di tingkat puskesmas misalnya, masih cenderung pada kegiatan yang bersifat pengobatan (ku­ratif).

Kegiatan-kegiatan mem­berdayakan masyarakat dengan tujuan meningkatkan partisipa­si masyarakat secara mandiri untuk memelihara kesehatan­nya masih belum optimal di­lakukan. Jikapun ada, pener­apan konsep pemberdayaan untuk menghasilkan peruba­han perilaku yang berkelanju­tan di masyarakat, tidak atau masih belum diterapkan se­cara konsisten oleh pihak-pihak yang bertindak sebagai “agent of change”.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indone­sia dalam satu tujuan bersa­ma guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan keseha­tan dalam kerangka mewujud­kan kesejahteraan rakyat seba­gaimana dimaksud dalam UUD 1945. 

Sistem Kesehatan Nasion­al berguna untuk : 1) Memperte­gas makna pembangunan kese­hatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia; 2) Memper­jelas penyelenggaraan pemban­gunan kesehatan sesuai dengan visi dan misi RPJPK Th 2005- 2025; 3) Memantapkan kemi­traan dan kepemimpinan yang transformatif; 4) Melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu; 5) Meningkatkan investasi kese­hatan untuk keberhasilan pem­bangunan nasional.

Sistem Kesehatan Nasional memiliki azas antara lain per­ikemanusiaan, pemberdayaan & kemandirian, adil & merata, dan pengutamaan & manfaat yang secara ringkas dapat dike­mukakan bahwa pembangunan kesehatan harus diupayakan secara terintegrasi antara pe­merintah pusat dan pemerintah daerah dengan mengedepankan nilai-nilai pembangunan kese­hatan, yaitu: a) Berpihak pada Rakyat, b) Bertindak Cepat dan Tepat, c) Kerjasama Tim, d) In­tegritas yang tinggi, e) Transpar­ansi dan Akuntabel. Terdapat 7 subsistem SKN antara lain upa­ya kesehatan; pembiayaan kese­hatan; SDM kesehatan; keterse­diaan obat-obatan/farmasi, alat kesehatan, dan makanan dan minuman; manajemen dan informasi kesehatan; serta pem­berdayaan masyarakat.

Kawasan Metropolitan Priority Area (MPA) Jabodetabek sudah semakin sesak, dan masyarakat sebaiknya memperoleh fasili­tas pelayanan yang lebih baik dalam hal ketersediaan sara­na dan prasarana transportasi, tercukupi kebutuhan air bersih, energi, dan keperluan lainnya. Selain itu, masyarakat juga per­lu hidup serasi dengan lingkun­gan, termasuk keberadaan ka­wasan industri yang semakin bertumbuh kembang di sekitar kawasan Jabodetabek (Kota Ja­babeka, MM 2100 Cibitung, Ka­wasan Industri Pulogadung, Jat­ake Tangerang, Lippo Cikarang, Delta Silicon, East Jakarta In­dustrial Park/EJIP, KIIC Kara­wang Barat).

Luas Metropolitan Priority Area (MPA) Jabodetabek men­capai 6.400,71 kilometer perse­gi dengan populasi 2010 seban­yak 27,95 juta jiwa (BPS, 2010), dengan perincian: (1) DKI Jakar­ta 664,1 km2 (9,588 juta jiwa); (2) MPA Timur wilayah Kota dan Kabupaten Bekasi 1.480 km2 (4,966 juta jiwa); (3) MPA Selatan wilayah Kota Depok, Kota dan Kabupaten Bogor 2.981,77 km2 (7,456 juta jiwa); (4) MPA Barat wilayah Kota dan Kabupaten Tangerang serta Kota Tangerang Selatan 1.274,93 km2 (4,9 juta jiwa).

Kegagalan yang yang ter­jadi dalam pembangunan suatu negara, tentu tidak terlepas dari kesalahan pengambilan keputu­san oleh para pelaku perencana terhadap sejarah kebudayaan manusia itu sendiri. Pembangu­nan dan pemberdayaan ekono­mi menuju masyarakat sehat sejahtera dapat tercapai mela­lui serangkaian nilai dan norma bermasyarakat. 

Pola pembangu­nan yang hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi mod­el barat telah dinyatakan tidak berhasil. Konsep pembangunan spill over theory, trickle down ef­fect dalam rangka pemerataan kesejahteraan masyarakat, di Indonesia ternyata tidak terbuk­ti.

Masa depan Indonesia memi­liki sejarahnya sendiri. Seja­rah sebagai tumpuan mem­bangun masa depan dalam membangun organisasi – organ­isasi yang modern profesional, sistem politik yang demokratis, sistem ekonomi pasar yang adil sejahtera, penegakan hukum dan penerapan good corporate governance, mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa dan ke­budayaan nasional, “Tata Tentrem Kar­ta Raharja”. 

*Penulis merupakan Staf Pengajar/ Dosen Tetap Hubungan Internasional Universitas Presiden, Kota Jababeka

Top Ad 728x90