Seiring dengan pemberlakuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) pada 1 Januari 2014, maka kebutuhan masyarakat akan obat bakal meningkat pesat. Ketersediaan obat-obatan yang terjamin kehalalannya menjadi sebuah keharusan.
Selasa, 31 Desember 2013 di Istana Bogor, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Melalui BPJS-K, kini rakyat miskin di seluruh Indonesia bisa berobat dan dirawat gratis di puskesmas dan rumah sakit.
“Rakyat miskin berobat dan dijamin dan dijamin oleh BPJS. Saya tekankan, dengan BPJS-K pemerintah berharap tidak ada lagi yang was was bagi orang tidak mampu,” tegas SBY. Pemerintah menargetkan pada 2019, 178 juta rakyat Indonesia sudah menjadi peserta. Sebanyak 1.710 rumah sakit swasta dan dan rumah sakit pemerintah serta 15.000 klinik dan dokter praktek akan melayani peserta BPJS. Untuk program tersebut pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp79 triliun.
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS terdiri dari 16 bab dan 71. UU BPJS sebagai lanskap kelembagaan dan pedoman tata kelola (governance) penyelenggaraan jaminan sosial memberi amanat pembentukan 2 BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS-K sendiri merupakan transformasi dari PT Askes (Persero) dan bertanggung jawab menyelenggarakan program jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk (universal coverage), yang mulai berlaku pada tahun 2014 ini.
Dengan pemberlakuan BPJS-K per Januari 2014 ini diperkirakan akan ada lonjakan pasien karena semua orang bisa berobat. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali H. Situmorang mengatakan pemerintah akan mulai mendekati pihak swasta untuk berinvestasi di bidang fasilitas kesehatan dalam rangka pelaksanaan program BPJS-K ini. Menurut Chazali, meski Kementerian Kesehatan tidak bisa mengatur Rumah Sakit Swasta, BPJS dapat mengadakan kerjasama dengan semua jenis rumah sakit, baik swasta maupun milik negara.
Rakyat Berhak Hidup Sehat
Dari segi kebijakan, program pemerintah tersebut tentu sangat patut diapresiasi. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Dengan BPJS-K, pemerintah telah menerapkan paradigma bahwa pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam pengukuran IPM, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang (mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan visi Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan sejak 3 tahun lalu.
Program BPJS yang diluncurkan pemerintah Indonesia mirip dengan program jaminan kesehatan di negara-negara lain. Philipina memiliki Philippine Health Coroporation yang diluncurkan pada tahun 1995 dan menargetkan pencapaian universal coverage untuk jaminan kesehatan selama 15 tahun. India, untuk menjangkau ratusan juta penduduk miskin mendirikan RSBY, suatu program kesehatan bagi masyarakat miskin dan sudah mencapai 300 juta penduduk. China juga memiliki program serupa dengan mendirikan lembaga jaminan kesehatan di tingkat provinsi.
Dalam Pasal 1 point (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional.
Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Singkatnya, seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai manusia.
Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasional dan tercantum dalam Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Disebutkan, hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak.
Jaminan hak atas kesehatan juga diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa negara peserta konvenan tersebut mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.
Pada lingkup nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Terjemahan secara luas dari Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut jelas bahwa negara sebagai pengemban amanat rakyat berkewajiban untuk menyejahterakan masyarakat. Sehat dalam pengertian lebih luas, seperti diatur dalam UHDR, Konvensi PBB 220 A serta UUD 1945, tidak hanya sekedar bebas dari penyakit. Lebih dari itu, sehat adalah kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup .produktif secara ekonomis.
Oleh karena itu, sesuai dengan norma HAM, negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi kesehatan tersebut. Kewajiban menghormati itu seperti menciptakan persamaan akses pelayanan kesehatan, pencegahan dari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan status kesehatan masyarakat, melakukakan langka-langkah legislasi yang dapat menjamin perlindungan kesehatan masyarakat, membuat kebijakan kesehatan, penyediaan anggaran yang memadai, penyediaan jasa-jasa pelayanan kesehatan yang layak dan memadai untuk seluruh masyarakat.
Obat Halal adalah Hak Konsumen Muslim
Dalam konteks kesehatan sesuai HAM, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, juga berhak atas pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keyakinan yang dianut. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika di negara yang mayoritas penduduknya muslim, ada pejabat pemerintah yang justru menolak memberikan perlindungan kepada masyarakat konsumen agar terhindar dari produk yang tidak jelas kehalalannya, termasuk di dalamnya produk obat-obatan.
Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si menyatakan, pihaknya menyadari bahwa kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak, sesuai dengan amanat UU No.36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan. Namun, di sisi lain, konsumen muslim juga berhak atas produk yang terbebas dari unsur haram.
Memperoleh makanan, minuman, serta obat-obatan yang halal sesuai syariat Islam adalah hak bagi setiap muslim di manapun. Di Indonesia, hak tersebut jelas-jelas dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melindungi konsumen muslim dalam menjalankan syariat agamanya, termasuk dalam mengkonsumsi obat.
Seperti diketahui, sebelumnya Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, pihaknya menolak sertifikasi halal pada produk farmasi pada Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Alih-alih memperjuangkan hak konsumen muslim, Nafsiah Mboi justru menyatakan bahwa produk farmasi seperti obat dan vaksin memang mengandung barang haram, karena itu tidak perlu sertifikasi halal. “Menurut para ahli agama, obat-obatan yang mengandung babi bisa juga digunakan karena tujuannya untuk menyelamatkan nyawa orang,” tukasnya.
Menurut Ketua MUI Dr. KH. Ma’ruf Amin, dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sebenarnya sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus yang halal. Hal tersebut antara lain didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda yang berbunyi: “Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan benda yang haram.”
Lukmanul Hakim sangat menyayangkan pernyataan menteri kesehatan, yang notabene seorang pejabat publik yang secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Penolakan sertifikasi halal atas produk obat-obatan, tegas Lukmanul Hakim, akan semakin menjauhkan upaya umat Islam dalam memperoleh obat yang halal. Selama ini LPPOM MUI bersama pemangku kepentingan terkait berusaha mendorong kalangan farmasi dan produsen obat agar meningkatkan kepedulian mereka terhadap konsumen muslim dalam memperoleh obat-batan yang terjamin halal.
Ditambahkan, hingga kini sekitar 90 persen lebih bahan baku obat yang beredar di Indonesia merupakan produk impor dari negara-negara yang sebagian besar belum mempertibangkan aspek halal. “Artinya ini bukan sekedar masalah teknologi, juga karena pengetahuan dan motivasi produksi halal,” ujarnya. Padahal, secara ilmu dan teknologi, sangat terbuka kemungkinan memproduksi obat dengan cara halal.
Dengan kondisi bahan baku yang sebagian besar masih impor dan belum memperhatikan aspek halal, Lukmanul Hakim mengakui, hampir semua jenis obat di Indonesia memiliki kemungkinan tidak halal. Hingga saat ini dari sekitar 27 ribu item obat, jamu dan suplemen yang diproduksi oleh sekitar 206 perusahaan di Indonesia, yang telah bersertifikat halal jumlahnya masih sangat sedikit. Rinciannya, di kelompok obat-obatan, perusahaan yang telah bersertifikat halal hanya ada 5 (lima) perusahaan dengan item produk sebanyak 22 produk.
Di kelompok jamu ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal dengan item produk sebanyak 152 produk, sedangkan pada kelompok suplemen, perusahaan yang telah mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan item produk sekitar 50 produk. Angka-angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.
Oleh karena itu, kata dia, pentingnya sertifikasi halal bagi produk farmasi, sebagai upaya mengidentifikasi unsur obat tersebut sehingga memudahkan konsumen untuk memilih. Bagi obat yang tidak halal dan tidak ada alternatif penggantinya, ujar Lukman, untuk sementara dapat digunakan dengan alasan darurat.
Bukan Alasan Darurat
Perihal alasan darurat, Ketua MUI, H. Amidhan menyebut dalam Islam telah diatur bahwa sesuatu yang sifatnya darurat maka yang haram boleh dikonsumsi karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar, misalnya untuk mencegah kematian atau cacat permanen, atau menyebabkan sakit yg semakin parahn, tetapi tidak boleh berlebihan atau berkepanjangan. Artinya, sifat kedaruratan itu berlaku sementara. Jika tidak ada kebutuhan yang mendesak seperti itu, maka sifat kedaruratan tadi tidak berlaku. Sifat darurat juga otomatis gugur jika terdapat alternatif obat lain yang telah halal.
Sebagai contoh, MUI melalui fatwa Nomor 05 Tahun 2009 menyatakan bahwa vaksin meningitis untuk calon jemaah haji yang ketika itu belum halal, boleh digunakan demi menjaga kesehatan dan keselamatan calon jemaah haji. Namun, sejak adanya vaksin meningitis yang telah bersertifikat halal maka fatwa MUI tentang kedaruratan penggunaan vaksin yang belum halal tadi tidak berlaku lagi. Hal itu tertuang dalam Fatwa MUI No. 06 Nomor 06 Tahun 2010 Tertanggal 16 Juli 2010.
Dalam Islam tambah Amidhan, hukum obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal. Terlebih memperoleh produk halal bagi setiap Muslim adalah hak konstitusional. “Pemerintah harusnya memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agamanya,” tegas Amidhan.
Menanggapi masih sulitnya menemukan obat halal di Indonesia, menurut Lukmanul Hakim, mestinya ada upaya secara sistematis dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain seperti produsen farmasi, apoteker, dokter, ulama, pebisnis obat dan vaksin serta ilmuwan dari perguruan tinggi untuk secepat mungkin melakukan tindakan nyata, demi memberikan ketenteraman batin bagi konsumen obat di Indonesia. “Bukannya justru penolakan,” katanya.
Pada prinsipnya, cara pembuatan obat tidak berbeda jauh dengan produk pangan, tergantung pada bentuk sediaannya, apakah bentuknya tablet, kaplet, sirup, salep, dsb. Pada produk obat, prinsipnya adalah mencampur antara bahan aktif obat yang memberi khasiat penyembuhan dengan bahan lain yang dibutuhkan dalam pembentukan suatu sediaan obat yang disebut dengan eksipien.
Bahan aktif obat maupun eksipien dapat dibuat melalui berbagai proses tergantung jenisnya. Prosesnya bisa berupa ekstraksi dari bahan nabati atau hewani, sintesa kimiawi, fermentasi mikrobial sampai rekayasa genetika.
Oleh karena itu, jika alasannya adalah karena pertimbangan teknis pemeriksaan kehalalan obat yang dinilai rumit, terbukti bahwa sejumlah produsen obat dan vaksin telah berhasil mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. Artinya, jika ada kehendak untuk mengajukan sertifikasi halal maka hal tersebut tentu bisa dilakukan.
Jika ada anggapan bahwa pemeriksaan obat sangat sulit dibandingkan pangan, menurut Lukmanul Hakim, perkembangan pangan saat ini pun sudah sangat jauh berekembang. Suatu bahan pangan bisa mengandung bahan baku ratusan bahan baku termasuk bahan-bahan perisa (flavour) yang juga terdiri dari bahan-bahan kimia yang rumit baik dihasilkan secara sintetik kimiawi, biokimia atau mikrobial. “Tapi nyatanya, saat ini sudah ada ribuan perusahaan di bidang pangan yang telah lolos dari pemeriksaan dan mendapatkan sertifikat halal dari MUI.”
Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mendukung desakan MUI agar obat-obatan juga perlu disertifikasi halal. Alasannya, menurut Marius, masyarakat membutuhkan informasi yang tepat mengenai kandungan obat. Langkah ini penting agar masyarakat mengetahui kehalalan obat yang dikonsumsinya. Pemberian informasi kandungan obat bisa melalui pemberian label yang jelas dalam kemasan. “Bila mengandung babi, seharusnya dalam kemasan itu diberi gambar babi saja sehingga orang mengetahui produk itu mengandung unsur babi,” ujarnya.
Menurut dia, informasi yang simpang siur soal kehalalan obat bisa menimbulkan suasana kegaduhan dan tidak kondusif. Oleh karenanya, ia meminta Kementerian Kesehatan dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membentuk tim khusus untuk memberikan informasi kandungan obat ini. “Tim khusus itu agar semua jamu dan obat dapat diberi tanda haram atau halal.”
Selain tanda haram atau halal, juga perlu dicantumkan keterangan gambar, misalnya gambar babi untuk obat yang mengandung babi. Menurut Marius, langkah itu penting untuk memberi informasi sejelas mungkin karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih terbatas.
Sementara itu, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Prof Dr Nurfina Aznam, Apt., juga menyatakan keprihatinannya atas kondisi obat-obatan di Indonesia. “Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, karena itu persoalan halal harus menjadi pertimbangan dalam produksi obat. Namun sebagian besar produk di Indonesia masih belum bersertifikat halal.
Seperti dikutip Republika, Nurfina mengakui, memang sudah ada pabrik obat yang mensertifikatkan halal produk obatnya, namun jumlahnya tidak sebanding dengan obat yang beredar di Indonesia. Hal itu terjadi karena kesadaran dari produsen obat tentang perlunya sertifikasi halal untuk produk obat masih kurang, dan bahkan ada produsen yang tidak peduli bila bahan untuk memproduksi obat ada yang haram.
Seharusnya perlu peran pemerintah memfasilitasi produsen untuk memproduksi obat halal. Sedangkan bagi masyarakat, harus ada kesadaran untuk memilih obat yang halal. Tentu saja, kata dia menambahkan, obat yang halal harus ada legalitas dari lembaga yang punya kewenangan dan ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan sertifikasi halal yakni LPPOM MUI. (FM)
Business, Halal
LPPOM MUI: BPJS Beroperasi, Qua Vadis Obat Halal?
Seiring dengan pemberlakuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) pada 1 Januari 2014, maka kebutuhan masyarakat akan obat bakal meningkat pesat. Ketersediaan obat-obatan yang terjamin kehalalannya menjadi sebuah keharusan.