.
Alhamdulillah, kini kita dapat menikmati Saluran langsung suasana ibadah di dalam Masjidil Haram, Ka'bah di Mekah, 24 jam setiap hari. klik disini untuk visit.
Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah, tapi negeri ini menawarkan potensi besar dalam hal peluang komersial, khususnya di bidang farmasi. Dari 2007-2013, industri farmasi Indonesia tumbuh mencapai 85 persen dan berlangsung hingga 2014.
Angka itu senilai $ 6,5 milyar dan negeri ini menikmati tingkat pertumbuhan tahunan 12,5 persen, sebuah tren positif yang diperkirakan akan bertahan hingga 2018. Dinamika pasar obat Indonesia berkembang meluas dan mendalam, para pemain domestik dan multinasional masing-masing memposisikan dirinya untuk memanfaatkan berbagai peluang.
Sepanjang lima dekade terakhir, industri farmasi di Indonesia telah berkembang pesat. Sebuah tonggak penting bagi pengembangan industri adalah terbukanya pasar Indonesia bagi perusahaan multinasional di pertengahan 1960-an. Suatu peristiwa yang mendorong pertumbuhan melalui penanaman modal ditargetkan pada kedua inisiatif; investasi R&D dan infrastruktur.
Sementara, di awal sejarah perkembangan farmasi Indonesia didominasi oleh perusahaan multinasional. Saat ini perusahaan lokal yang membanjiri pasar domestik dengan obat-obat generik. Jumlah industri farmasi di Indonesia sekitar 200 pabrik farmasi, dimana 70 persen perusahaan lokal dan 30 persen perusahaan multinasional.
Menurut Roy Sparringa, Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), didalam lanskap farmasi Indonesia sebesar 95 persen dari volume obat Indonesia berasal dari perusahaan domestik, sedangkan lima persen sisanya adalah multinasional. Selain itu, 75 persen dari nilai industri berasal dari perusahaan domestik dan 25 persen berasal dari perusahaan multinasional. "
Statistik seperti ini menjelaskan pasar di mana masing-masing kelompok bersaing: perusahaan domestik terutama terlibat dalam bisnis volume obat generik, sedangkan perusahaan multinasional berkonsentrasi pada bernilai tinggi obat inovatif. Perusahaan dalam negeri telah sukses di pasar untuk obat generik dan over-the-counter obat-obatan (obat bebas) yang sejenis.
Tetapi pada tahap berikutnya secara perlahan perusahaan lokal di Indonesia membangun berbagai nilai tambah sebagai upaya mengoptimalkan portofolio industri lokal. Di sisi lain, perusahaan multinasional harus mengantisipasi persaingan yang tidak mudah di pasar domestik yang dibanjiri dengan obat generik, atau mengambil risiko keluar dari pasar. Seiring berjalannya waktu, komposisi industri farmasi di Indonesia terus berkembang, begitu juga situasi persaingan yang akan menentukan masa depan industri.
Era Joko Widodo
Pada 2014, terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI diharapkan memiliki dampak positif pada pasar farmasi Indonesia. Selama masa sebelumnya, pemerintah Indonesia secara historis tidak memiliki komitmen yang kuat pada sektor kesehatan. Pada 2013, pemerintah menghabiskan hanya 3 persen dari total PDB untuk kesehatan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, di tahun yang sama, Vietnam menghabiskan 6,6 persen, sementara Amerika Serikat menghabiskan 17,9 persen. Pemilihan Presiden Jokowi membawa angin segar dengan komitmen yang kuat di sektor kesehatan nasional, dan berimbas pada pada sektor farmasi. Salah satu langkah awal Jokowi di istana negara adalah untuk mengkritisi adanya kekurangan di sektor kesehatan nasional dan menyatakan bahwa pemerintahnya akan menggandakan pengeluaran pada kesehatan, saat ini sampai dengan 2018.
Di bawah dekrit ini, sebagian besar dana pemerintah akan diarahkan pada revitalisasi infrastruktur yang spesifik di bidang kesehatan, seperti rumah sakit, namun gelombang ini modal yang datang tentu akan membawa pengaruh pada pasar obat-obatan di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan besar bagaimana pemerintah akan membayar pengeluaran kesehatan yang besar itu. Tanpa perlu menemukan jawaban yang pasti, yang pasti bahwa dalam catatan Jokowi, agenda pengembangan sektor kesehatan menjadi paling utama.
Karena pemerintah memiliki komitmen untuk memperbaiki sistem kesehatan, terutama membuka lebar akses masyarakat terhadap kesehatan. Inisiatif ini diawali pelaksanaannya dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Program di Indonesia cakupan kesehatan universal. Ditetapkan pada tahun 2014, tujuan JKN adalah untuk menggabungkan program asuransi kesehatan sosial yang sudah ada di Indonesia di bawah satu pintu pembayaran, akhirnya memperluas cakupan kesehatan berskala nasional yang menyentuh 250 juta penduduk.
Peluncuran JKN diharapkan dapat berhasil dalam kurun lima tahun kedepan, cakupannya dimulai dari skala 122 juta orang di 2014 dan berkembang secara keseluruhan (diperkirakan populasi 257.500.000) pada 2019. Sebuah peningkatan besar dalam akses ke layanan kesehatan akan menyarankan masa depan yang cerah bagi industri farmasi di Indonesia.
Setelah JKN dapat sepenuhnya dilaksanakan, para pakar di industri farmasi bisa berharap bahwa 19 persen dari total pengeluaran perawatan kesehatan akan melibatkan obat-obatan didalamnya. Permintaan obat-obatan akan meningkat khususnya obat generik murah, sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), mengelola JKN, telah mengamanatkan bahwa sebesar 92 persen obat yang digunakan pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)akan jenis ini. Mandat ini menjadi sinyal yang sangat baik bagi perusahaan lokal yang memiliki spesialisasi pada obat generik murah.
Selain kebijakan konstruktif, manfaat industri farmasi Indonesia dari pertumbuhan ekonomi yang kuat, yang telah memberikan kontribusi terhadap berkembangnya kesadaran kesehatan di masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2014 PDB Indonesia tumbuh sebesar 5,1 persen. Menurut perkiraan Bank Dunia, ini akan terus berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang kuat hingga tahun 2017.
Ini memiliki pengaruh positif pada masyarakat kelas menengah di Indonesia. Pada 2003, sebesar 38 persen penduduk Indonesia berstatus sosial ekonomi kelas menengah atau lebih tinggi. Pada 2010, angka ini meningkat menjadi 57 persen. Dengan hampir tujuh juta orang Indonesia baru mencapai kelas menengah atau status sosial ekonomi yang lebih tinggi setiap tahun, pola konsumsi penduduk Indonesia berubah secara signifikan.
Dengan lebih banyak penghasilan dalam saku mereka, masyarakat Indonesia menjadi lebih sadar kesehatan, tren yang menarik bagi perusahaan farmasi. Bukti mengubah kebiasaan konsumsi dapat ditemukan dalam peningkatan aktivitas pasar Indonesia untuk obat bebas.
Pada tahun 2014, obat bebas menyumbang sekitar 40 persen dari pasar farmasi di Indonesia; pada tahun 2015, angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 50 persen. Akibatnya, banyak produsen farmasi yang sebelumnya hanya berfokus pada obat resep mulai memasuki pasar OTC.
Perubahan signifikan yang berlangsung akan mengubah salah satu pasar farmasi terbesar di dunia, dan banyak perusahaan domestik dan multinasional akan semakin sibuk mencari dan memanfaatkan peluang di tahap awal ini.
Menurut Johannes Setijono, Ketua GP Farmasi Indonesia, sebuah asosiasi penting pemangku kepentingan dalam industri farmasi di Indonesia, banyak produsen Indonesia yang sudah beroperasi sesuai kapasitas. Walaupun mungkin mereka memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berinvestasi pada infrastruktur yang diperlukan untuk mengoptimalkan pabrik farmasi. Johannes Setijono yakin bahwa industri lokal di Indonesia dilengkapi dengan baik untuk menangani peningkatan aktivitas produksi." Jika ini berjalan lancar, Indonesia akan muncul sebagai salah satu pasar farmasi yang paling dinamis di dunia.
Sumber: Global Business Report
--------------------------------------------------
Artikel ini ditulis sebagai bagian dari penelitian GBR pada industri farmasi di Indonesia untuk publikasi Industri Explorations, Indonesia Farmasi 2015, yang akan diterbitkan pada bulan April 2015. Untuk berpartisipasi dalam laporan ini, silakan hubungi Vanessa Acuna Chapela di vanessa@gbreports.com