Luthfi Mardiansyah: Novartis Pasca Revisi Kode Etik IPMG

Terbatasnya ruang gerak perusahaan farmasi obat paten seringkali memicu aktivitas promosi yang tidak sehat. Dokter sebagai pelaku kesehatan terkait sering jadi sasarannya. Produsen obat paten memang dilarang beriklan. Akibatnya, salah satu usaha mereka memasarkan produk adalah dengan ‘merayu’ dokter dengan memberi sponsor untuk seminar di luar negeri, perlengkapan klinik, alkes, bahkan tak jarang yang memberi peralatan rumah tangga.

Luthfi Mardiansyah
Pendekatan yang tidak sehat ini ternyata menggelitik Luthfi Mardiansyah, Presiden Direktur Novartis yang juga Ketua IPMG (International Pharmaceutical Manufacturers Group). Ia mendukung implementasi kode etik IFPMA dan prinsip-prinsip APEC.

Kode etik itu mengatur hal-hal seperti kegiatan praktisi kesehatan di luar negeri, uang pengganti perjalanan, hiburan, transportasi, akomodasi, dan honor dokter sebagai pembicara. Selain itu diatur pula biaya kegiatan ramah tamah, institutional fee, cinderamata yang bersifat promosional, hadiah terkait budaya, biaya sebagai responden riset internal, serta sumbangan perusahaan.

Dengan semakin ketatnya kode etik yang diterapkan, Luthfi beranggapan bahwa hal itu justru menghindari kompetisi yang tidak sehat. Apakah ini berarti ada perubahan strategi promosi bagi Novartis sendiri? Berikut wawancara eksklusif SWA Online dengan Luthfi, Selasa (22/1).

Apakah revisi kode etik IPMG turut mengubah strategi pemasaran Novartis?
Kami malah sejalan dengan itu. Tidak ada perubahan apa-apa. Jadi mnurut saya kalau pharmaceutical mau dinilai sebagai industri yang bagus, justru kita harus punya aturan yang jelas seperti code of conduct. Selama ini pharmaceutical industry dicap sebagai biang keroknya harga obat mahal, praktek kolusi dengan dokter, dan sebagainya. Saya kira tidak semua seperti itu. Kita harus bersihkan dengan cara itu tadi. Dan code of conduct itu hanya bisa dijalankan kalau ada kerjasama dengan pihak IDI, dokter, rumah sakit, dan sebagainya.

Tidak khawatir obatnya kurang laku karena hubungan dengan dokter yang merenggang?
Saya tidak yakin itu terjadi. Justru dokter akan apreciate dengan Novartis dan multi national company yang lain. Sebetulnya kita memproteksi satu sama lain kok. Kasus yang terjadi di luar negeri, misalnya, oleh justice departement of America karena unetical. Itu perusahaan yang kena didenda ratusan juta dollar, dokternya juga kena, lisensinya dicabut. Itu artinya code of conduct memproteksi semua pihak. 

Kita akan bekerja, melakukan bisnis dengan baik, dan menurut saya code of conduct artinya kita mempromosikan obat sesuai dengan kebutuhan pasien, bukan karena kebutuhan bisnis.

Jangan sampai kita mensponsori dokter untuk mempengaruhi dokter meresepkan obat tertentu. Itu tidak boleh. Jadi kami melakukan sponsorship tanpa ada timbal balik. Itu jelas. Kmudian kita memberikan sponsor itu ke dokter untuk lebih banyak yang kita sebut continous medical education, pendidikan kedokteran berkelanjutan.

Artinya bahwa dokter punya kewajiban juga berdasarkan undang-undang kedokteran untuk meningkatkan kualitas pengobatan untuk kepentingan pasien. Kemudian banyak sekali informasi-informasi sistem pengobatan baru di dunia ini yang dokter harus tahu. Karena pasien sekarang sudah pintar. Ada internet, dia tahu ada obat di sana, di sini.

Kalau dokter tidak terupdate juga akan jadi masalah. Itu tujuannya. Kemudian code of conduct juga menghindari unfair competition. Jadi misalkan dokter diberi honor lebih mahal dari perusahaan A dibandingkan dengan perusahaan B, dokter akan terpengaruh, mau tidak mau. Itu yang kita hindari.

Kalau begitu, seberapa baik kode etik ini untuk industri farmasi?
Sangat bagus. Justru saya ingin menekankan itu. Kalau di Novartis sudah sangat jelas, tidak ada ampun untuk itu. Tapi di agen ini saya harus get along dengan 24 perushaan anggota IPMG ini. Jadi kalau ditanya komitmen, komitmen saya sangat tinggi. Resikonya? Banyak orang bilang, “Ah Novartis itu ketuanya IPMG, ngapain sih?”.

Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (2)

Ini tidak lepas dari tidak adanya Health financing system, seperti asuransi kesehatan nasional, aksesibilitas pelayanan kesehatan yang terbatas, kurangnya tenaga dokter, fasilitas kesehatan, dsb. Oleh karena itu perlu segera ditemukan wayout-nya terutama dalam hal membangun health financing system yang tepat, sehingga dapat mengurangi biaya kesehatan dari out of pocket. 

Memang prosedur switching cukup kompleks, karena itu GPFI bekerjasama dengan Nicholas Hall, konsultan yang memiliki reputasi dan data yang lengkap tentang kemajuan pasar OTC di dunia. Ini upaya awal kami untuk bisa meyakinkan BPOM dan Kementerian Kesehatan menerima usulan penambahan daftar obat-obat OTC dan membuka akses obat-obat tersebut untuk tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Tentu BPOM secara prosedur harus menilai obat-obat yang akan diusulkan itu dengan saksama dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. BPOM juga perlu meminta saran kepada para dokter agar sasaran dari switching ini dapat tercapai yakni meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Untuk hal-hal yang akan diinformasikan kepada konsumen beserta dosis, efek samping, cara pemakaian dsb, tentu juga harus dikonfirmasikan dengan laporan-laporan WHO yang memonitor efek samping obat di seluruh dunia agar tidak membahayakan pasien. 

Dengan kata lain calon obat-obat OTC itu benar-benar aman dan efek sampingnya terkontrol. Di negara-negara maju, biasanya Switching Rx-0TC diperjuangkan oleh originator, sebagai penemunya mereka yang paling tahu mengenai obat mereka. Tapi di Indonesia upaya seperti ini tidak banyak terlihat sehingga dalam hal switching ini kita tertinggal jauh. 

Mengapa baru saat ini gagasan itu muncul? 

Sebenarnya gagasan ini pernah dilakukan secara sporadis oleh GPFI di masa lalu, tetapi tidak pernah ada kelanjutan menjadi program yang sukses. Munculnya kembali gagasan ini terutama untuk meng-counter adanya anggapan bahwa harga obat terlalu mahal dan industri mengambil profit margin terlalu besar.

Kami telah lama memperjuangkan adanya health financing system yang sesuai untuk Indonesia dalam rangka meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia dan memperjuangkan pelaksanaaan SJSN secepatnya agar akses untuk pemeliharaan kesehatan di Indonesia  semakin menyentuh masyarakat luas.

Menurut Anda bagaimana kesiapan Pemerintah untuk melakukan Switching ini? 

Kalau saya melihat, pemerintah dalam hal ini BPOM, sebenarnya mereka selalu memonitor perkembangan dunia dalam hal Switching Rx ke OTC dan menurut keterangan yang saya peroleh sudah banyak molekul-molekul yang bisa diterima dan diloloskan, tetapi berhubung ijin untuk switching ini adalah wewenang Kementerian Kesehatan bukan BPOM maka prosesnya lebih kompleks daripada ijin registrasi obat. 

Tetapi saya berharap pada tahap awal agar BPOM bisa menerima masukan itu dan mengkaji dari pengalaman originator dari obat yang diusulkan tersebut dalam aspek keamanan dan ketepatan penggunaan obat, disamping bekerja sama dengan WHO. Saya juga menghimbau agar GPFI bekerjasama dengan IPMG untuk membantu BPOM mempersiapkannya agar usulan proyek ini kepada pemerintah dapat direalisasi dengan tahapan-tahapan yang sistematis. 

Artinya, apakah Switching Rx ke OTC akan cukup mudah atau sulit dilaksanakan? 

Yang namanya tantangan, tentunya tidak mudah, dan tidak setiap molekul Rx yang diusulkan dapat disetujui meskipun di luar negeri molekul tersebut telah 'di-OTC-kan'. Pemerintah akan mempertimbangkan banyak aspek, seperti kebutuhan obat di masyarakat, keamanan dan efektivitas obat itu, termasuk sosial ekonomi pada obat. Dan yang terpenting adalah impact dari switching ini terhadap kesehatan masyarakat yang nantinya akan mempengaruhi biaya pengobatan secara umum. Karena itu dalam projek switching Rx-OTC diperlukan pengetahuan yang baik dari masyarakat tentang obat, pengobatan dan kesehatan. 

Apalagi bila switching ini ingin dilaksanakan sekaligus pada banyak molekul Rx, tentu akan ada banyak faktor lain yang juga perlu diperhatikan termasuk cost benefit.

previous  |  next 

Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (3)

Pandangan Umum Willem Biantoro Wanandi Dewan Penasehat GP Farmasi Indonesia 

Lalu sejauhmana langkah GP Farmasi ?  
GPFI sudah memulai pengkajian untuk mendorong proyek ini, salah satu langkahnya adalah dengan mengundang pakar OTC, Nicholas Hall untuk membahasnya dan membantu merumuskan white paper yang akan diusulkan kepada BPOM, didalamnya memuat data-data pembanding yang cukup lengkap sebagai pertimbangan dan yang akan dijadikan acuan kebijakan untuk switching ini.

Kita juga meminta semua industri farmasi lokal, bahkan saat itu juga ada wakil dari beberapa industri farmasi asing yang hadir, untuk berdiskusi daftar obat-obatan yang menurut mereka perlu/dapat dilakukan switching.
Saya kira Pak Subowo bersama industri lokal dan asing tengah melakukan diskusi akan hal ini dengan bantuan Nicholas Hall, sehingga pada waktunya bisa diajukan kepada pemerintah. Saya jangan lupa industri farmasi yang mengambil peranan dalam menyebarluaskan obat-obat OTC tersebut juga harus melaksanakan uji Ba-Be bila memang diperlukan agar kualitas obat terjamin.

Terkait isu pelaksanaan SJSN yang saat ini masih berproses, tentunya membutuhkan obat resep dalam skala besar, jika industri farmasi berinisiatif untuk mengalihkan obat resepnya ke OTC. Tidakkah kontradiktif? 

Kebijakan SJSN adalah kebijakan pembiayaan kesehatan termasuk pengobatan. Sedangkan obat-obat yang akan dibiayai dalam rangka SJSN adalah terutama obat-obat esensial yang terdiri dari obat-obat Ethical dan OTC. Oleh karena itu Switching Rx-OTC tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan SJSN.

Biasanya di negara-negara lain obat OTC tidak termasuk dalam daftar obat yang dibiayai oleh asuransi kesehatan, tapi dibayar dari saku sendiri. Hingga saat ini belum ada pembicaraan tentang termasuk atau tidaknya obat obat OTC dalam rencana pembiayaan obat dari sumber SJSN. Bilamana pada waktunya nanti OTC harus dibayar dari out of pocket, karena misalnya obat obat tsb hanya akan mengobati penyakit penyakit yang ringan, maka hal ini dapat mengurangi budget SJSN untuk obat obatan.

Kita semua berharap SJSN secepat mungkin mendapatkan budget dari Pemerintah dan dapat dilaksanakan secara ber-tahap. Saya kira bila tahapannya benar, budget yang diperlukan tidak terlalu besar jumlahnya, mengingat manfaat yang diperoleh dari pelaksanan SJSN jauh lebih besar ketimbang dana yang dikeluarkan untuk SJSN. (erw)

previous  |

Top Ad 728x90