Indonesia Pharma 2011:Era Baru Telah Dimulai

Rencana menghapus pembatasan investasi luar negeri di sektor farmasi Indonesia harus memacu kenaikan investasi asing. Pemerintah Indonesia ingin menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor asing.

Indonesia Pharma 2011:Era Baru Telah Dimulai
Rencana menghapus pembatasan investasi luar negeri di sektor farmasi Indonesia harus memacu kenaikan investasi asing. Pemerintah Indonesia ingin menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor asing. 

Kebijakan ini dinilai dapat memecahkan kebuntuan atas upaya-upaya sebelumnya oleh pemerintah untuk memaksa perusahaan farmasi memproduksi secara lokal, dan bisa meningkatkan investasi di pasar farmasi Indonesia yang kini tumbuh makin cepat. Dan berharap mereka untuk memindahkan/membangun unit produksi mereka ke Indonesia.


Dari 29 perusahaan asing yang memasarkan obat mereka di Indonesia, lebih dari 10 dari mereka tidak memiliki fasilitas produksi.

Berdasarkan peraturan sebelumnya, perusahaan asing tidak diperkenan-kan memiliki saham lebih dari 75% dari setiap perusahaan manufaktur farmasi di Indonesia, memberi 25% saham di tangan mitra lokal. Inisiatif terbaru ini terjadi karena pemerintah berupaya menyediakan sistem kesehatan universal di negeri ini, untuk meningkatkan belanja kesehatan, meningkatkan fasilitas kesehatan, dan akses masyarakat luas terhadap obat-obatan.



-----------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Sejumlah Tantangan Hadang Industri Farmasi Indonesia 2015 
3) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi Indonesia 2014
4) Industri Farmasi Sulit Terapkan Aturan Jaminan Produk Halal
-----------------------------------------------

Belanja kesehatan sudah meningkat dengan cepat, meskipun dari tingkat sangat rendah. Diperkirakan belanja kesehatan di Indonesia menyumbang 2,8% dari PDB pada 2009, dibandingkan dengan 3,3% di Thailand dan 3,9% di Filipina.

Rencana pemerintah Indonesia untuk mengijinkan kepemilikan asing secara penuh pada perusahaan farmasi bertujuan untuk meningkatkan investasi luar negeri di sektor ini sehingga meningkatkan volume dan kualitas produksi lokal.

Ini akan membuat obat-obat inovatif buatan asing jauh lebih mudah diakses oleh masyarakat Indonesia dan lebih terjangkau bagi pemerintah untuk menyediakannya melalui sistem kesehatan nasional baru.

Inisiatif ini juga sejalan dengan kebijakan yang lebih luas untuk mendorong investasi asing guna membantu pemerintah mentargetkan pertumbuhan PDB 7% per tahun pada tahun 2014.

Aliran Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia menurun tajam setelah diterjang krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an. Krisis itu memakan waktu sekitar 6 tahun bagi investasi untuk kembali mengambil langkah strategis. Situasi 'kusut' itu mengakibatkan kurang-nya belanja fasilitas manufaktur, mesin dan produk telah mengorbankan produktivitas dan makin menumpulkan daya saing.

Tetapi stabilitas politik, pertumbuhan ekspor dari komoditas lain (seperti batu bara, nikel, dan karet), agenda reformasi ekonomi dan liberalisasi semuanya tergabung untuk meningkatkan kepercayaan investor. Menurut Wall Street Journal, perusahaan asing mencatat investasi sebesar 80% dari $ US 10 milyar pada sektor swasta pada semester pertama tahun 2010.

Pada bulan Juni tahun 2010, Kementrian RI mengumumkan bahwa sektor pertanian nasional akan terbuka bagi investor asing untuk pertama kalinya. Pemerintah juga menaikkan investasi pada tingkat maksimum di sektor-sektor termasuk kesehatan, transportasi dan pendidikan. Pemerintah berharap bahwa dengan membuka sektor-sektor kunci itu, dapat menarik investasi luar negeri, teknologi maju dan know-how Indonesia dalam menghadapi persaingan ketat dari pesaing regional seperti Vietnam dan Cina.

Memacu Produksi

Kebijakan untuk memungkinkan kepemilikan asing hingga 100% di sektor farmasi mendapat sambutan baik dari perusahaan farmasi asing, setelah selama beberapa tahun mengalami tekanan berat dari tangan pemerintah Indonesia.

Upaya memaksa perusahaan multinasional untuk memproduksi obat mereka di pabrik Indonesia, bukan hanya untuk mengimpor dan memasarkan produk mereka ke Indonesia, memang dinilai tidak populer.

Pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan peraturan baru yang ditetapkan tenggang waktu dua tahun di mana perusahaan multinasional harus mendirikan fasilitas produksi di Indonesia atau risiko kehilangan ijin mereka untuk menjual obat-obatan di negeri ini.

Dari 29 perusahaan multinasional memasarkan obat mereka di Indonesia pada tahun 2008, sebanyak 13 dari mereka tidak memiliki fasilitas produksi. Ini termasuk beberapa pemain global terkemuka seperti Wyeth, Eli Lilly, Roche, Novo Nordisk, AstraZeneca dan Astellas.

Meskipun memiliki potensi pasar, banyak dari perusahaan-perusahaan ini bersama dengan badan-badan usaha seperti Kamar Dagang Amerika Serikat memprotes keputusan tersebut. Mereka berpendapat bahwa dua tahun tidak cukup waktu bagi mereka untuk mencari mitra lokal, dan bahwa beberapa produsen lokal memiliki kemampuan untuk memproduksi produk mereka pula.

Mereka juga berpendapat bahwa jika mereka melakukan investasi pada fasilitas manufaktur farmasi di Indonesia, mereka berkeinginan mendistribusikan obat mereka yang dibuat secara regional untuk memaksimalkan keuntungan dari investasi mereka, sehingga mengambil keuntungan penuh dengan biaya rendah di negara tempat beroperasi dan untuk menggunakannya sebagai regional hub.

Namun, mereka mengatakan, meskipun banyak perusahaan lokal yang tertarik dalam memproduksi untuk pasar lokal, beberapa sedang mencari cara untuk memperluas kapasitas dan diversifikasi rentang produk untuk distribusi regional.

Salah satunya adalah Kalbe Farma, produsen obat terbesar asal Indonesia, adalah salah satu dari pemain lokal yang telah berhasil menegaskan dirinya di area internasional. Perusahaan ini mengekspor obat ke Malaysia, Filipina, Thailand dan Sri Lanka, serta Afrika Selatan dan Nigeria.

Tapi beberapa perusahaan lain telah bersiap untuk memperluas cakrawala mereka lebih dulu. Ini artinya, bagi perusahaan multinasional untuk menemukan perusahaan lokal di Indonesia dengan kapasitas dan visi yang akan menjadi mitra perusahaan patungan tidak gampang.

Keputusan untuk membuka 100% foreign ownership di sektor farmasi dimaksudkan untuk mengatasi berbagai masalah. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan bahwa pemerintah ingin menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor asing. Ia berharap perusahaan asing untuk memindahkan unit produksi mereka ke Indonesia.

Jika itu benar, perusahaan obat maka seluruh dunia cenderung untuk melihat lebih dekat pada pasar yang saat ini perkembangannya kian menguat.

Rendahnya pendapatan per kapita sejauh ini berarti bahwa permintaan tertinggi pada obat generik dan over-the-counter yang murah. Namun meningkatnya pendapatan dan perubahan profil penyakit berarti bahwa konsumsi obat-obat resep bermerek (target dari perusahaan multinasional) harus meningkatkan signifikan dalam jangka menengah-panjang.

Deutsche Bank telah memperkirakan bahwa jumlah orang di Indonesia golongan berpenghasilan menengah akan naik dua kali lipat menjadi 52 juta orang pada tahun 2015. Pada saat yang sama, populasi akan meningkat dari sekitar 240 juta menjadi sekitar 253 juta selama empat tahun ke depan.

Dengan adanya penarikan policy tentang pembatasan kepemilikan asing dan makin tumbuhnya permintaan obat, maka perusahaan farmasi asing akan lebih tajam untuk menginvestasikan modal mereka.

Pemerintah juga telah berjanji untuk memacunya melalui reformasi kebijakan, birokrasi, administrasi dan pajak guna memperbaiki lingkungan di banyak sektor seperti industri farmasi.

Mungkin perusahaan farmasi pertama yang akan berinvestasi adalah mereka yang sudah memegang saham mayoritas di fasilitas manufaktur dalam suatu kerjasama ventura, seperti Pfizer dan GlaxoSmith-Kline. Mereka melihat adanya perubahan sebagai peluang untuk meningkatkan saham mereka, dan meningkatkan kontrol atas usaha mereka dengan tujuan memaksimalkan keuntungan.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang selama ini masih menahan diri dari investasi dapat melihat ini sebagai sinyal bahwa saat ini waktunya tepat untuk bergerak masuk lebih ke dalam.

Selama dapat mendorong konsolidasi di pasar yang saat ini sangat fragmented, perusahaan multinasional akan 'memindai' perusahaan-perusahaan lokal untuk target akuisisi potensial guna meningkatkan pangsa pasar mereka. Dan sebagai respons terhadap kekuat-an pesaing asing di kandang sendiri, produsen dalam negeri kemungkinan akan terlibat dalam serangkaian merjer dan akuisisi.

Entah apakah itu akan terjadi, tapi tampaknya banyak pihak sepakat bahwa suatu era baru telah dimulai di Indonesia. (erw)

Top Ad 728x90