,

Opini: Obat Wajib Halal? (1)

Perdebatan Halal dan Haram untuk obat sudah lama muncul di negara ini dan sudah berdampak dengan penolakan beberapa calon Jemaah Haji untuk menggunakan vaksin yang dapat mencegah calon jemaah terjangkit penyakit influensa.

Obat Wajib Halal
Perdebatan Halal dan Haram untuk obat sudah lama muncul di negara ini dan sudah berdampak dengan penolakan beberapa calon Jemaah Haji untuk menggunakan vaksin yang dapat mencegah calon jemaah terjangkit penyakit influensa.

Perdebatan mengenai wajib halal bagi obat perlu di sikapi dan di telaah secara hati2 agar manfaatnya lebih banyak daripada masalah yang ditimbulkan. Halal haram menurut Dr Abdul Malik Ghozali,Lc MA lebih identik dengan pangan (1). Sekarang bagaimana dengan obat?


Halal dalam bahasa Arab berarti yang diperbolehkan, sedangkan haram adalah yang di larang. Di dalam Islam, segala aspek kehidupan seorang muslim dalam menjalani kehidupan didunia ini telah di atur dan di jelaskan oleh Al-Qur’an. Pengaturan dan penjelasan yang terdapat dalam kitab suci ini ada yang dijabarkan secara garis besar dan ada yang rinci, ada yang jelas dan ada pula yang syubhat (samar) yang memerlukan ijtihad dari ulama.


Seorang muslim diwajibkan untuk memakan makanan yang baik dan halal. Aturan tentang hal ini sangat rinci dan jelas, mulai dari cara mendapatkannya (substansial), materinya(material) dan prosesnya. Secara substansial, makanan harus di peroleh secara baik, tidak dari hasil merampok, menipu dan korupsi (Q2:172, Q16:114, Q20:81), termasuk mendapatkan makanan dari rampasan perang yang diatur dalam Q8:69 dan yang diperoleh dari berburu (Q5:4,Q5:96) atau yang diperoleh dari pemberian orang lain (Q5:5).


------------------------------
Simak juga:
Industri Farmasi Sulit Terapkan Aturan Jaminan Produk Halal
------------------------------

Di dalam Al-Qur’an, secara material, seperti bahan makanan yang diperbolehkan untuk dimakan dan yang dilarang, juga dijabarkan secara rinci dan jelas. Buah- buahan (Q6:141), hasil laut (Q5:96), daging dari binatang ternak, daging dari hasil buruan dan sebagainya. Daging yang diperoleh dari binatang ternak, dapat menjadi bahan makanan halal bila telah melalui proses penyembelihan sesuai aturan (Q2:173, Q5:3, Q6:145). Secara material yang dilarang (haram) dimakan adalah bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah (Q2:173, Q5:3, Q16:115). Empat hal ini dilarang karena kotor (Q6:145). Alkohol (khamar) dilarang karena efek/dampaknya (Q2:219, Q5:90, Q5:91).

Banyak negara di dunia sudah mempunyai aturan tentang “Makanan Halal”, seperti Kanada, Australia, Malaysia, Gulf Cooperation Council dan lain lain. Undang-undang Makanan Halal (Halal Food Regulation/Law) umumnya berisi aturan tentang proses pemenggalan. Malaysia memiliki Guidelines atau standar Produksi, Penyiapan, Penanganan dan Penyimpanan Makanan Halal. Di Indonesia, agak tertinggal, hal ini mungkin karena pembahasan RUU-JPH (Jaminan Produk Halal) terkatung katung sejak periode 2004-2009 (2).

Tidak seperti negara lain, rancangan ini cakupannya sangat luas, karena “Produk”, sehingga tidak hanya makanan, akan tetapi juga obat, kosmetik, alat kesehatan dan lainnya harus di jamin halal. Pertanyaan penting yang harus di jawab, apakah obat wajib halal seperti makanan? Kembali kepada Q2:173 yang secara jelas menyatakan bahwa haram dimakan; bangkai, babi, darah dan binatang yang disembelih dengan menyebut selain Allah.

Akan tetapi, selain melarang ayat ini juga memberi pengecualian kepada siapa yang terpaksa memakannya, bukan karena menginginkannya, dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Sehingga bila makan obat masuk dalam kategori terpaksa memakan (karena bukan keinginannya) karena sakit, apakah hal ini bisa diterima?

Selain itu makan (menelan) obat tidak boleh melampaui batas, ada takaran/dosis yang harus dipenuhi, karena bila melebihi akan menimbulkan efek yang tidak menyenangkan dan merugikan. Dalam hal ini apakah obat bisa diterima sebagai pengecualian?
Apakah obat itu? Menurut Kep.Menkes No 193/Kab/B.VII/71, obat adalah suatu bahan atau paduan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.

Dari definisi ini terlihat sangat jelas, bahwa obat berbeda dengan makanan. Sebagai contoh adalah obat yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit TBC. Pasien harus minum satu kali sehari sebanyak 3-4 macam obat selama berberapa bulan tergantung keparahan penyakitnya. Pasien terpaksa minum meskipun tidak menyukainya karena tabletnya besar dan mempunyai efek samping mual.

Obat TBC adalah antibiotik yang salah satunya adalah rifampicin. Rifampicin adalah hasil produksi dalam laboratorium dengan menggabungkan 2 zat dengan kondisi tertentu menggunakan pelarut yang salah satunya adalah turunan alkohol (3). Rifampicin yang dihasilkan, secara material, jelas bersih karena bukan berasal dari ke empat hal yan dilarang dan juga sudah melalui syarat kemurnian.

Zat hasil reaksi ini juga dibuat di dalam laboratorium yang syarat kebersihannya sangat tinggi. Serbuk rifampicin ini kemudian di bentuk tablet, agar stabil, mudah dibawa dan disimpan, sekaligus mengurangi rasa tidak enak. Serbuk ini juga dapat dibuat sirup dan injeksi.

Dalam produksi tablet umumnya memerlukan bahan tambahan yang diantaranya adalah gelatin yang dapat digunakan pengikat berbagai serbuk agar kompak saat dicetak dan sekaligus sebagai pemecah tablet setelah di dalam lambung. Pembuatan sirup dan juga injeksi umumnya juga menggunakan gelatin sebagai bahan pembatu kelarutan atau menyatukan serbuk yang tidak bisa campur menjadi campur dengan air.

| next page: Opini: Obat Wajib Halal? (2) |

Top Ad 728x90