Pasalnya, banyak sektor
di Indonesia yang sangat menarik bagi investor. Pendidikan dan farmasi
merupakan sektor yang sangat mendesak untuk dikembangkan, karena bagian dari
penyediaan fasilitas publik dan kebutuhan dasar masyarakat.
Sedangkan untuk sektor migas, dalam jangka pendek akan menguntungkan, namun harus dipertimbangkan dampak jangka panjangnya, apakah masih menguntungkan Indonesia. “Belum dibuka saja sudah kalah (bersaing), apalagi kalau sudah dibuka. Jadi, ini harus benar-benar dipikirkan,” katanya.
Eko menilai pemerintah harus berkaca dari sektor-sektor yang sudah dibuka, seperti sektor perbankan, yang dibuka sebesar 99%. Pembukaan sektor strategis untuk asing akan menjadikan Indonesia sangat bergantung pada asing dan mengurangi kedaulatan negara.
-----------------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014
-----------------------------------------------------
Telisa Falianty, Pengamat EC Think, mengatakan serbuan asing akan semakin banyak. Pembukaan sektor pendidikan akan memperketat persaingan dan banyak tenaga lokal akan tersingkir. “Hal sama juga terjadi di farmasi yang sudah banyak dipegang asing, industri dalam negeri harus memacu kualitas untuk bisa survive,” terangnya.
Pertumbuhan Pasar
Kementerian Kesehatan menilai rencana revisi DNI yang melonggarkan kepemilikan asing dari 75% menjadi 100% akan mendorong investasi sekitar US$ 500 juta.
Berdasarkan data Frost & Sullivan, proyeksi pertumbuhan pasar farmasi nasional di atas rata-rata pertumbuhan pasar farmasi di Asia Tenggara yang tumbuh 9,6% per tahun. Pasar farmasi Indonesia pada mencapai US$ 4,8 miliar, sementara pasar farmasi Asia Tenggara mencapai US$ 16 miliar di 2011 dan diproyeksikan meningkat menjadi US$ 23 miliar di 2015.
Sepanjang periode Januari-September 2012, lima perusahaan farmasi lokal mencatat rata-rata pertumbuhan pendapatan 13,8%, melampaui rata-rata 4 pemain farmasi asing 10,9%. Pertumbuhan yang dicatat lima perusahaan farmasi lokal, yakni PT Kalbe Farma, PT Tempo Scan Pacific, PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Pyridam Farma, relatif lebih merata dibanding 4 pemain asing, yakni PT Darya-Varia Laboratoria, PT Merck, PT Schering Plough Indonesia, dan PT Taisho Pharmaceutical Indonesia.
Indonesia memiliki peluang besar menjadi pasar untuk industri farmasi meski industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Industri farmasi nasional masih harus mengimpor bahan baku farmasi dari India, Cina, dan sejumlah neagra di Eropa. Kesulitan bahan baku ini, karena belum adanya dukungan dari pemerintah.
China menjadi kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Jika sudah kompetitif, pelan-pelan subsidi itu dicabut oleh pemerintah.
Pada 2010 total nilai industri farmasi di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 3,7 miliar dan diperkirakan mencapai US$ 4,7 miliar pada tahun lalu. Kalangan pengusaha farmasi memperkirakan pada 2014 angka tersebut naik menjadi US$ 6,1 miliar yang 25% di antaranya untuk keperluan bahan baku yang kebanyakan masih diimpor. (dbs)
| previous |
Baca juga : Hadapi ASEAN Integrity, Pemerintah Ubah Aturan DNI Farmasi
Sedangkan untuk sektor migas, dalam jangka pendek akan menguntungkan, namun harus dipertimbangkan dampak jangka panjangnya, apakah masih menguntungkan Indonesia. “Belum dibuka saja sudah kalah (bersaing), apalagi kalau sudah dibuka. Jadi, ini harus benar-benar dipikirkan,” katanya.
Eko menilai pemerintah harus berkaca dari sektor-sektor yang sudah dibuka, seperti sektor perbankan, yang dibuka sebesar 99%. Pembukaan sektor strategis untuk asing akan menjadikan Indonesia sangat bergantung pada asing dan mengurangi kedaulatan negara.
-----------------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014
-----------------------------------------------------
Telisa Falianty, Pengamat EC Think, mengatakan serbuan asing akan semakin banyak. Pembukaan sektor pendidikan akan memperketat persaingan dan banyak tenaga lokal akan tersingkir. “Hal sama juga terjadi di farmasi yang sudah banyak dipegang asing, industri dalam negeri harus memacu kualitas untuk bisa survive,” terangnya.
Pertumbuhan Pasar
Kementerian Kesehatan menilai rencana revisi DNI yang melonggarkan kepemilikan asing dari 75% menjadi 100% akan mendorong investasi sekitar US$ 500 juta.
Berdasarkan data Frost & Sullivan, proyeksi pertumbuhan pasar farmasi nasional di atas rata-rata pertumbuhan pasar farmasi di Asia Tenggara yang tumbuh 9,6% per tahun. Pasar farmasi Indonesia pada mencapai US$ 4,8 miliar, sementara pasar farmasi Asia Tenggara mencapai US$ 16 miliar di 2011 dan diproyeksikan meningkat menjadi US$ 23 miliar di 2015.
Sepanjang periode Januari-September 2012, lima perusahaan farmasi lokal mencatat rata-rata pertumbuhan pendapatan 13,8%, melampaui rata-rata 4 pemain farmasi asing 10,9%. Pertumbuhan yang dicatat lima perusahaan farmasi lokal, yakni PT Kalbe Farma, PT Tempo Scan Pacific, PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Pyridam Farma, relatif lebih merata dibanding 4 pemain asing, yakni PT Darya-Varia Laboratoria, PT Merck, PT Schering Plough Indonesia, dan PT Taisho Pharmaceutical Indonesia.
Indonesia memiliki peluang besar menjadi pasar untuk industri farmasi meski industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Industri farmasi nasional masih harus mengimpor bahan baku farmasi dari India, Cina, dan sejumlah neagra di Eropa. Kesulitan bahan baku ini, karena belum adanya dukungan dari pemerintah.
China menjadi kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Jika sudah kompetitif, pelan-pelan subsidi itu dicabut oleh pemerintah.
Pada 2010 total nilai industri farmasi di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 3,7 miliar dan diperkirakan mencapai US$ 4,7 miliar pada tahun lalu. Kalangan pengusaha farmasi memperkirakan pada 2014 angka tersebut naik menjadi US$ 6,1 miliar yang 25% di antaranya untuk keperluan bahan baku yang kebanyakan masih diimpor. (dbs)
| previous |
Baca juga : Hadapi ASEAN Integrity, Pemerintah Ubah Aturan DNI Farmasi