Potret Terkini Reformasi Kesehatan Nasional (Menuju Era SJSN)

Potret Terkini Reformasi Kesehatan Nasional (Menuju Era SJSN)Pembangunan bidang kesehatan masyarakat perlu lebih memusatkan diri kepada meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka menyadari pentingnya hidup dan bergaya hidup sehat. Proses penyadaran ini hendaklah diposisikan sebagai kegiatan yang bersifat bottom-up, di mana masyarakat diposisikan selaku subyek dan pelaku pembangunan kesehatan.

Di abad millenium ini selalu ada tantan­gan dan peluang da­lam setiap persoalan ekonomi dan bisnis internasional. Persaingan global dan krisis ekonomi tidak boleh membuat bangsa Indonesia me­nyerah, walaupun pertumbu­han ekonomi di negara-negara Amerika Utara dan Eropa Ba­rat semakin melambat, masih ada negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, atau nega­ra-negara berkembang lainnya yang pertumbuhan ekonomin­ya cenderung stabil hingga akh­ir tahun. Bagaimana solusi un­tuk menghadapinya?

Opini: Mengapa Harga Obat di Indonesia Beda?

Sebagian besar masyarakat menganggap harga obat di Indonesia cenderung mahal dibandingkan di negara-negara lain. Bahkan, pemerintah sendiri sering menuding sebagian besar perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia mematok marjin keuntungan yang besar untuk obat-obatan yang diproduksinya. 

Meskipun selalu mendapat bantahan dari kalangan industri terkait besarnya marjin keuntungan yang diperoleh. Dengan berbagai argumen yang industri menyatakan bahwa harga obat di Indonesia relatif terjangkau oleh masyarakat dalam negeri. 


Ada beberapa pertimbangan yang dapat menjelaskan mengapa harga berbeda antar-negara. Pertama, ada perbedaan dalam selera dan preferensi yang mempengaruhi permintaan. Ada perbedaan yang signifikan antara kebudayaan yang berbeda [Payer, 1988]. Hal ini berlaku untuk pilihan obat serta kuantitas obat (dosage) dan bentuk administrasinya. 

Mengawal Projek Switching Rx to OTC di Indonesia (1)

Pandangan Umum Willem Biantoro Wanandi
Dewan Penasehat GP Farmasi Indonesia

Peralihan Obat Etikal (Rx) ke golongan Obat Bebas (OTC) merupakan peluang bisnis yang menarik bagi industri farmasi. Selain itu dapat membantu meningkatkan aksesibilitas obat-obat tersebut kepada masyarakat luas, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Tentunya ini dilakukan pada obat yang telah terbukti aman dan efektif khususnya untuk mengatasi penyakit yang ringan.

Disisi lain, switching Rx-OTC dinilai bisa mengurangi biaya kesehatan secara keseluruhan, karena akan memperpendek rantai pasokan obat dengan meminimalisir peran dokter dalam konsultasi dan penulisan resep.

Di bidang farmasi, switching bukan hal yang baru. Sebagian besar negara-negara maju telah melakukannya secara berkala. Banyak obat-obat Rx telah beralih menjadi OTC dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat atas obat, meningkatkan kesehatan masyarakat, menurunkan biaya pengobatan, meningkatkan peran apoteker, meningkatkan pasar obat.

Namun di Indonesia, switching Rx-OTC belum berkembang, oleh karena itu banyak molekul-molekul Rx yang sampai saat ini masih tetap diperlakukan sebagai obat Rx oleh BPOM/Menkes, sementara di luar negeri telah digolongkan sebagai obat OTC.

Padahal dengan mengacu pada laporan monitoring efek samping dan keamanan obat-obat Rx yang dilakukan oleh WHO bekerjasama dengan institusi-institusi yang terkait/terpilih dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk melakukan switch di Indonesia.

Bila obat telah terbukti keamanannya, efek sampingnya terkontrol dan sudah dikenal sejak lama oleh dunia kesehatan, perlu dipertimbangkan perubahan statusnya dari Rx menjadi OTC, misalnya obat-obat alergi, anti jamur, beberapa jenis antibiotika, corticosteroid, bahkan obat AIDS.

Dalam hal ini pihak pemerintah dan industri farmasi di Indonesia bisa melakukan kajian bersama tentang apa dan bagaimana pelaksanaan switching yang telah dilakukan di negara maju, untuk tujuan memberi manfaat ekonomis dan kesehatan bagi masyarakat.

Menurut Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Peraturan (GPFI), isu tentang switching dari Rx ke OTC di Indonesia, sebaiknya kembali dibahas di tingkat kementerian, mengingat saat ini hanya Menkes yang berwenang untuk mengaturnya, dalam hal ini BPOM sebagai lembaga yang mengusulkan dan memberi dukungan data.

GPFI menilai switching ini sangat relevan untuk dilakukan di Indonesia karena jumlah dokter yang terbatas dan masyarakat merasa biaya pelayanan kesehatan cukup mahal. GPFI berinisiatif untuk membahas dan mendorong agar prosedur switching di Indonesia ini dapat berjalan lebih lancar sesuai prosedur. Pada Mei 2011, GPFI telah mengundang Nicholas Hall, seorang konsultan OTC untuk melakukan kajian-kajian tantang apa yang telah dilakukan oleh negara yang lebih maju, pandangan pihak regulator setempat, kendala-kendala dan antisipasi switching.

Menindaklanjuti gagasan ini, redaksi Media Pharma Indonesia menemui Dewan Penasehat GP Farmasi DR Willem Biantoro Wanandi untuk memperoleh pandangan seberapa penting proyek Switching Rx-OTC ini dan apa yang perlu dilakukan untuk mengawalinya? Berikut petikan perbincangan redaksi dengan DR Biantoro yang juga sebagai Chairman Anugerah Corporation di kantornya di Graha Atrium, Jakarta;

Pak Wanandi, alasan apa yang melatarbelakangi inisiatif GPFI mendorong projek 'Switching Rx ke OTC'?

Kami berpendapat bahwa pengembangan pasar obat oleh industri farmasi di Indonesia dirasakan cukup berat, karena berkembang lambat dan terbatas. Ini terlihat dari rendahnya belanja tahunan obat Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN (Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura) .

next  |

Adakah Kebijakan Obat Nasional?


Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum PB IDI

Pada awal tahun 1970-an Indonesia membuka kesempatan bagi industri farmasi internasional menanam modal di Indonesia. Mulailah penanam modal asing bidang farmasi berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

Kala itu, pemerintah Indonesia menetapkan, setelah 5 tahun beroperasi, industri farmasi asing harus sudah memproduksi bahan baku di Indonesia. Kemudian, dibuka pula kesempatan bagi modal dalam negeri untuk membuka pabrik farmasi.

Dalam waktu singkat jumlah merek dan jenis obat jadi di Indonesia meningkat cepat. Salah satu alasan dibiarkannya begitu banyak jenis dan merek obat adalah persaingan mereka di pasar sehingga harga makin murah. Sulit dimengerti bahwa pakar farmasi di Departemen Kesehatan menyamakan perdagangan obat dengan baju, yang semakin banyak merek semakin murah harganya.

Persaingan obat dan baju sangat berbeda. Dalam produk konsumsi, seperti baju, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama sekali tidak tahu mana yang harus ia beli, mana yang paling cocok dengan penyakitnya, dan mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter. Konsumen terpaksa membeli, berapa pun harganya. Maka, persaingan terjadi dengan cara membujuk dokter agar meresepkan produk tertentu.

Obat Esensial
Kebijakan pertama seharusnya menetapkan jenis obat apa saja yang secara esensial diperlukan rakyat Indonesia. Di luar jenis itu, seharusnya ijin memproduksi dan mengedarkannya dipersulit. Di situlah perlunya pemerintah menyusun Daftar Obat Esensial (DOE) tanpa menentukan merek dagang yang akan beredar asal mutunya memenuhi syarat. DOE selanjutnya menjadi pedoman bagi rumah sakit pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk pengadaan obat. Dengan demikian, ada efisiensi penggunaan dan pemantauan rezim terapi.

Banyaknya jenis obat yang beredar saat ini membuat persaingan tidak sehat dan berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi yang efektif dan efisien. Jenis yang sangat banyak dan merek dagang yang juga sangat banyak ini akibat mudahnya pemerintah memberi izin (terutama lokal) untuk membuka pabrik obat. Banyak yang sebenarnya tidak profesional dan bahkan tidak berlatar belakang membuat obat.

Sebagian besar dari mereka hanya menjadi perakit obat dengan hanya bermodal membeli mesin dan bahan pembuat obat. Bandingkan, misalnya, dengan Bayer atau Hoechst (dulu) yang bermula dari pabrik kimia dan kemudian melalui penelitian dapat menemukan bahan berkhasiat obat.

Akibat perizinan yang begitu lunak—tanpa melihat jangka panjang—industri farmasi lokal berkembang sangat cepat. Padahal, pangsa pasar sangat kecil. Mereka kemudian hanya memproduksi obat-obat ”latah” (meniru). Ini pula yang membuat merek dagang untuk jenis yang sama menjadi sangat besar.

Untuk memenangi pasar, mereka berusaha mendapat izin edar lebih dulu dari pesaing— yang membuka peluang korupsi—dan berikutnya membujuk dokter.

Kebijakan Harga
Para pejabat di Depkes dulu berprinsip biar pasar yang mengatur harga obat. Depkes hanya mengatur kapan pabrik obat boleh menaikkan harga produk. Akan tetapi, seperti telah disebut, pasar obat berbeda jauh dengan pasar produk lain.

Ketentuan ini lagi-lagi menjadi peluang untuk korupsi. Karena tidak ada kebijakan yang terarah, industri farmasi lokal yang hanya menjadi perakit obat bebas menentukan harga produk. Pada umumnya mereka menetapkan harga mendekati harga yang ditentukan industri penemu untuk mengesankan bahwa mutu mereka tidak berbeda dengan produk orisinal tersebut. Padahal, industri lokal tidak pernah melakukan riset awal.

Tidak selayaknya mereka dibebaskan menentukan harga produk mendekati harga produk orisinal. Pemerintah seharusnya menetapkan bahwa harga obat tiruan maksimal 60-70 persen dari harga obat orisinal karena tidak ada beban biaya riset. Bahkan bahan bakunya pun dibeli dari pasar di luar penemu awal, misalnya dari India, Hongaria, dan China, dengan harga jauh lebih murah daripada harga di negara penemu awal.

Bahan baku tersebut secara bebas dapat diproduksi oleh negara lain setelah masa perlindungan patennya habis. Jadi, sebenarnya yang dibuat industri lokal bukanlah obat paten, melainkan obat generik yang diberi merek dagang tersendiri.

Seandainya pemerintah tegas dalam menentukan batas harga obat tiruan atau generik bermerek tersebut, harga obat tidak seenaknya ditetapkan oleh industri nasional dengan keuntungan sangat besar.

Bahan Pembuat Obat
Setelah lima tahun pertama, tidak satu pun industri farmasi memproduksi bahan baku di sini dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Alasannya sederhana saja, selain fasilitas dan kemampuan riset obat di Indonesia sangat lemah, pangsa pasar bahan baku obat di Indonesia sangat kecil sehingga tidak ekonomis untuk berproduksi di sini.

Pemerintah waktu itu mungkin berpikir bahwa membuat obat seperti membuat kerupuk. Bahan bakunya cukup tepung dan garam. Jadi, ketika kita mensyaratkan agar industri farmasi membuat bahan baku obat di Indonesia, tidak terpikirkan bahwa bahan baku obat memerlukan dukungan industri hulu yang sesuai serta riset yang lama dan mahal.

Bahkan banyak industri farmasi dunia bergabung karena biaya riset semakin mahal dan persyaratan riset obat semakin ketat. Kalau hanya membuat bahan baku yang mudah diperoleh di pasar internasional, mengapa pula harus repot membuat sendiri di Indonesia yang pangsa pasarnya masih sangat kecil. Jumlah penduduk Indonesia memang besar, tetapi konsumsi obat per tahun dan per kapita masih sangat kecil.

Sampai sekarang tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri hulu bagi produk obat. Jangankan bahan baku obat, untuk bahan pembantu saja pengembangannya tidak dipikirkan. Obat tidak hanya terdiri dari bahan baku zat aktif, tetapi diperlukan juga pencampur yang memenuhi syarat. Bahan bantu itu, antara lain, tepung khusus, gula khusus, perekat, dan kapsul, yang sampai sekarang tidak terpikirkan oleh pemerintah.

Produksi bahan bantu tidaklah sesulit membuat bahan baku aktif dan mempunyai peluang diekspor ke negara lain. Selama ini hampir 90 persen bahan pembuat obat (bahan aktif dan bahan bantu) diimpor. Industri dalam negeri hanya merakitnya menjadi obat jadi.

Selama kita tidak memikirkan masalah ini, Indonesia akan terus sebatas menjadi negara perakit obat yang tidak akan pernah mandiri. Harga obat pun akan terus menjadi beban bagi rakyat dan negara. (kompas,com)

Related Post:

Farmasi Indonesia Memasuki Era Low Price-Low Profit yang Rawan

Sebuah Pandangan Umum Anthony Ch Sunarjo
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (2007-2011)

Farmasi Indonesia Memasuki Era Low Price-Low Profit yang Rawan
Melihat pertumbuhan yang baik di sektor farmasi belakangan ini merupakan prestasi yang patut disyukuri. Sebagian besar perusahaan farmasi menikmati iklim perekonomian yang cukup kondusif. Pasar tumbuh semakin baik dengan meningkatnya daya beli masyarakat secara umum. 

Bahkan, saya mendapat laporan bahwa dalam tiga bulan terakhir pasar farmasi domestik tumbuh mencapai 14-15%.

"2011: Tahun yang menantang bagi industri farmasi nasional"  

Sebelum saya menjadi anggota legislatif pada tahun 2004-2009, saat itu saya melihat dengan pandangan horisontal, sama dengan rekan-rekan dalam posisi sebagai pebisnis yang terhimpun dalam asosiasi yaitu Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia.

Tetapi sepanjang tahun 2004-2009, saya mulai melihat melalui bingkai yang besar dan memandang situasi dan perkembangan di sektor kesehatan, dalam kepentingan banyak pihak, baik dari sisi legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Saya melihat upaya-upaya pemerintah dalam setiap departemen, hubungan antar departemen, melihat bagaimana hubungan pusat dengan daerah, dan mengkaitkannya dengan sektor kesehatan dan farmasi, meskipun sebagian besar dalam bingkai besar (makro).

Ini yang akhirnya membuat lebih kompleks bagaimana memandang dan menyikapi perkembangan situasi di sektor kesehatan khususnya farmasi. Meski saat ini (2011), saya tidak lagi sebagai anggota legislatif, tapi masih membantu dewan perwakilan daerah dalam lembaga yang disebut Budget Office, suatu institusi yang mendukung legislatif untuk melakukan kajian-kajian ekonomi keuangan.

Dari situ saya bisa melihat bagaimana upaya pemerintah memperjuangkan kepentingan masyarakat. Salah satu contoh yang cukup banyak orang menyimak, adalah pada waktu Obama berupaya meng-goal-kan undang-undang kesehatan di AS. Pada saat itu sebanyak 34 anggota legislatif berasal dari Parta Demokrat sendiri tidak memihak pada undang-undang itu sebelumnya. Bukannya dari Partai Republik (yang sepenuhnya memang tidak memihak undang-undang itu).

Tetapi begitu muncul kajian dari budget office-nya Kongres yang menyatakan bahwa dalam tempo 10 tahun itu jika undang-undang kesehatan ini dilaksanakan akan terjadi penghematan kurang lebih US$ 9 milyar. Kajian budget office itu diumumkan pada saat terakhir, seminggu sebelum pengambilan keputusan. Hasilnya dari 34 anggota DPR dan Senator dari Partai Demokrat yang menolak itu, sebanyak 32 suara berbalik mendukung undang-undang itu. Dan ketika dilakukan pemungutan suara Obama menang 1 suara.

Jadi ini adalah pandangan pemerintah di area legislatif dalam memperjuangkan kemakmuran masyarakat, dalam kajian-kajian dan analisa makro ekonomi untuk menyeimbangkan anggaran belanja pemerintah. Sekarang ini di Indonesia sedang muncul kebangkitan nasional. Kalau beberapa tahun lalu banyak perusahaan dalam negeri diambil alih oleh perusahaan perusahaan asing, sekarang ada tren perusahaan lokal mengambil alih kembali.

Dalam konteks kebangkitan nasional ini juga kita bisa melihat saat Komisi IV menolak keras keinginan Kementerian Kesehatan, membuka kepemilikan saham asing hingga 100% terhadap perusahaan farmasi lokal. Dari sini kita juga melihat perkembangan bahwa setiap rencana kebijakan pemerintah akan selalu dikonsultasikan dengan wakil rakyat.

Sebagai Ketua Umum GP Farmasi, tentu saya akan berbicara dalam konteks kepentingan anggota. Dan menjadi yang terdepan untuk menyatakan bahwa harga produk obat di Indonesia tidak mahal. Dengan demikian sebenarnya saya melihat dari beberapa sudut pandang, di sisi lain harus memperjuangkan kepentingan komunitas usaha farmasi, tapi saya juga harus melihat secara makro bahkan secara pribadi merasa bahwa biaya kesehatan makin lama makin mahal. 

Dari sudut kepentingan inilah, saat ini keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil semakin menguat.

Ini kenyataan yang dihadapi oleh Indonesia, dan akan mewarnai kebijakan pemerintah di sektor farmasi kedepan hingga tahun 2014, yang perlu menjadi perhatian utama kita. Karena sebagian besar merupakan tantangan yang akan dihadapi industri farmasi dalam waktu dekat.

Yang menjadi perhatian khusus saya, adalah perkembangan regulasi sektor industri farmasi sekarang. Karena cepat atau lambat, suka atau tidak suka kebijakan tentang pelaksanaan GMP yang tidak dapat ditunda lagi, meskipun terjadi tarik menarik dari berbagai kelompok, industri yang besar setuju, sementara industri yang menengah kecil merasa berat.

Sehingga seringkali industri farmasi yang kecil-kecil seperti di Bandung, Semarang, Surabaya ini merasa GP Farmasi Pusat, terutama Komite Bidang Industri hanya memihak pada kepentingan sendiri.
 

next page  |

-------------------------------------------------------------------------

Farmasi Indonesia Memasuki Era Low Price-Low Profit Yang Rawan (2)

Selain GMP, kedepan kita dihadapkan dengan agenda dari BPOM yakni PIC/S (The Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme).

Benar dikatakan bahwa regulasi PIC/S itu terkait dengan kepentingan BPOM. Jadi yang diperiksa adalah kualitas dan kompetensi dari inspektor yakni BPOM. Sebagai inspektor harus memenuhi syarat untuk memeriksa pabrik. Bukan pada sumber daya manusianya tetapi pada hasil pemeriksaan pada industrinya, yang pada akhirnya berdampak pada industri.

Pada awalnya BPOM akan mengajukan beberapa industri untuk diperiksa. tentu akan dipilih pabrik yanng telah memenuhi syarat GMP. Tetapi pada periode berikutnya, tim inspeksi PIC/S akan melakukan pemeriksaan secara random. 

Jika saat itu ditemukan sejumlah industri tidak memenuhi syarat maka status dari PIC/S itu akan gugur. Jadi kepentingan BPOM mendorong industri farmasi di semua level, mutlak mematuhi persyaratan GMP itu.

Tantangan lain bagi industri farmasi Indonesia adalah kebijakan asuransi kesehatan nasional yang akan meng-cover seluruh masyarakat Indonesia. Kalau asuransi berlaku maka kita akan memasuki era yang disebut 'low price low profit', artinya penetapan harga obat itu akan menggunakan cara yang sangat sederhana. Dan yang pasti itu akan membatasi margin keuntungan. 

Ambil contoh, kalau kita mengikutsertakan obat kita pada asuransi itu, misalnya dengan memotong sebesar 60%, kira-kira sebesar itu harga jual obatnya dalam daftar obat asuransi kesehatan nasional. Konsekuensinya adalah kita harus melipat gandakan penjualan agar bisa mengejar harga.

"Masalahnya adalah bahwa pada awal berjalannya asuransi, daftar harga itu sudah berlaku. Tetapi penjualan obat sesuai penulisan resep akan mengikuti perkembangan jangkauan dari layanan asuransi itu sendiri yang tentu membutuhkan tahapan dan waktu yang tidak singkat."

Selisih periode waktu ini bisa menjadi sangat rawan. Sementara harga sudah turun, tetapi volume penjualan tidak beranjak naik, bahkan bisa tidak tumbuh sama sekali. Nah, kalau perkembangan coverage layanan asuransi itu memakan waktu terlalu lama, bisa dipastikan industri tidak akan mampu bertahan, dan colapse.

Jadi itu menurut saya sebagian dari tantangan di sektor industri dalam waktu dekat, yang perlu diwaspadai.

Kalau kita melihat peluang, tentu saat ini lebih baik, karena kebutuhan makin besar, jumlah penduduk makin bertambah, ekonomi tumbuh semakin baik. Dua tiga bulan terakhir di 2011 ini kita merasakan omset farmasi ini meningkat signifikan. Pasar farmasi domestik tumbuh hingga 14-15%, sementara ekonomi tumbuh 5,5% setiap tahunnya.(erw)

previous  |

-------------------------------------------------------------------------

Regulasi bagi Industri Farmasi Harus Jelas dan Tegas (1)

Dr. Boenyamin Setiawan, Kalbe Group
Karena Indonesia sebenarnya menganut sistem ekonomi liberal-kapitalis, maka pada dasarnya pemerintah tidak ikut mengatur ekonomi dan tidak campur tangan untuk menentukan harga. Saya melihat di sektor kesehatan masih ada anggapan bahwa obat itu mahal, tapi yang sebenarnya obat yang mahal adalah obat paten.

Ada 4 kelompok obat di Indonesia, yaitu: DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional) yang dijual dengan sangat murah dan menurut WHO diperkirakan ada 250 item. Kedua, obat generik yang sudah habis masa patennya dan dijual juga dengan harga murah. 

Ketiga, obat generik bermerek (branded generic) yang dijual lumayan mahal karena ditempeli brand dan membutuhkan biaya promosi. Dan keempat, obat paten yang dilindungi karena ada copyright-nya dan dijual dengan harga mahal karena membutuhkan R & D yang sekarang membutuhkan biaya US$ 800 juta-1 milyar.

Penelitian yang sangat mahal pada obat paten otomatis membutuhkan investasi besar dan bagi pengusaha memerlukan pengeembalian investasinya, karena itu obat jadi mahal. Secara tidak langsung, rakyat Indonesia memberikan subsidi kepada biaya obat paten yang penelitiannya dilakukan di negara maju, utamanya Amerika, Eropa dan Jepang.

Rasanya memang tak adil jika kita memberikan subsidi ini. Saya pernah mengusulkan sebagian dari biaya subsidi penelitian itu mestinya dikeluarkan juga untuk Indonesia, tapi masalahnya penelitian di Indonesia sangat lemah. Meskipun demikian, itu bisa dilakukan pada clinical trial fase 3. Di RSCM protokolnya sudah tersedia, yakni multicenter clinical trial. Hanya masalahnya pihak luar masih kurang mempercayai kualitas hasil penelitian dari Indonesia.

Dalam hal ini pemerintah seharusnya mendorong pihak luar negeri untuk melakukan multicenter clinical trial di Indonesia. Ini bisa diatur asal pemerintah turut berperan.

Di Jepang misalnya, jika ada produk baru ingin masuk ke sana harus ada clinical trial-nya. Alasan mereka, orang Jepang dan orang Amerika atau Eropa berbeda. Indonesia juga bisa menerapkan ini karena kita berbeda dengan orang Amerika atau lainnya. Jadi setiap produk obat luar yang masuk sebenarnya ‘over dosis’ karena bagaimanapun tinggi dan berat kita berbeda dengan mereka. Secara genetik (farmakology genetic) pun kita juga berbeda dengan mereka.

Jadi kembali kepada obat mahal, sebenarnya yang dimaksud adalah obat paten. Saat ini menurut laporan yang dilakukan ITMA (Indonesian Total Market Analysis), untuk obat paten ethical ada sekitar 13,9 triliun, di mana obat patennya adalah 1,1 triliun. Sekitar 8 % berarti masih obat ethical patent. Obat ethical sendiri dibagi menjadi 4, obat ethical paten, branded generik, generik dan obat ethical DOEN.

Kebanyakan dokter memberi resep memang masih obat paten yang dianggap mahal ini. Persepsi orang Indonesia sendiri apabila diberi obat murah tidak manjur dan ini harus ada re-education. Obat yang penting adalah kualitasnya. Obat murah bukan berarti kualitasnya rendah. Ini yang harus diketahui.

Di setiap negara, jika tidak ada inovasi tidak ada perkembangan. Di farmasi ada knowledge industry dan spending untuk penelitian di farmasi adalah yang terbesar. Umpanya total market farmasi (secara global) kalau tidak salah ada 2000 market, kira-kira 600 milyar dolar Amerika. Dana penelitiannya kira-kira 15persen berarti kurang lebih 90 milyar dolar untuk biaya penelitian total di luar negeri. Global R & D kira-kira 1 triliun dolar, tapi GDP dunia kira-kira 40 triliun dolar.

Farmasi di Indonesia sendiri kecil sekali hanya 3 triliun dolar. Penelitian untuk satu obat saja membutuhkan 1 milyar dolar dan tentu saja kita tidak sanggup. Lantas apa peran pemerintah unrtuk mengembangkan industri farmasi?

Pertama, jangan terlalu diatur. Karena kalau diatur harus begini dan begitu, misalnya harga obat harus murah, industri akan kesulitan. Dan kedua, diperlukan konsistensi untuk mengejar ketinggalan Industri Indonesia terhadap peraturan.

Di India, awalnya pemerintah menutup masuk produk dari luar dan mendorong industri farmasi lokalnya mengembangkan diri. Adapun Indonesia langsung membuka diri terhadap masuknya produk-produk luar. Akibatnya industri farmasi lokal susah berkembang.

Untuk memajukan industri farmasi diperlukan infrastruktur yang baik, misalnya industri kimia untuk pembuatan obat. Kita harus memperbaiki dan untuk memperbaikinya inovasi harus mendapat prioritas. Untunglah Kemenristek yang sekarang sangat memahami ini. Saat ini dengan adanya PP 35, semua jenis penelitian diberikan insentif. Padahal di Malaysia tahun 1986 sudah memberikan insentif untuk segala penelitian.

Kita sangat terlambat. Sampai sekarang pun sayangnya masih belum terlaksana karena birokrasinya yang masih berbelit dikarenakan harus melewati Kementerian Keuangan dahulu. Dan kemungkinan besar karena pajaknya tinggi yang diminta oleh Kemenkeu, penelitian mengalami kesulitan untuk melewatinya.

Di farmasi, penelitian harus dirangsang. Saya pernah mengatakan jika kita ingin melakukan penelitian obat baru sama saja dengan bermimpi. Kenapa? Karena industri kimianya kurang. Infrastruktur industri kimia tidak ada. Berbeda dengan di Cina atau India, di mana industri kimianya sudah berkembang.

Sebenarnya industri farmasi di sini untuk mensintesa apapun bisa, umpamanya pada Lipitor. Begitu masa paten Lipitor habis, Cina ataupun India bisa langsung membuatnya, sedangkan kita tidak bisa karena infrastrukturnya tidak ada.Dibutuhkan loncatan agar kita bisa mensejajarkan diri, terutama pada dana penelitian yang masih sangat kecil.

next page  |

Regulasi untuk Industri Farmasi Harus Jelas dan Tegas (2)

Dr Boenyamin Setiawan, Kalbe Group
Kemajuan dalam industri farmasi memiliki lima fase, Fase tanaman obat, kimia sintetik. antibiotika. Bioteknologi, dan stemcell. Sering saya tekankan agar kita memulai dari obat bioteknologi dan stemcell karena untuk mulai dari obat kimia sintetik, antibiotika atau bioteknologi, kita sudah sangat tertinggal dan sulit mengejarnya.


Peran pemerintah sendiri sangat kurang dalam penelitian ini, dana pemerintah untuk penelitian kalau tidak salah hanya sebesar Rp 1,5 triliun atau 150 juta dolar. Saya pernah mengusulkan untuk dana penelitian untuk tahun 2010 setengah persen dari APBN dan GDP. Dan untuk tahun 2015 agar bisa mencapai satu persen. Menristek setuju dengan usul ini, tapi jabatannya yang tinggal dua tahun lagi menjadi kendala. Sebab biasanya setiap ganti menteri akan berganti pula peraturannya.
Dari GP Farmasi sendiri telah berusaha mendorong insentif untuk R & D ini namun semuanya berpulang kepada pihak regulator. Dari Kalbe sendiri, dan juga dari beberapa industri farmasi lainnya, telah mengeluarkan anggaran untuk penelitian. Penelitian tentu saja difokuskan pada produk aplikatif yang cepat mendatangkan hasilnya. Mungkin inilah bedanya penelitian yang dilakukan antara perusahaan dengan pemerintah. Karena apabila penelitiannya tidak aplikatif, perusahaan sudah pasti merugi.

Sedangkan kelemahan dari penelitian yang umumnya dilakukan oleh universitas adalah kurangnya menimbang pada sisi aplikasi, sehingga tidak memikirkan apakah hasilnya bisa “menjual” atau tidak. Berbeda dengan Menristek atau LIPI yang sudah memikirkan nilai jual dari penelitiannya.

Dari sisi human resources, Indonesia pun masih lemah. Data tentang para peneliti Indonesia juga belum ada. Saya memperkirakan ada sekitar 4000-an Perguruan Tinggi, 50 Fakultas Kedokteran, 40an sekolah farmasi. Bila dijumlahkan keseluruhan, termasuk di LIPI, barangkali sekitar 10.000an peneliti di sini.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan negara Cina yang sudah mencapai kurang lebih 1 juta peneliti, di India sekitar 600 ribu peneliti dan Jepang tidak kurang dari 400 ribu peneliti. Data mengenai peneliti harus segera dibuat agar memudahkan kita membangun strategi mensinergikan dan menciptakan peneliti-peneliti baru.

Kelemahan lainnya adalah menyangkut gaji para peneliti. Pengalaman saya dulu yang pernah menjadi peneliti di UI dengan pangkat 4 E hanya bergaji Rp.1,5 juta. Saya juga pernah bertanya pada Prof. Iwan Darmansyah saat belum pensiun waktu itu mengenai gajinya dan ternyata ia hanya bergaji Rp.2 juta per bulan.

Jelas nilai gaji itu sangat kecil. Makanya banyak para peneliti yang pergi ke luar negeri atau ke Malaysia karena sistemnya yang tidak benar dan penghargaan dari pemerintah terhadap para peneliti yang tidak pernah ditinjau kembali. Namun sekarang ada kecenderungan yang mulai membaik bagi para pemerintah terhadap peneliti ke arah yang lebih baik.

Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia sebenarnya sudah bagus. Masalahnya adalah pada implementasinya. Yang paling kronis adalah penyakit korupsi yang sangat merusak. Mungkin korupsi salah satunya disebabkan karena rendahnya gaji. Saat ini ada sekitar 100 ribu Posyandu dan 10 ribu Puskesmas serta rumah sakit dari mulai tingkat A sampai D yang sistemnya sudah bagus.

Ada primary healthcare, secondary healthcare dan tertiary healthcare untuk orang sakit. Primary untuk orang sakit berobat jalan, secondary untuk mereka yang masuk UGD dan tertiary untuk orang yang benar-benar dirawat secara intensif. Primary healthcare ini teoritis. Dengan penduduk 220 juta, merujuk pada statistik ala Jepang, rata-rata 1persen dari penduduk tiap hari sakit. Berarti setiap hari ada 1,2 juta orang yang mencari pengobatan.

Dengan jumlah dokter yang ada sekitar 40 ribu sampai 50 ribu, maka secara teori tiap 1 dokter melayani 200 pasien. Idealnya jumlah dokter adalah 100 ribu, sehingga tiap 1 dokter melayani 100 pasien setiap hari. Dari sekitar 50 ribu dokter, yang berpraktek sebagai dokter umum hanya 70%, sisanya sebagai dokter spesialis.

Dan ini benar-benar dirasa kurang sekali. Untuk Posyandu seharusnya dilayani oleh Mantri. Mantri ini dididik tidak lama, sekitar 2-3 tahun selepas SMA dan sebaiknya diambil dari desanya agar kerjanya tidak berpindah-pindah. cukup sederhana. 

Pasien yang datang pun paling-paling penyakitnya panas, batuk pilek, pegal linu, mencret dan penyakit yang umum seperti sakit mata, paru-paru, dsb yang hanya membutuhkan biaya murah. Dengan begitu maka dengan Rp. 2.000 sampai Rp. 5000 bisa membeli obat karena dilayani oleh mantri dan bukan dokter.

Apabila membutuhkan konsultasi, maka dikirim ke Puskesmas yang sebaiknya dilayani oleh dokter keluarga. Sayangnya Puskesmas sekarang dilayani oleh dokter, sehingga kenyataannya tidak ada dokter yang betah tinggal di sana dan setelah selesai PTT-nya langsung pergi. Tidak ada kontinuitas. Kenapa terjadi begitu? Karena biaya untuk menjadi dokter sangat mahal. Apabila suruh tinggal di desa atau kota kecil, mereka sudah pasti tidak tertarik. Maka yang tepat melayani masyarakat berobat ke Puskesmas adalah dari Fakultas Kedokteran Masyarakat (FKM) sebatas preventif dan promotif.

Yang melayani Puskesmas seharusnya juga seorang manager yang juga berasal dari FKM dan katanya sekarang sudah dilaksanakan. Dokter tetap diperlukan untuk perawatan jalannya misalnya, tapi bukan untuk menjadi manager. Manager untuk Puskesmas sebaiknya pun diambil dari desanya atau kotanya masing-masing. Tujuannya sama, agar tidak berpindah-pindah. Kalaupun suatu saat dokternya pindah tidak jadi soal asalkan managernya jalan terus agar program-programnya tetap jalan.

Tentu saja obat murah bisa dilaksanakan karena orang-orang yang datang ke Posyandu atau Puskesmas membutuhkannya. Kalau pemerintah melarang obat branded generic, tentu tidak tepat karena perusahaan tetap harus hidup dan memiliki keuntungan. Bagi masyarakat yang punya uang jelas mempunyai pilihan berbeda karena persepsinya yang juga berbeda. Inilah yang dimanfaatkan oleh industri farmasi. 


Jadi branded generic ataupun patent bukanlah masalah. Dari keuntungan dua jenis obat inilah yang seharusnya diinvestasikan kembali untuk penelitian. (erw)

previous page  |

Merintis Industri Bahan Baku Obat di Indonesia

'Belajar dari Komitmen Cina'
Indonesia yang merupakan the 3th Biggest Asia Market memiliki sejumlah industri farmasi yang kompetitif untuk pasar regional. Pangsa pasar regional yang kini nilainya mencapai US$600 milyar tentu menjanjikan keuntungan luar biasa. Dan sebagai pasar besar, Indonesia memiliki potensi yang baik untuk tumbuh jauh lebih tinggi dari nilai pasar saat ini.
.
Vincent Harijanto
Ironisnya, dari 208 industri farmasi lokal di tanah air, semua bahan bakunya 'ngimpor' dari luar negeri. Memangnya, kita ndak mampu membangun sendiri industri bahan baku nasional? Apakah punya pabrik bahan baku sendiri suatu opsi yang buruk untuk dunia farmasi dan kesehatan kita di masa depan? Dus, menyiapkan kemandirian farmasi nasional sebagai penunjang kesehatan bangsa, apa cuma euphoria pengisi rehat kopi saja?

Tamu kita kali ini, Vincent Harijanto Ketua Komite Bahan Baku Obat GP Farmasi Indonesia. Pengalamannya di bidang kerjasama importasi bahan baku obat dari banyak negara termasuk Cina, bisa kita jadikan referensi. Untuk bisa mengatakan yes or no untuk membangun industri bahan baku nasional.

Berikut petikan wawancara dengan Presdir PT Tigaka Distrindo Perkasa ini;

 
Pak Vincent, bisa dijelaskan awal sejarahnya kok negeri kita tidak punya industri bahan baku lokal untuk farmasi?
Menjawab ini tentu tidak bisa bila kita tidak menengok masa lalu. Begini, saya mau pisahkan dulu antara industri bahan baku farmasi dengan industri farmasi obat jadi. Dalam beberapa presentasi yang mengungkap bagaimana pemerintah Indonesia di masa lalu, bagaimana kemudian dengan Cina pada masa yang sama.

Tapi untuk melihat ini lebih jelas, kita perlu kembali pada tahun 70-an, dimana Indonesia mulai membuka diri untuk investasi asing di bidang obat-obatan. Saat itu, kebijakan pemerintah untuk mendorong investasi sektor farmasi dengan memberi tax holiday kepada investor multi national companies (MNCs), sehingga masuklah mereka kira-kira sekitar 30 sampai 40-an MNCs.

Pada awalnya MNCs memproduksi obat jadi, semua bahan bakunya diimpor, entah itu dari mother company-nya, atau dari yang lain, selanjutnya memasarkannya di Indonesia.

Tentu industri-industri yang baru masuk ini berdampak positif bagi Indonesia, karena sebelumnya tidak ada investasi di bidang ini. Kemudian pemerintah juga membuat kebijakan bahwa setelah 5 tahun memproduksi obat jadi di Indonesia, MNCs harus membuat minimum satu produk bahan baku.

Apakah itu dapat terlaksana? 

Benar setelah berjalan 5 tahun mereka membuat bahan baku disini. Walau itu disesuaikan dengan kebutuhan mereka sendiri, mereka menyebut sebagai captive product, misalnya Merck membuat vitamin B1 untuk produk jadinya. Artinya ini seharusnya jadi fase baru bagi dunia farmasi tanah air sebagai pemicu peluang untuk membangun industri bahan baku farmasi nasional kedepan.

Secara sederhana kita berhitung, bila setiap industri membuat satu produk bahan baku, tentu dari 30-40-an industri ini akan menyediakan sedikitnya 30-an jenis bahan baku bagi kita. Kebijakan inilah yang diharapkan menunjang kemajuan industri farmasi nasional dari hulu hingga hilir. Sehingga terjadi transformasi pengetahuan sekaligus penyerapan tenaga kerja.

Sayangnya, harapan ini tidak terwujud. Pada periode berikutnya kebijakan ini terabaikan. Pemerintah sendiri kurang tegas dalam menerapkannya karena begitu industri MNCs sudah tidak berkenan memproduksi bahan baku (walaupun hanya untuk mereka sendiri), pemerintah tidak banyak berbuat kepada MNCs untuk tetap mematuhi kebijakan itu.

Apa yang menjadi alasannya sehingga kebijakan ini terabaikan?

Kebijakan berkaitan dengan pembangunan industri bahan baku sebagai syarat masuknya industri MNCs tidak diterapkan secara konsisten, walaupun mungkin saat ini policy itu belum dicabut.

MNCs tidak berkehendak membangun industri bahan baku di Indonesia, alasannya tidak kompetitif karena pasarnya tidak dapat memenuhi skala industri, itu yang jadi alasan pertama.

Kedua, memang dalam hal volume pasar Indonesia kalah dibanding Cina yang jumlah konsumennya 1,3 milyar. Mereka bisa membuat ratusan ton, kemampuan Indonesia jauh dibawah jumlah itu. Dan ketiga, memang benar kalau kualitas bahan baku Cina semakin baik, sehingga kita merasa tidak perlu meneruskan kebijakan itu.

Tapi ketiga kondisi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengurungkan niat kita punya industri bahan baku sendiri. Ironis, sebagai big market tidak punya 'nyali' memiliki sendiri industri bahan baku obat nasional. Alasan itu tidak sebanding dengan kemandirian yang dapat kita capai di masa depan. Kita lihat hari ini, tren contract manufacturing mulai bergairah di Indonesia, kebutuhan bahan baku untuk industri farmasi nasional akan menjadi pasar yang besar.

Jadi yang pertama saya ingin katakan, pemerintah seharusnya konsisten dan segera memacu kembali rencana membangun industri bahan baku nasional karena akan berpengaruh pada daya saing kita di pasar domestik maupun regional. Negara Cina dan India juga melakukan hal yang sama, mereka merintis dan bersusah payah selama 20-an tahun. Tapi sekarang tumbuh menjadi raksasa industri, termasuk bidang bahan baku farmasinya. Kini mereka mendapat imbalan atas perjuangan itu.

Bagaimana bisa Cina mampu melakukannya sedang Indonesia tidak?
Dalam sejarah perkembangan industri bahan baku, ada satu perbedaan besar antara Cina, India dan negeri kita, Indonesia. Di Indonesia belum ada satu industri pun yang memulai pembuatan bahan baku kimia dasar/inter mediate untuk farmasi, baik bahan parasetamol, antalgin dsb.

Berbeda dengan Cina yang sejak awal konsisten dengan rencana membangun industri ini, walaupun diawali dengan kualitas yang dinilai tidak mumpuni.

Tahun 70-an, home industry di Cina sudah bisa membuat parasetamol. Tahun 80-an produsen bahan baku yang jumlahnya ratusan itu beroperasi dalam bengkel-bengkel/rumahan memproduksi 'puresitong' (sebutan orang Cina untuk parasetamol) dan beberapa bahan baku lainnya.

Memang saat itu hasilnya kurang baik, tetapi dari sanalah mereka belajar, sehingga sekarang ini mereka menjadi produsen bahan baku obat terbesar di Asia bahkan dunia. Kualitasnya pun beragam. Dari ratusan 'bengkel' parasetamol dalam kurun waktu 20 tahun menjadi industri yang terhormat di pasar global.

Apakah benar di Indonesia tak pernah ada seorangpun yang memulai?
Ya ada, dari dulu seperti Kimia Farma itu bikin kininne, castor oil, tapi yang lain tidak mau ikutan. Jadi jauh dibandingkan dengan mereka di Cina walaupun dimulai dari bengkel. Tidak ada dorongan dari pemerintah dan industri farmasi lokal untuk melakukannya secara mandiri seperti di Cina. Kalau Indonesia mau mengarah kesana, niatnya harus kuat dan konsisten, perlu dukungan investasi. Saya kira, waktunya belum terlambat.

Tapi apakah ada yang mau berinvestasi di industri pengolahan bahan baku farmasi?
Ada. Contohnya PT Riasima Abadi Farma itu investasi untuk pembuatan parasetamol di Indonesia, dulu Sandoz buat ampicilin dan amoxicilin tapi sejak 2005 lalu sudah tidak beroperasi lagi. Industri bahan baku kita yang masih ada, PT Daewoong Riasima yang memproduksi amoxicilin.

Disinilah bedanya sejarah Indonesia dengan Cina terkait kemandirian bahan baku obat. Kita membangun industri bahan baku harus menarik investasi, sementara di Cina, mereka merintis sendiri dari awal. Sekarang bisa kita lihat sendiri keberhasilan mereka.

Apakah kemajuan Cina ini mempengaruhi industri bahan baku dari Eropa/AS yang selama ini kita impor?
Tentu, pengaruhnya signifikan. Tahun 70-80-an, nilai impor kita untuk bahan baku obat dari Eropa dan AS mencapai 80%, sementara impor dari India dan Cina berkisar 15-20%.

Banyak alasan dari angka awal ini, pertama adalah kualitas. Cina pada tahun-tahun itu masih sangat diragukan soal kualitas. Masalah lainnya adalah komunikasi, kita jauh lebih mudah berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan Eropa dan AS, dibanding dengan Cina.

Untuk pasar domestik pebisnis Cina hanya berkomunikasi dengan bahasa mandarin, kita mengalami kesulitan mencapai saling pengertian untuk bekerjasama, plus masalah hubungan diplomatik walaupun ini bukan masalah yang signifikan.

Tahun 80-an saja, kebanyakan pebisnis Cina tidak memahami international trading, artinya mereka mengabaikan hal-hal seperti itu. Saat itu kontrak kerjasama sering terkendala dipelaksanannya. Jadi businesss ethic, commercial agreement, international relationship, belum dapat dilaksanakan dengan baik. Misalnya kalau saat itu harga cenderung naik, mereka tidak akan mengirim barang ke kita. Oleh karena itu kita sulit bekerjasama dengan Cina saat itu.

Tapi akhir tahun 90-an sampai 2000, mereka tumbuh dengan baik, secara kualitas produk, etika kerjasama bisnis serta perdagangan internasional. Saat ini komposisi perbandingan importasi bahan baku Indonesia dari Cina dan dari Eropa/AS berbanding terbalik masing-masing 80% dan 20%.

Bagaimana kebijakan pemerintah Cina sehingga berhasil membangun industri ini?
Saya katakan, Pemerintah Cina konsisten dan respons mereka cepat mengatasi perubahan situasi. Kalau tahun 1997 mereka merasa bahwa ekspornya harus dikurangi, maka tax rebate para eksporter tidak dikembalikan, tapi pada saat mereka mau mendorong ekspor, para eksporter akan mendapat tax rebate.  Kita perlu belajar dari konsistensi kebijakan dan kecepatan merespon perubahan situasi seperti yang mereka lakukan.

Apakah iklim di Indonesia saat ini bisa dikatakan kondusif untuk berinvestasi?
Ya ini, tergantung bagaimana kita memperbaiki situasi, tentu kita tidak bosan-bosannya memberi masukan, mengingatkan pemerintah. Menurut saya tentu regulator perlu secepatnya memperbaiki situasi, agar iklim ekonomi kita lebih kondusif.

Tapi apakah Indonesia harus memiliki industri bahan baku ataukah sebaiknya kita selamanya sebagai pengimpor saja. Toh kita sudah tertinggal jauh dari Cina, apalagi harga produknya jauh lebih murah?
Kalau kita ketinggalan memangnya kita nggak bisa mengejar? Ya, jangan mengejar dalam arti yang frontal, maksudnya kita bisa memulai dengan memilih item-item mana yang mampu kita buat, ini langkah awalnya untuk mengejar ketinggalan. Nah, produk yang kita tidak bisa kita produksi sendiri, ya sebaiknya kita menggandeng mereka.

Menurut saya, meskipun kita sadar bahwa sebagian besar pendapat sudah pesimistis; 'Buat apa kita membangun industri? Kita impor sajalah'. Kalau kita mempertahankan ketidakkonsistenan dalam melaksanakan peraturan ini, jangan berharap bisa menjawab tantangan perubahan di kemudian hari.

Sama halnya dengan industri farmasi kita, apa produk kita lebih murah dibanding kalau kita impor dari Cina atau India? Kalau pesimis, kenapa kita mempertahankan 200-an industri farmasi kita yang tidak kompetitif dibanding Cina dan India? Kenapa nggak ngimpor saja semuanya, karena kita merasa sudah tertinggal? Jelas, bukan itu pilihan kita toh...

Jadi bagaimana kita memilih produk yang dapat kita kejar dan bagian mana yang harus menggandeng mitra?
Ya, katakanlah kita bagi dalam tiga grup, misalnya Grup A adalah item yang tidak mungkin kita bisa buat, kita pilih impor. Grup B, beberapa item kemungkinan bisa kita buat tapi dengan persyaratan tertentu, misalnya dukungan pemerintah dan investasi.

Lalu Grup C masih banyak item produk yang kita bisa buat sendiri dan masih bisa compete.

Nah, kita bisa mendorong kedua grup (B dan C) untuk dilaksanakan. Tidak perlu semua dilakukan secara bersamaan, sedikit demi sedikit tapi berkelanjutan. Kalau untuk item tertentu memang harus bekerjasama dengan industri Cina atau India, ya dilakukan saja. Tidak perlu khawatir, karena kita pemilik pasar terbesar di Asia Tengggara. Ini yang harus kita gunakan dengan suatu pemikiran yang kreatif.

Dukungan dari sisi mana yang diperlukan dari Pemerintah?
Harus dicarikan solusi yang mengakomodasi kepentingan bersama. Misalnya, pemerintah sendiri jangan terus mengambil keputusan untuk impor, kalau industri farmasi tidak kompetitif.  Mengakomodasi kepentingan bersama tentu terkait dengan banyak hal, baik sisi perindustrian, perdagangan, permodalan, teknologi, tenaga kerja, daya beli masyarakat, situasi politik, regulasi yang konsisten dan sebagainya.  Jadi harus ditata dengan benar tahap demi tahap untuk pembangunan dalam jangka panjang.

Cina memulai membangun industrinya juga dengan suatu komitmen dan dilaksanakan bersama. Salah satu contoh, kebijakan Cina dalam membangun lingkungan. Kita tahu kok bagaimana buruknya kondisi lingkungan di Cina. Pada waktu Beijing Olympics 2008 misalnya, semua yang berkaitan dengan polusi mereka terapkan peraturan yang sangat ketat. Mereka cek lingkungannya, selanjutnya diambil keputusan, yang bisa diperbaiki segera diperbaiki, yang tidak bisa, dipindahkan atau ditutup.

Tadinya kami berpikir bahwa itu hanya sementara waktu, tapi ternyata penerapan kebijakan pembenahan lingkungan itu dipakai sebagai suatu basis untuk pengembangan lingkungan berkelanjutan.

Jadi, sekarang dengan kualitas produk yang baik, komunikasi baik, etika bisnisnya dijalankan dengan baik dan lingkungan juga baik, mereka mudah melakukan kerjasama dengan banyak pihak, baik dengan negara-negara Eropa maupun AS. Di sini yang patut kita tiru dari komitmen negara Cina.

Yang menarik, berhubungan dengan trading, impor dan penjualan. Saat ini bank di Indonesia sudah mulai membuka kesempatan untuk bertransaksi, membuka LC dengan menggunakan Yuan, dengan RMB (mata uang Cina). Ini salah satu yang perlu kita jajaki juga karena dengan ini, transaksi yang kita lakukan dengan pihak Cina tidak mengalami 2 kali konversi.

Menurut pandangan Anda, apakah pemerintah punya minat untuk mendirikan industri bahan baku di Indonesia?
Begini, menurut saya sikap pemerintah tergantung juga pada masukan yang diperolehnya. Jadi mari kita merintis kembali komunikasi yang baik dan intensif antara regulator dengan pelaku usaha, baru pemerintah bisa memahami yang dialami oleh pelaku usaha. Yang mana sebetulnya dapat memberikan peluang, yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan, yang lancar, yang mendapat hambatan, yang merangsang pelaku usaha untuk improvisasi. Jadi kita mestinya harus memiliki komitmen kuat untuk melakukan kerjasama dengan baik.

Kalau kita mau melakukan brainstorming, kita lakukan bersama dengan regulator. Jangan sampai suatu aturan langsung saja dibuat tanpa mengajak pelaku usaha untuk mendiskusikan sebelumnya, karena ini akan menjadi kendala dalam pelaksanaannya.

Bagaimana harapan Anda dengan Kepemimpinan di Kementerian Kesehatan saat ini?
Nah, dengan pemerintahan baru ini, mudah-mudahan kita bisa lebih baik lagi, tidak melakukan langkah mundur. Misalnya dengan Menteri Kesehatan Bu Endang Rahayu Sedyaningsih kita dapat menyatukan persepsi bersama, sehingga akan lebih mudah menjalin pengertian untuk membangun suatu sistem yang kokoh dan berkelanjutan baik di bidang kesehatan secara umum maupun bidang industri farmasi secara khusus.

Saling pengertian ini harus segera dibangun dan terus dipelihara sehingga pelaksanaan yang sudah kita jalankan tidak berubah ketika pemerintahan berganti.

Konsistensi inilah yang nantinya membawa keberhasilan. Kalau setiap pergantian pemimpin kebijakannya pun menjadi berubah, kita tidak akan sampai ke tujuan. Percuma, buang-buang energi. Hari ini bilang 'jalankan', besok 'hentikan'. Ya, repot dong! (erw)

Pemberdayaan Farmasi Nasional Perlu Kerjasama Semua Pihak

Subowo DT, Chief Operational Officer Mensa Group 
Benar bahwa obat memiliki tiga dimensi, yakni dimensi ekonomi, teknologi dan sosial. Namun pada kenyataannya, Menteri Kesehatan yang merupakan bagian dari perangkat pemerintah yang secara otomatis kebijakannya mengutamakan aspek sosial saja, sehingga segitiganya bukan segitiga sama sisi yang seimbang.

Saya katakan demikian karena selalu dikatakan oleh Menkes tentang keseimbangan yang pro rakyat, obat murah, dsb. Kita setuju karena masih banyak rakyat yang menderita. Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah bahwa obat tidak dibuat secara gratis dan harus dilihat dari aspek ekonominya.

Para produsen obat sebagian besar meminjam uang dari bank untuk membuat obat dan mendapat treatment sama seperti orang lain dikenakan bunga bank yang tidak murah. Tidak ada previlege, misalnya dikarenakan kita pabrik obat dikenakan bunga bank setengahnya saja atau dibebaskan dari pajak.

Dari aspek teknologi, obat merupakan sesuatu yang kompleks: Teknologi canggih, requirements yang ketat, dan biaya yang makin lama makin tinggi karena tekanan-tekanan kepada kita untuk membuat obat yang benar-benar berkualitas. Produk teknologi dengan pasar terbatas, yang cuma 22 trilyun dan murah, tidak akan ditemukan kecuali pada industri obat. 

Bandingkan misalnya dengan rokok yang pajaknya saja kurang lebih 30 trilyun dan market size-nya sangat besar, tetapi dijual dengan harga yang lebih mahal dari obat. Bandingkan lagi dengan harga OGB yang dijual Rp. 100-400.

Jika pemerintah mengerti, mengetahui dan mendukung industri obat rasanya tidak sesuai dengan konsep tersebut. Sebenarnya dari aspek sosial industri farmasi kita sudah bagus. Setiap ada bencana atau gempa bumi, garda terdepan industri yang maju adalah pabrik obat yang memberikan bantuan.

Karena itu, jika konsepnya ingin berjalan dengan baik harus diserahkan pada mekanisme pasar dan pemberdayaan asuransi. Sebab selama ini harga obat seringkali dikritisi dari mulai isu mahal sampai pemotongan harga yang bisa sampai 70persen. Hal ini bukanlah cara yang bijaksana.

Apabila asuransi diberdayakan maka hasilnya pasti akan bagus. Sebab selama ini uang tercecer di mana-mana. Pemerintah melalui Askes paling-paling hanya sekitar 15persen dari penduduk Indonesia. Ditambah Askeskin sekitar 55-60 juta orang. Saat ini dirasakan program tersebut kurang berjalan, entah apakah Depkesnya yang tidak menurunkan uang atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Askes yang kita tidak tahu.

Jika kita diberikan kesempatan dan pemerintah memfasilitasi untuk membuat tandingan Askes, misalnya dari pihak swasta yang lebih profesional, tentu akan besar sekali manfaatnya. Saya tidak tahu ada berapa pabrik atau perusahaan di seluruh Indonesia. 

Jika dihitung-hitung, jumlah perusahaan di seluruh Indonesia yang memiliki lebih dari 10 karyawan bisa mencapai 1 juta. Berarti jika 1 juta perusahaan terdapat 10 karyawan sama dengan 10 juta karyawan. Data ini harus divalidasi lagi karena bisa lebih bisa kurang. Ini adalah sekedar perumpamaan saja.


Ada semacam konvensi pemerintah yang biasa dipakai bahwa karyawan yang sakit herus dibayar 2 kali gaji. Berarti kalau 10 juta x 2 kali gaji adalah 20 juta. Jika UMR anggaplah rata-rata 1 juta, maka 20 juta x 1 juta = 20 trilun. Ini bisa dijadikan kapitasi untuk memulai program Askes yang basic saja. Biarkan swasta yang mengelolanya sedangkan pemerintah membuat aturan mainnya. Dari pada uang tercecer di mana-mana dan karyawan yang sakit hanya mendapat 2 bulan gaji, lebih baik disimpan di Askes ini demi kesejahteraan karyawan yang lebih baik.

Yang juga saya garisbawahi adalah rencana kebijakan untuk memotong harga obat generik. Masalahnya obat generik yang mana, apakah branded generic atau OGB. Hal ini masih belum jelas dan dikhawatirkan akan terjadi misleading di media massa. Kalau OGB sebenarnya sudah murah. Jika terus menerus dipangkas harganya bisa jadi tidak akan yang berani membuatnya. Akhirnya terjadi kekosongan barang dan keluarlah statement pemerintah untuk mengimpor barang tersebut.

Tentu saja pabrik obat dalam negeri akan kehilangan produksinya. Bayangkan berapa karyawan yang nanti terkena PHK dan berapa keluarga yang kena efek jika hal itu terjadi.

Saya pernah membaca suatu analisa di sebuah surat kabar, kadang-kadang kalau kita tender offer, seolah-olah OGB kita sedikit lebih mahal dari apa yang ditender. Yang harus diingat adalah bahwa OGB sudah termasuk distribution cost di dalamnya, import duty dan bunga. Kalau Amoxicillin misalnya dijual Rp.300-400, itu sudah melalui biaya-biaya masuk, distribution cost, inventory cost, interests, dan lain-lain yang harus ditanggung. Jadi jika dikatakan mahal sebenarnya tidak karena bahan bakunya juga berasal dari impor.

Bahkan saya berani mengatakan tidak lebih mahal dari apa yang ada di pasar dan bahkan lebih murah. Mungkin tidak 100% OGB sama itu lebih murah. Tapi paling tidak lebih dari 50% atau 60% lebih murah sebab hal itu normal saja terjadi subsidi silang, mahal di sini-murah di sini agar perusahaan tidak merugi.

Coba lihat sekarang, ada kurang lebih 40 item obat yang hilang di pasaran karena tidak ada pabrik yang membuatnya disebabkan produksi mereka lebih tinggi dari platform harga yang dikeluarkan pemerintah. Di sinilah perlunya hal tersebut didiskusikan mengenai harga obat apa yang akan diturunkan.
 
Jika ingin menurunkan branded generic sudah pasti sangat mudah, asuransikan saja. Agar OGB bisa lebih murah lagi tentu saja yang utama adalah penghapusan KKN. Kalau rumah sederhana dibebaskan dari PPn dan barang-barang tertentu dibebaskan biaya masuk, kenapa obat tidak? Padahal jika obat dibebaskan pun penerimaan pajak yang hilang tidak banyak dan memiliki multiplier effect yang besar karena obat terkait dengan kesehatan masyarakat Indonesia. (erw)

Top Ad 728x90