,

Industri Farmasi Diproyeksikan Tumbuh 13%

Sepanjang 2012, pertumbuhan industri farmasi nasional diproyeksi akan naik 13%. Sejak 2007 hingga lima tahun ke depan pertumbuhan industri farmasi akan terus ditopang oleh pertambahan jumlah populasi dan kenaikan pendapatan perkapita. Karena itu, ke depan, industri farmasi akan terus meningkatkan investasi dan pengembangan produksi.

Tak Sebanding dengan Pertumbuhan Investasi.
Sepanjang 2012, pertumbuhan industri farmasi nasional diproyeksi akan naik 13%. Sejak 2007 hingga lima tahun ke depan pertumbuhan industri farmasi akan terus ditopang oleh pertambahan jumlah populasi dan kenaikan pendapatan perkapita. Karena itu, ke depan, industri farmasi akan terus meningkatkan investasi dan pengembangan produksi.

Industri Farmasi Diproyeksikan Tumbuh 13%

Ketua IPMG Luthfi Mardiansyah mengatakan, kendati pasar obat mengalami pertumbuhan, namun tak sebanding dengan pertumbuhan investasi. Ada sejumlah hambatan bagi sektor ini, khususnya asing, untuk masuk ke Indonesia. Saat ini, ada 12 perusahaan asing kesulitan masuk ke Indonesia, karena ketentuan tidak boleh mengedarkan obat, bila tidak memiliki pabrik di Indonesia. “Izin edar harus menunjuk perusahaan lokal di Indonesia. Padahal bagi perusahaan asing, tidak bisa sembarangan 'kasih itu' (obat) ke perusahaan lain,” ujarnya.

Terhambat
Daftar Negatif Investasi
Selain itu hambatan lainnya,
menurut Luthfi terkait adanya ketentuan industri farmasi masuk dalam daftar negatif investasi (DNI). Dengan ini, perusahaan asing yang mau membangun pabrik di Indonesia harus bekerja sama dengan mitra lokal, karena menetapkan kepemilikan modal asing maksimal 75% dan 25% oleh modal dalam negeri.


-----------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Sejumlah Tantangan Hadang Industri Farmasi Indonesia 2015 
3) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi Indonesia 2014
4) Industri Farmasi Sulit Terapkan Aturan Jaminan Produk Halal
-----------------------------------------------

“Anggota IPMG merupakan industri berbasis riset. Sekitar 20% dari pendapatan kami alokasikan untuk riset. Kerahasiaan riset tentu harus kami jaga. Jika diharuskan berpartner dengan perusahaan lokal, tentu akan ada kendala soal penjagaan rahasia itu. Saya yakin kalau asing boleh 100%, maka investasi industri farmasi di Indonesia akan jauh lebih besar,” jelasnya.

Padahal, lanjut Luthfi, akibat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 1010/2008 tentang Registrasi Obat, industri farmasi yang tidak mempunyai pabrik di Indonesia, maka tidak diizinkan mengimpor obat. Permenkes tersebut kemudian diperkuat dengan revisi definisi industri farmasi dalam Surat Keputusan Menkes No. 245/1990. Sehingga, perusahaan farmasi minimal mempunyai fasilitas pengemasan di dalam negeri.

Hal itu, kata Lutfi, menyulitkan keberadaan 12 perusahaan anggota IPMG yang tidak mempunyai pabrik di Indonesia. “Itu masalahnya. Lalu, bagaimana mau bikin pabrik? Padahal, ada  grandfather clause,” tegasnya.

Persoalan lain, lanjut dia, terkait kepastian hukum persaingan usaha yakni langkah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dinilai berperan ultra petita (melebihi wewenang). Termasuk, ujar dia, pengertian kartel dalam Undang-undang (UU) anti monopoli (No 5/199).

“Kerjasama oleh kedua perusahaan itu berakhir tahun 2007. Dan, paten atas obat itu berakhir April 2007 dan banyak pesaingnya? Jadi, di mana letak monopolinya? Padahal, kerjasama kedua perusahaan itu secara ekonomi, akses obat paten di Indonesia, sangat bagus,” ujarnya.

Luthfi mengatakan, industri farmasi berperan dalam menyusun roadmap pelayanan kesehatan di Indonesia. Peraturan tumpang tindih, ujar dia, menyulitkan industri. Kebijakan Kemenenterian Keuangan yang menaikkan tarif impor bahan baku, bertentangan dengan kondisi industri farmasi tidak bisa menaikkan harga. Padahal, lebih dari 90% bahan baku obat diimpor.

“Kami sudah pernah menyampaikan hal-hal ini kepada Menteri Kesehatan. Kalau bisa, masing-masing Kementerian berkoordinasi dan sinkron membuat aturan. Karena itulah, secara industri, mungkin tepat kalau farmasi dibawaah koordinasi  oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai pembina,” kata Luthfi. (dbs)

Top Ad 728x90