Johannes Setijono, Ketum GPFI |
Sebagai realisasi UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dibentuk dua BPJS, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua badan tsb merupakan 'reinkarnasi' dari dua BUMN yang selama ini sudah menjalankan peranan penting, yakni PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek. Askes akan berubah menjadi BPJS Kesehatan, sedangkan Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan mulai beroperasi paling lambat 1 Juli 2015.
Dengan keberadaan institusi baru ini, tingkat pelayanan kesehatan mengalami perubahan paradigma dari semula pelayanan berbasis fee for service atau out of pocket menuju ke managed care yang bertumpu prospective payment. Lewat layanan tersebut, diharapkan pada 1 Januari 2019, seluruh masyarakat Indonesia dapat di-cover oleh jaminan kesehatan.
-----------------------------------------------
Simak juga:
1) 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
2) Sejumlah Tantangan Hadang Industri Farmasi Indonesia 2015
3) Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi Indonesia 2014
4) Industri Farmasi Sulit Terapkan Aturan Jaminan Produk Halal
-----------------------------------------------
"Sampai 2019 nanti pangsa pasar obat generik saja kami perkirakan volumenya bisa meningkat sampai tiga kali," kata Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Johannes Setijono.
Dirjen Binfar dan Alkes Maura Linda Sitanggang mengatakan pemerintah tengah fokus pada pembenahan infrastruktur kesehatan. Dengan berlakunya SJSN nanti, seluruh warga akan dijamin pelayanan kesehatan, tak terkecuali penduduk asing yang tinggal lebih dari 6 bulan di Indonesia. Pemerintah meng-cover iuran premi untuk warga miskin.
Sementara, untuk warga pekerja informal yang gajinya tidak tetap, akan diatur oleh Pemerintah dan DPR sehingga diperkirakan baru bisa terealisasi penuh pada 2019.
"Pada 2014, BPJS diperkirakan sudah akan meng-cover 86,4 juta warga Indonesia dengan total biaya Jamkesmas dan Jampersal kurang lebih Rp 7,4 triliun."
Selain pemberlakuan BPJS, pertumbuhan industri farmasi juga akan ditopang oleh kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan belanja kesehatan. Mengacu pada Pasal 171 (1) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diamanatkan belanja pemerintah minimal harus 5% dari total anggaran negara.
Saat ini angka belanja kesehatan masyarakat Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tergolong sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada 2010, persentase belanja kesehatan Indonesia hanya 2,6% PDB, sedangkan belanja kesehatan Singapura mencapai 4,1% PDB, Filipina (3,6%), Thailand (3%) dan Malaysia (4,4%).
Potensi peningkatan belanja kesehatan juga akan didorong oleh jumlah penduduk Indonesia. Survei Badan Pusat Statistik 2000-2010 mengindikasikan pertambahan penduduk rata-rata 1,49% per tahun, dengan pertumbuhan paling cepat pertumbuhan pada usia produktif. Populasi Indonesia pada 2020 diperkirakan akan mencapai 275 juta dan 319 juta pada 2030. Proyeksi ini menjadikan pangsa pasar obat di Indonesia sangat potensial dan termasuk salah satu yang terbesar di dunia.
Menurut Data Kementerian Kesehatan 2012, jumlah perusahaan farmasi di Indonesia saat ini mencapai 206 perusahaan, sebanyak 39 di antaranya perusahaan multinasional. Rata-rata penjualan obat di tingkat nasional selalu tumbuh 12-13% setiap tahun dan lebih dari 70% total pasar obat di Indonesia dikuasai oleh perusahaan nasional. Namun, angka ketergantungan impor bahan baku obat masih sangat tinggi, bahkan 95-96% diimpor dari China, India, dan Eropa.
Pertumbuhan positif industri farmasi juga terekam dari performa perusahaan farmasi di bursa efek Indonesia. Pada 2012, sejumlah emiten menunjukkan kinerja cemerlang, seperti Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk yang mencatat margin usaha 44%, Kalbe Farma Tbk 16% dan Merck Tbk sebesar 15%.
Dari sisi kapitalisasi pasar, saham Kalbe Farma merupakan saham yang sangat likuid dengan kapitalisasi terbesar di industri farmasi sebesar Rp 72 triliun dan memiliki bobot indeks 1,4 persen. Tahun lalu laba bersih konsolidasi indikatif tercatat sebesar Rp 1,7 triliun meningkat 17% dibanding periode yang sama sebesar Rp 1,5 triliun. Nilai penjualan perusahaan mencapai Rp 13,6 triliun. Tahun ini perseroan mentarget pertumbuhan laba bersih 15-16%. (dbs)