IPMG Perbarui Kode Etik tentang Praktik Pemasaran Farmasi

IPMG baru-baru ini menerbitkan revisi Kode Etik tentang Praktik Pemasaran Farmasi untuk menjadi panduan bagi anggotanya, yaitu 24 perusahaan farmasi asing berbasis riset yang beroperasi di Indonesia, dan juga para pemangku kepentingan terkait di industri farmasi.

"Revisi kode etik ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan IPMG untuk menegakkan etika bisnis dalam promosi obat di Indonesia,” kata Luthfi Mardiansyah, Ketua IPMG.

Iklim bisnis farmasi yang sangat kompetitif dimana keberhasilan sangat tergantung pada pemasaran dan penjualan obat seringkali menempatkan perusahaan pada situasi yang memaksa mereka mengambil langkah yang walau tidak melanggar hukum tetapi tidak etis, jelas Luthfi. Hubungan kerja antara perusahaan farmasi dan profesi medis yang rentan terhadap praktik pemasaran tidak etis ini semakin menjadi sorotan publik dan media dalam beberapa tahun terakhir.

”Reputasi kami dipertaruhkan,” kata Lutfhi. ”Dalam konteks inilah praktik promosi obat yang beretika menjadi relevan dan penting agar dokter mendapatkan informasi yang diperlukan sehingga pasien dapat tertangani dengan pemberian obat yang tepat,” tambahnya.

Secara berkala, Sub-Komite Praktik Pemasaran IPMG merevisi pasal dan/atau bab dari Kode Etik yang tengah berlaku agar selaras dengan perkembangan terbaru dan sigap menjawab tantangan di sektor farmasi nasional.

Hal ini, menurut Allen Doumit, ketua Sub-Komite Praktik Pemasaran, juga sebagai respon terhadap tren global yang mengarah pada penjaminan pemasaran beretika, seperti yang ditunjukkan oleh IFPMA yang belum lama ini menerbitkan kode etiknya yang baru dan negara-negara APEC yang pada November 2011 menyuarakan dukungan bagi pelaksanaan Mexico City Principles for Voluntary Codes of Business Ethics in Biopharmaceutical Sector.

”Kami di IPMG berkepentingan untuk menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang produk-produk kami. Kami juga memberi kesempatan bagi profesi kesehatan untuk mengenal produk kami melalui berbagai forum. Namun kami menghindari hal apa pun yang dapat diartikan sebagai sogokan atau iming-iming yang tidak patut,” ujarnya.

Allen menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan farmasi anggota IPMG harus mengedepankan profesionalisme dan etika dalam berbisnis serta menjunjung tinggi independensi dokter dalam meresepkan obat.

Kode Etik IPMG yang telah direvisi diperkenalkan pada akhir bulan Juni lalu melalui sebuah seminar umum berjudul “Promosi Obat secara Etis untuk Layanan Kesehatan yang Lebih Baik”, yang juga merupakan bagian dari upaya sosialisasi Kode Etik IPMG kepada sejumlah rumah sakit dan asosiasi kesehatan di Indonesia.

Pembicara pada seminar, Abdullah Hehamahua dari Dewan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Corene Crossin dari perusahaan konsultan Control Risks, mendukung inisiatif revisi Kode Etik IPMG.

”Kode Etik Pemasaran yang telah direvisi ini sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya terhadap industri kesehatan serta untuk menjamin praktik yang bersih,” kata Abdullah.

Menurut Corene, etika pemasaran penting bagi anggota IPMG demi menjaga integritas dan reputasi yang merupakan aset penting, utamanya karena bisnis mereka bersentuhan dengan kesehatan dan kehidupan manusia. ”Disamping itu, ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin mengangkat reputasi industri farmasi Indonesia,” tambahnya.

Luthfi mengatakan penerapan Kode Etik IPMG membutuhkan dukungan para pemangku kepentingan sektor farmasi. “Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mempelajari dan secara bersama menerapkan Kode Etik Pemasaran Farmasi IPMG, yang kami percaya akan membantu menjaga hubungan yang bertanggung jawab dengan praktisi kesehatan dan mendukung tata kelola pemerintahan yang baik di komunitas medis.”

”Ke dalam, kami sebagai asosiasi akan menegakkan Kode Etik IPMG dengan terus mengingatkan para anggota agar mentaati etika dan aturan yang berlaku dan akan menerapkan sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya,” tambah Allen.* (IPMG)

Revisi Kode Etik IPMG Tak Ubah Strategi Pasar Farmasi

International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) menerbitkan revisi Kode Etik IPMG. Kode etik yang dimaksud adalah tentang praktik pemasaran farmasi bagi pemangku kepentingan terkait industri farmasi. 

Revisi ini menegaskan hubungan bisnis yang etis dan profesional dengan para praktisi bidang kesehatan. Dari revisi tersebut, transaksi seperti honor dokter sebagai pembicara, hadiah, cinderamata, bahkan karangan bunga akan diawasi dengan lebih ketat.

Untuk memastikan kesesuaian Kode Etik IPMG dengan perkembangan kondisi serta hukum yang berlaku, Sub Komite Praktik Pemasaran IPMG telah merevisi sejumlah pasal.

“Revisi Kode Etik IPMG bertujuan mengatur hubungan industri farmasi dengan medis,” jelas Ketua IPMG, dr. Luthfi Mardiansyah. Dalam seminar bertajuk Promosi Obat secara Etis untuk Layanan Kesehatan yang Lebih Baik, ditegaskan pula etika bisnis dalam promosi obat di Indonesia.

Kode Etik IPMG mengatur hal-hal seperti kegiatan praktisi kesehatan di luar negeri, uang pengganti perjalanan, hiburan, transportasi, akomodasi, dan honor dokter sebagai pembicara. Diatur pula biaya kegiatan ramah tamah, institutional fee, cinderamata yang bersifat promosional, hadiah terkait budaya, biaya sebagai reponden riset internal, serta sumbangan perusahaan.

“Kode etik itu sifatnya patuh atau tidak patuh, layak atau tidak layak. Tujuannya tentu saja menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas perusahaan,” papar Abdullah Hehamahua, anggota tim penasehat KPK. Abdullah menjelaskan, bahkan sekuntum bunga yang diberikan kepada medis pun terhitung suap lantaran adanya conflict of interest.

Kode etik IPMG telah digunakan sejak tiga tahun lalu. 
Dengan revisi, pengawasann terhadap pelaksanaan kode etik akan semakin ketat. Managing Director Control Risks, Corene Crossin memaparkan penekanan revisi kode etik adalah pada anti-suap. “Hukum anti-suap mengkover pemberian hadiah, uang tunai, perjalanan dinas, dan hiburan,” jelasnya pada Rabu 27 Juni 2012. Revisi ini sekaligus menselaraskan industri farmasi dengan Mexico City Principles for Voluntary Codes of Business Ethic in Biopharmaceutical Sector yang didukung negara-negara APEC November 2011.

Senada dengan Corene, Allen Doumit, Kepala Sub Komite Praktik Pemasaran sekaligus Country Division Head Pharmaceuticals PT Bayer Indonesia menegaskan Kode Etik IPMG mengupdate berbagai aspek khususnya terkait promosi produk kepada medis. Meski demikian revisi kode etik ini tidak akan mengubah strategi pemasaran Bayer. Meski anggota IPMG hanya 24 perusahaan, ia yakin revisi Kode Etik IPMG tidak akan mempengaruhi angka penjualan mereka. 

Di Indonesia terdapat lebih dari 200 perusahaan farmasi. “Sekitar 35% total sales secara nasional dikuasai oleh industri-industri IPMG,” Allen menjelaskan. “Untuk mensosialisasikan Kode Etik IPMG kepada karyawan Bayer sendiri kami mentraining mereka tiga kali dalam setahun. Kami juga membagikan newsletter kepada mereka,” lanjutnya. (dbs)

Potensi Pertumbuhan Pasar Generik Rp 9,2 Triliun

Omset Pasar Generik Rp 9,2 Triliun
Potensi pertumbuhan pasar obat generik dan alkes diperkirakan mencapai Rp 9,2 triliun seiring peningkatan permintaan dengan adanya program pemerintah berupa sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Tarcisius T Randy, Head of Marketing and Sales PT Dexa Medica, mengatakan potensi itu timbul seiring dengan bantuan pemerintah di bidang kesehatan dari program SJSN.

Menurutnya dengan program SJSN yang akan dimulai pada awal 2014, masyarakat golongan middle-low lebih menjangkau ketersediaan obat terutama generik, dengan bantuan pemerintah. "Potensi pertumbuhan generik sebesar Rp 9,2 triliun itu didapat dari proyeksi pertambahan jumlah penduduk sebesar 119,2 juta jiwa yang akan di-cover asuransi kesehatan," katanya.

Indofarma akan Terbitkan MTN Senilai Rp 350 Miliar

Indofarma berencana menerbitkan surat utang jangka menengah (medium term noted/ MTN) sebesar Rp 350 miliar pada kuartal III 2012, menurut eksekutif perusahaan. Dana yang diperoleh dari penerbitan MTN akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi, menambah modal kerja anak usaha, serta pengembangan potensi pasar baru. 

“Indofarma sedang mempertimbangkan untuk memperoleh dana dari penerbitan MTN seiring berlangsungnya proses pemeringkatan dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo),” ujar Ahdia Amini, Corporate Secretary Indofarma kepada redaksi.

Indofarma mengubah rencana dari penerbitan obligasi menjadi penerbitan MTN karena penerbitan surat utang itu membutuhkan waktu yang lebih singkat dibanding obligasi. Selain itu kompleksivitas penerbitan MTN lebih rendah dibanding obligasi.

Pharma Community
“Kami mengutamakan alternatif perolehan dana yang lebih efisien dan cepat,” kata Ahdia. Menurut dia, proses pemeringkatan (rating) oleh Pefindo ditargetkan selesai akhir Juli 2012. Dengan demikian, perseroan dapat menerbitkan MTN pada awal Agustus tahun ini. “Saat ini perusahaan masih mengkaji porsi penggunaan MTN tersebut,” paparnya.

Ahdia menerangkan dana hasil penerbitan MTN akan dipakai untuk pengembangan tiga divisi, yakni manufaktur, distribusi,dan potensi pasar baru. Di divisi manufaktur, Indofarma akan meningkatkan kapasitas produksi untuk mengantisipasi peningkatan permintaan obat generik secara signifikan di 2014 seiring penerapan SJSN.

Di divisi distribusi, perusahaan akan menambah modal kerja anak usaha yang mengelola bisnis distribusi, PT Indofarma Global Medika. Perseroan juga akan mengembangkan potensi pasar baru dengan menjalin kontrak kerja sama dengan sejumlah rumah sakit. Indofarma berencana meningkatkan kapasitas produksi obat generik hingga mencapai 6,9 miliar tablet per tahun pada akhir 2013, naik 200% dibanding kapasitas produksi saat ini 2,3 miliar tablet per tahun. “Peningkatan kapasitas tersebut ditargetkan selesai pada akhir 2013,” ujar Kosasih, Direktur Produksi  Indofarma.

Targetkan peningkatan kapasitas produksi obat generik menjadi 6,9 miliar tablet pada akhir 2013, naik 200% dibanding saat ini.

Target tersebut seiring mulai beroperasinya pabrik baru obat generik perseroan, yang pembangunannya dimulai sekitar Juni-Juli 2012. Pabrik tersebut dibangun di lahan milik Indofarma di Cibitung, Bekasi, dan menelan dana investasi sebesar Rp 100 miliar. Jika sudah beroperasi, pabrik baru obat generik Indofarma akan mendukung sarana produksi yang ada saat ini.

Berdasarkan data IMS Health, Indofarma memimpin pasar obat generik nasional dengan pangsa 17,59% dengan nilai penjualan sebesar Rp 521,5 miliar di 2011. PT Kimia Farma Tbk (KAEF), emiten farmasi milik negara, menguasai 14% pasar obat generik nasional dengan penjualan sebesar Rp 416,7 miliar, kemudian PT Hexpharm Jaya, anak usaha PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), dengan pangsa pasar 14%. Nilai pasar obat generik nasional di 2011 mencapai Rp 2,96 triliun, atau 11,8% dari total pasar obat resep nasional sebesar Rp 25 triliun. (erw)

Tempo Scan Targetkan Omset Penjualan Farmasi Rp 1,98 Triliun

PT Tempo Scan Pacifi c Tbk (TSPC), emiten farmasi dan produk kesehatan, menargetkan penjualan lini bisnis farmasi tahun ini mencapai Rp 1,93 triliun-Rp 1,98 triliun, meningkat 10%-13% dibanding penjualan 2011 sebesar Rp 1,75 triliun, menurut direksi perseroan. Kenaikan nilai penjualan ditopang pertumbuhan volume penjualan produk farmasi perseroan.

“Target pertumbuhan lini bisnis farmasi kami mengikuti pertumbuhan double digit industry farmasi nasional tahun ini,” ujar Aviaska D Respati, Managing Director Pharma Consumer Health Tempo Scan Pacific. Peningkatan penjualan lini bisnis farmasi perseroan juga seiring rencana peluncuran lebih dari 10 produk baru farmasi tahun ini.

Aviaska menuturkan produk baru Tempo Scan yang diluncurkan tahun ini merupakan produk obat bebas. Produk-produk tersebut akan menyasar pasar konsumen obat resep dengan harga jual yang terjangkau.

“Peningkatan penjualan juga didukung promosi yang kami lakukan tahun ini untuk produk yang sudah ada dan produk baru,” kata Aviaska. Promosi yang di lakukan antara lain melalui media luar ruang dan media digital.

Kontribusi penjualan obat bebas Tempo Scan akan berkontribusi sebesar 90% dari penjualan lini bisnis farmasi, sementara 10% sisanya dikontribusi obat resep. “Saat ini pangsa pasar produk obat bebas Tempo Scan mencapai 45,1% dari pasar obat bebas nasional,” ujar Aviaska.

Pertumbuhan lini bisnis farmasi Tempo Scan tahun ini juga didukung anggaran belanja modal yang mencapai Rp 150 miliar. Handoyo S Mulyadi, Direktur Utama Tempo Scan, sebelumnya menuturkan untuk mendukung pertumbuhan bisnis perseroan tahun ini, dana belanja modal akan dipakai untuk perbaikan sarana pabrik, pembelian mesin, dan pengadaan sarana elektronik. “Anggaran belanja modal dialokasikan untuk mengembangkan teknologi, termasuk dalam proses produksi,” kata Handoyo.

Dia menambahkan tahun ini Tempo Scan juga berencana meningkatkan fasilitas produksi di Bekasi. “Kapasitas produksi farmasi di pabrik Bekasi tahun ini ditargetkan mencapai 7,5 miliar tablet,” kata Handoyo. Peningkatan anggaran belanja modal tahun ini seiring rencana ekspansi perseroan ke pasar ASEAN. Ekspansi tersebut diperkirakan menghabiskan dana sebesar US$ 5 juta-US$ 10 juta.(erw)

Pfizer dan Dexa Medica Bebas dari Kartel Obat Hipertensi

PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica, dua produsen farmasi, bebas dari dugaan kartel obat hipertensi setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait kasus tersebut.
Widyaretna Buenastuti, Direktur Pfizer Indonesia, menilai putusan MA tersebut positif bagi pengembangan industry farmasi di Indonesia. MA menolak kasasi yang diaju kan KPPU terkait kasus tersebut.

MA juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan keberatan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica atas keputusan KPPU yang menuding kedua produsen tersebut melakukan kartel harga obat hi pertensi jenis amplodipine besylate. “Putusan MA bisa menjadi hal positif bagi industri farmasi di Indonesia, karena sejak kasus ini berlangsung banyak pelaku industri farmasi yang memantau dan tidak berani melakukan kerjasama karena takut dituduh melakukan kartel,” ujar Widyaretna seperti dikutip oleh wartawan.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai KPPU masih kurang bukti untuk menyatakan Pfizer dan Dexa Medica melakukan kartel obat hipertensi. KPPU sebelumnya memvonis Pfizer Indonesia dan Dexa Medica menjalankan praktik kartel harga obat hipertensi.

KPPU memerintahkan Pfizer menurunkan harga obat hipertensi sebesar 65% dari harga netto apotek dan mewajibkan kelompok usaha Pfizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp 25 miliar. KPPU juga menilai Dexa Medica bersalah karena melakukan kartel penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar serta memerintahkan perusahaan farmasi nasional itu menurunkan harga Tensivask sebesar 60% dari harga netto apotek.

Berdasarkan data IMS Health, Dexa Medica merupakan produsen obat resep (ethical) dengan pangsa pasar terbesar ketiga di Indonesia pada 2011. Dexa Medica mencatatkan penjualan obat resep sebesar Rp 1,24 triliun di 2011 dengan pangsa pasar sebesar 5%.

Sementara Pfizer Indonesia merupakan produsen obat resep yang memegang pangsa pasar terbesar kelima di Indonesia. Pfizer membukukan penjualan obat resep sebesar Rp 861 miliar di 2011 dengan pangsa pasar 3,4%. Sementara PT Sanbe Farma memimpin penjualan obat resep di Indonesia pada 2011 dengan penjualan Rp 1,94 triliun dengan pangsa pasar 7,8%. Di urutan kedua, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) mencatatkan penjualan obat resep sebesar Rp 1,83 triliun pada tahun lalu dengan pangsa pasar 7,3%.

Penjualan obat resep di Indonesia pada 2012 diproyeksi mencapai Rp 28 triliun-Rp 28,3 triliun, naik 12%-13% dibanding tahun lalu Rp 25,04 triliun, menurut asosiasi industri. Peningkatan didorong kenaikan volume konsumsi obat resep di masyarakat.

“Peningkatan konsumsi karena makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, sehingga alokasi belanja kesehatan meningkat,” kata Luthfi Mardiansyah, Ketua Umum IPMG.

Peningkatan konsumsi obat resep juga didorong pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia. Pertumbuhan jumlah penduduk diperkirakan berkontribusi 1% terhadap pertumbuhan konsumsi obat resep.(erw)

BKPM: Investasi Kuartal II Tertinggi Sepanjang Sejarah

BKPM optimis iklim investasi masih baik bahkan hingga kuartal keempat.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan pertumbuhan realisasi investasi Indonesia selama kuartal II-2012 (April-Juni) sebesar Rp76,9 triliun, atau naik 24% dari periode yang sama tahun lalu Rp 62 triliun.

Raihan ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah.

"Trennya terus meningkat, untuk itu kami optimis iklim investasi masih baik bahkan hingga kuartal keempat nanti," kata Kepala BKPM, Chatib Basri, di Jakarta, hari ini.

Menurut Chatib, faktor yang mendorong pertumbuhan realisasi investasi tersebut adalah peningkatan yang pesat baik dari segi penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).

"Realisasi PMDN kuartal kedua tercatat Rp20,8 triliun atau meningkat 10,1%, sementara PMA sebesar Rp56,1 triliun atau meningkat 30,2%," kata Chatib.

Kenaikan PMA, kata Chatib, banyak didorong oleh pertumbuhan impor barang modal yang diperkirakan semakin meningkat dalam periode kuartal ketiga 2012.

"Impor barang modal yang tinggi mencerminkan pertumbuhan modal tetap bruto (PMTB) yang tinggi, sehingga realisasi diperkirakan masih akan kuat sampai dengan kuartal ketiga," kata Chatib.

Namun, pihaknya akan mengantisipasi kekhawatiran melambatnya pertumbuhan investasi pada kuartal IV-2012 jika impor barang modal menurun seiring kondisi pasar Eropa yang kurang kondusif.

Berdasarkan data BKPM, tercatat Singapura menjadi negara terbesar dalam hal investasi asing dengan nilai US$800 juta (13,3% PMA), disusul Amerika Serikat (AS) dengan nilai investasi US$700 juta (11% PMA), Australia US$600 juta (9%), Jepang US$500 juta (8%), dan Korea Selatan US$500 juta  (7,9%).

Lokasi realisasi investasi pada kuartal kedua 2012 tercatat masih didominasi pulau Jawa, sementara nilai realisasi investasi di luar pulau Jawa tercata sebesar Rp34,7 triliun atau 45,1% dari total investasi, jumlah yang meningkat 4,8% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. (dbs)

Hadapi ASEAN Integrity, Pemerintah Ubah Aturan DNI Farmasi

Pemerintah sedang fokus merevisi 4 sektor yang masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk mendorong masuknya investasi yang lebih besar tahun 2012 dan memenuhi target ASEAN Integrity 2015. Menurut Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, 4 sektor itu adalah farmasi, kesehatan, pendidikan dan telekomunikasi.


Laporan Bank Dunia bertajuk Rising to Present and Future Challanges menyebutkan di tengah penurunan permintaan eksternal dan tingginya volatilitas pasar keuangan, terdapat sejumlah perubahan kebijakan di bidang perdagangan dan investasi di Indonesia. Di sisi investasi, pemerintah mengindikasikan tengah menyiapkan revisi DNI untuk mendorong peningkatan investasi asing dalam beberapa industri termasuk farmasi, kesehatan, telekomunikasi dan pendidikan. 

Simak juga: 
- 2015: Pasar Farmasi Akan Tumbuh 11,8% Jadi US$ 4,6 Miliar
- Realisasi Pertumbuhan Industri Farmasi 2014

Profitabilitas Farmasi Lokal Lebih Rendah dari Farmasi Asing

Perusahaan farmasi asing memiliki profitabilitas yang lebih tinggi dibanding perusahaan farmasi lokal. Profitabilitas yang diukur dari marjin laba usaha menunjukkan perusahaan farmasi asing memiliki rata-rata marjin laba usaha sebesar 21,15%, sedangkan perusahaan farmasi lokal hanya sebesar 10,23%.


Analisis pada tingkat profitabilitas dari perusahaan farmasi asing yang mencakup PT Merck Tbk (MERK), PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk (SQBI), PT Schering-Plough Indonesia Tbk (SCPI), dan PT Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA). Dianalisis pula perusahaan farmasi lokal yakni PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan PT Pyridam Farma Tbk (PYFA). Analisis tersebut menggunakan basis data laporan keuangan kuartal I 2012.

Hasil analisis menyebutkan perusahaan farmasi asing mencatat marjin kotor rata-rata sebesar 52,4%, sedangkan perusahaan farmasi lokal sebesar 45,09%. Marjin kotor perusahaan farmasi lokal berada dalam rentang yang relatif sama dengan perusahaan farmasi asing, yakni antara 30%-60%.

Hal ini mengindikasikan bahwa beban pokok produksi perusahaan farmasi asing dan lokal relatif sama. Namun ketika membandingkan marjin laba usaha kedua kelompok perusahaan farmasi ini, dapat terlihat perbedaan yang cukup signifikan.

Dari lima perusahaan farmasi lokal tercatat hanya satu perusahaan yakni Kalbe Farma yang mencatat marjin laba usaha di atas 16%. Sementara dari empat perusahaan farmasi asing, tercatat tiga perusahaan yang memiliki marjin laba usaha di atas 16%. Jika dihitung dengan marjin laba usaha rata-rata, antara perusahaan asing dan lokal menunjukkan perbedaan sebesar 10,9%.

Sementara itu, rata-rata marjin kotor perusahaan farmasi asing hanya terpaut 7,32% dengan perusahaan lokal. Perbedaan yang lebih besar dari sisi marjin laba usaha menunjukkan inefisiensi yang lebih besar pada sisi operasional perusahaan farmasi lokal.

Berdasarkan perhitungan riset, tampak bahwa rata-rata beban umum dan administrasi perusahaan farmasi lokal mencapai 11,2% terhadap penjualan, sedangkan perusahaan asing hanya mencapai 6,8%. Sekalipun secara umum perusahaan farmasi asing memiliki marjin laba usaha yang lebih baik, terdapat satu perusahaan farmasi asing yang memiliki kinerja di bawah rata-rata industri farmasi secara keseluruhan.

Diantara total sembilan perusahaan farmasi yang dianalisis, tercatat hanya Schering-Plough yang mencatat marjin laba usaha negatif atau mengalami kerugian usaha.

Hampir Setara
Walaupun secara rata-rata profitabilitas perusahaan farmasi lokal relatif lebih rendah dibanding perusahaan farmasi asing, dua perusahaan lokal yakni Kalbe Farma dan Tempo Scan dapat mencatatkan marjin usaha yang hamper setara dengan salah satu perusahaan asing yakni Darya-Varia.

Sementara Indofarma dan Kimia Farma tercatat memiliki marjin laba usaha terendah diantara lima perusahaan farmasi lokal. Rendahnya marjin profitabilitas Indofarma disebabkan inefisiensi dalam kegiatan operasionalnya. Pos beban karyawan umum dan administrasi Indofarma tercatat mencapai 16% dari pendapatan perseroan, angka ini merupakan angka tertinggi dibanding delapan perusahaan farmasi lain. Sedangkan rendahnya profitabilitas Kimia Farma lebih dikontribusikan inefisiensi yang terjadi sejak di level hulu.

Dilain pihak, Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan Kalbe Farma Vidjongtius, mengatakan marjin kotor Kalbe Farma turun di kuar tal I 2012 menjadi 49% dari periode yang sama tahun lalu 51,8%. Penurunan marjin kotor itu terjadi akibat dari perubahan komposisi bisnis di 2012 dengan kontribusi yang lebih besar dari divisi distribusi dan logistik. Divisi distribusi dan logistik berkontribusi paling tinggi terhadap penjualan Kalbe Farma di kuartal I 2012 dibanding divisi lainnya, yakni divisi obat resep, divisi produk kesehatan, dan divisi nutrisi.

Sementara Indofarma memiliki marjin kotor yang terus meningkat secara signifi kan, hingga kuartal I 2012 marjin kotor Indofarma mencapai 42%. “Peningkatan marjin Indofarma karena perseroan melakukan penataan portofolio produk mengarah pada perbaikan mutu marjin,” kata Ahdia Amini, Sekretaris Perusahaan Indofarma kepada wartawan. (dbs)

Darya Varia Catat Kenaikan Laba Bersih 64%

PT Darya-Varia Laboratoria Tbk, mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 64% menjadi Rp 82,8 miliar dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 50,6 miliar, menurut laporan keuangan perseroan. Kenaikan laba bersih didorong oleh adanya peningkatan pendapatan serta perbaikan profitabilitas terutama margin usaha.

Romeo L Bato, Direktur Darya-Varia, dalam laporan keuangan perseroan mengatakan pendapatan perusahaan di semester I 2012 mencapai Rp 626 miliar, naik 35% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan penjualan obat resep menopang pertumbuhan pendapatan perusahaan. 

Penjualan obat resep pihak ketiga berkontribusi 49% dari total penjualan perusahaan di semester I 2012. Sementara penjualan obat bebas pihak ketiga berkontribusi 31%. Darya-Varia juga mencatatkan kenaikan jasa maklon sebesar 39% menjadi Rp 15,8 miliar.

Beban pokok penjualan Darya-Varia meningkat 52% menjadi Rp 232 miliar terutama dipengaruhi kenaikan biaya produksi. Di semester I 2012, biaya produksi perseroan naik 38%. Laba kotor perusahaan tetap tumbuh 27,5% meski di tengah pelemahan margin kotor sebesar 395 basis poin. Margin kotor Darya-Varia di semester I 2012 mencapai 62,93%, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu 66,88%.

Perusahaan membukukan keuntungan selisih kurs sebesar Rp 4,6 miliar di semester I 2012. Hal itu ikut mendorong laba usaha perusahaan tumbuh 70% menjadi Rp 112 miliar. Kenaikan laba usaha juga didorong perbaikan margin usaha sebesar 361 basis poin menjadi 17,89% di semester I 2012 secara tahunan. Margin bersih Darya-Varia juga tercatat naik 227 basis poin menjadi 13,09% di semester I tahun ini.
Darya-Varia Laboratoria menargetkan penjualan pada 2012 mencapai Rp 1,08 triliun, meningkat 12% dibanding penjualan tahun lalu Rp 972 miliar. Peningkatan tersebut didorong pertumbuhan volume penjualan yang ditopang peningkatan konsumsi obat.

"Peningkatan konsumsi, khususnya di segmen obat resep, akan mendukung pertumbuhan penjualan tahun ini," ujar Charles RB Davis, Wakil Direktur Utama Darya-Varia. Bisnis obat resep merupakan lini bisnis utama perseroan.

Tahun ini Darya-Varia mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 50 miliar-Rp55 miliar. Alokasi belanja modal antara lain digunakan untuk penambahan kapasitas produksi dan utilisasi. (dbs)

Memasang Iklan di Blogsite Media Pharma Indonesia

Terimakasih, bila anda berencana memasang banner atau mempublikasikan info komersial perusahaan/produk anda pada halaman blogsite ini. Namun kami menyarankan, sebaiknya anda membaca terlebih dahulu sekilas profil Media Pharma Indonesia, disini, sebagai pertimbangan.

Jika anda berminat, anda bisa mendapatkan informasi tarif iklan disini atau mengisi formulir pemesanan iklan disini.

 --------------------------------------------------------------------------

Top Ad 728x90